SUAMI
Aku adalah anak ke tiga dari tiga bersaudara. Ke dua kakakku menikmati indahnya dunia bersama suami mereka. Rizky. Nama yang orang tuaku berikan dengan harapan anaknya ini dapat membawa seteguk nikmat dunia.
Atau mungkin saja kehadiranku tidak terlalu diharapkan, karena akulah beban hidup semakin berat. Bagi debuah keluarga seingatku tak pernah kenyang apalagi berbaut pakaian bagus. Cuma hari raya saja seperti mimpi ketika kanak-kanak bisa menjadi kenyataan, perut merasakan lezatnya makanan dan pakaian yang lumayan bagus.
Lamunanku terpecahkan suara pelanggan yang ingin membeli kue berbungkus plastik, yang tertata rapi di atas mejakecil tanpa atap itu. Hari ini lebih ramai dari pada minggu biasanya, entah kenapa.
Terik matahari semakin menyengat, membakar kulitku yang semakin legam. Dengan menggenggam lembar rupiah kuputuskan untuk pulang meninggalkan pasar. Langkah gontai kulewati jalan aspal yang mulai berlobang disana sini. Letupan kebanggaan muncul di hati. Mungkin ini cukup untuk mengepulkan nasi.
Seorang yang ku panggil Ibu tetap tenang menyisir rambut ikal berubanya. Sebongkah senyum dari kerutan wajah yang mulai renta terlontar saat sapa salamku menyapa telinganya. Kasihan ia, setiap hari menjadi buruh cuci pakaian. Namun tulangnya kini tak lagi mampu untuk bekerja sedikit keras, karena hari itu suaminya mengeluarkan gejolak api neraka yang membuat segalanya terbakar.
Telinga ini sering mendengar suara itu. Teriakan orang tuaku,suara piring pecah, barang-barang di banting, suara pipi di tampar, dan tangisan dari bibir ibu.
Kusumbat pendengaranku dengan bantal. Menambah konsentrasi dengan menyelimuti tubuh, berlindung dari teriakan setan. Malampun merangkak sepi. Suara penjaja nasi goreng yang memanggil pelanggan sambil memukul sebatang bambu dengan kayupun telah lenyap.
Suara-suara itu mulai melemah setelah kudengar satu kali lolongan perempuan meminta pertolongan. Badanku tak mampu bangkit dari kasur. Akupun tertidur pulas.
Seperti subuh sebelumnya. Subuh hari inipun ku sedera terjaga untuk berbasuh air segar dan menunduk di hadapan Tuhan. Rumah begitu sepi. Ada pecahan piring di lantai ruang tamu, yang ku pikir ini ulah mereka tadi malam.
Kulebarkan langkah agar tak menginjak pecahan-pecahan itu. Mataku tertuju pada daun pintu yang sedikit terbuka. Bau anyir menusuk hidung.
Tubuhku kaku melihat sesosok tubuh terkulai berlumuran darah di kasur. Sedang laki laki yang biasa kupanggil bapak, hanya menatapinya. Sontak, kuambil sebilah pisau yang tergeletak di kamar,sabetannyapun tepat menenai iganya. Jeritan dan cacian kulanggengkan untuknya. Iblis mulai datang menghampiri raga ini.
Teriakan bapak membawa orang-orang bergerombol memenuhi rumah. Puji-pujian tuhan terdengar begitu keras. Menyadarkanku dari kebrutalan setan.
Semuanya nampak samar. Kakiku tak kuat lagi memnopang tubuh mungil yang kumiliki. Hingga akhirnya aku benar-benar pingsan. Saat tersadar kulihat tetangga, dan orang-orang berseragam polisi mengerumuniku. Seperti mimpi. Banyak bayangan yangberkelebat di kepala.
Sumpah serapah dan busuknya ludah manusia yang menganggap dirinya suci itu tak dapat kuelakkan. Kebingungan menyelimuti otakku.
Hari-hari berlalu. Aku ditempatkan dalam ruamg lembab yang membuat nafas terasa sesak. Gerakanku tak cukup banyak karena ada besi yang terlilit di kaki. Rindu keintiman bersamaNya di malam hari tak tertahan. Rintihan pilu membumbung dalam hati. Hingga datang lelaki mantan preman yang membawa buku tebal menghampiriku. Dialah yang mengajarkan mantra yang dulu pernah aku ucapkan. Dialah yang membebaskanku dari hinaan ini. Dialah yang kini kusebut sebagai Suami.
Renternir
Herman. Nama yang dijauhi masyarakat Dusun Jambewangi ketika namanya disebut. Legam keriputnya manandakan umur yang tak lagi muda. Orang yang serenta itu seharusnya mempersiapkan diri, mencari jalan untuk bekal saat berjumpa ajalnya. Herman dengan dendengkotnya berjalan menuju rumah, melamarku sebagai istri ke enamnya.
Lamaran ini tak dapat kutolak. Lantaran hutang yang membelit keluargaku dan juga menghambanya ketakutan akan kekejaman seorang renternir tua yang sudi melakukan apa saja untuk memenuhi hasratnya.
Andai aku dapat berbicara layaknya manusia. Kan ku lontarkan sejuta kata agar semua orang tau bahwa aku juga manusia yang mempunyai akal.
Undangan tersebar sampai pelosok dusun. Inilah pernikahan super meriah di tahun ini. Katanya ini karena kecantikanku, meski ada sesuatu yang hilang dari kesempurnaanku. Cibiran yang di alamatkan pada si tua tak lepas dari pendengaran. Tetap saja ia memperintahkan jongosnya membangun panggung murahan di tengah riuhnya desa.
Malampun datang. Inilah waktu yang ia tunggu. Suara penghulu MengeSAHkan dan mengAmini bergema, membuat hati undangan nelangsa mendengarnya.
Laki- laki itu najis, jangan sampai ia menyentuhmu untuk menyemburkan racunya yang bisa membuat perutmu buncit bagai seorang busung lapar. Kata-kata itu berkelebat saja memenuhi pikiranku.
Mata Herman memburu tubuhku. Jijik rasanya berdekatan denganya. Ku selipkan tubuhku menerobos di sela padatnya manusia penjilat lintah darat. Langkah kaki ku lebarkan setelah lulus dari pintu utama. Suara parau Herman membuat langkah semakin kencang. “ Bangsat!”, terdengar keras meniang di telinga. Degup jantung berpacu ketika Herman meletupkan suara pistol di angkasa. Tuhan tolonglah aku.......
My Journey and Arrival during Last Holiday
Last Holiday, I went home by train. I went home with my friends, Supri and Heni. I spent about Rp. 4.000 for a ticket. I think it is the cheapest public transportation. I went to the railstation at 14.10.
In the train, i found various kinds of what people doing about. Some people sat, talking each other. Another ate their snacks or just slept. However is not my business. I my self read my book, somtimes chatted with m friends.
When the train passed through the tunnel, the smell of the air is musty also very dark if the train do not have or turn on the lamp. Remain that the age of the tunnel,railway and the bridge which is through from one valley yo another, it make me frightened but the scenary was beautiful.
I really apreciate my ancestor who worked very hard to build the railway and digging the mountain for the tunnel. I call them as ahero because they sucrificeand take a big risk for themself.
I arrived at 17.20 in Kalisetail railstation. My father picked me up with his tired and his sad face. I surprise when I was coming home. Almost whole my family and relation was there. I asked myself, “What happened?” Evidently my grandfather was ill. I hoped that he will be better soon with my arrival.
Naga
Teng...teng..teng...bunyi alrem Hp Hartilah menunjukkan oukul satu dini hari. Ia bangun 20 menit lebih awal dari angka pada alrmnya. Mandi di pagi buta sudah biasa ia lakukan. Dinginya malam tak terasa. “ Kalu perlu sabunpun ia makan untuk membersihkan dirinya yang berlumur dosa,” kata Hartilah. Namun Jalan inilah yang di anggapnya bisa membuatnya SUCI.
Setelah sembahyang, merunduk pada Tuhan , Hartilah tidak pernah meninggalkan tempatnya. Duduk bersila berjam-jam, melantunkan tembang puja mantra hingga matahari menyapa dia lakoni.
Hartilah, nama yang sedikit aneh di pendengaran seorang Bali. Anak semata wayang keluarga dari penggarap sawah, memutuskan mencari sepercik manisnya hidup di tengah cakra-cakra gedung.
Hari-harinya di habiskan untuk bekerja sebagai karyawan lembaga bimbingan belajar yang cukup terkenal. Meski hidupnya sederhana tapi dengan kecerdasan dab kecaneikan Har, membuat siapapun yang mengenalnya jatuh hati. Hingga spre menjelang, Tejo, teman sekantornya khilaf dengan lekuk tubuh Har yang berbusana nyentrik.
Kesibukan mereka membuat Har dan Tejo lebih akrab. Namun tak disangka sekelebat adrenalin Tejo tak mampu dibendung. Hingga akhirnya..........
Hartilah dengan tubuh mungilnya tak mampu berlindung dari serangan Tejo yang bongsor. Semburan cairan pekat memasuki satu-satunya yang Har miliki.
Kini perut Har mulai membuncit. Secuil daging hidup bergerak menendang perutnya,sampai kadang membuatnya berteriak.
Genap hitungan sembilan bulan. Inilah saat yang ia tunggu. Meski seseorang yang membuatnya demikian tak nampak lagi, Har tetap berusaha memberikannya nafas dunia.
Sesuatu yang basah mengaliri kaki Har. Teriakan Har mengantarkannya ke dukun setempat. Keringat mengucuri tubuhnya dan si bidan tua yang tak pernah mengenyam bangku sekolahpun tak lengah dari keringat. Air panas, gunting, jarum, benang dan kain, segala sesuatu telah dipersiapkan ibu bapaknya untuk menyambut si jabang bayi.
Mbah dukun memimpin Har untuk bernafas. Har tak lagi mampu mendengarkan apapun yang ada di sampingnya karena tak kuasa menahan sakit yang di rasa. Detik-detik pertaruhan jiwa mulai berakhir, dan si dukun mulai menandakan ketak sadaranya, melihat bayi yang keluar dengan tubuh naga berkepala manusia dari rahim Har jelita.
Untuk sang Bidadari
Dikala Fajar mengambang dio ufuk barat
Hatiku sunyi
Bertahta semai dalam raga panglima
Panglima dari negeri kastah yani
Bidadari nan elok berseri
Menjadi idaman pungawa di raja Kastah Yanni
Panglima berseteru merebut rebut
Pangeran mengasah keris mpunya Dwi sakti
Namun …Bidadari tiadapun kunjung menghampiri
Mungkin bidadari?
Fajar dan pelangi jalani bercik berbanyu
Banyu berganti bak pandan wangi
Cahaya berkilau berkilap warna
Karang bernyanyi menghibur diri
Oh Bidadari….
Awan meneteskan air untukmu
MARTIN
Pucat, letih dan pedih. Jalanan dengan panasnya sang raja siang menambah peluh kaki Martin. Tanjakkan tak begitu tingginya. Mungkin ini balasan dari kekejaman bangsa, pikirnya.
Martin pemuda lugu, berangkat menunaikan pendidikan S1 nya, berbekal baju satu tas dan pecahan lima puluh ribuan dari perasan keringat seorang ibu.
Kata dari Guru yang ia hormati inilahyang membuatnya bersikukuh untuk kuliah di salah satu universitas negri terkemuka di Jakarta.
Setelah mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, Martin mencari pekerjaan sampingan karena bekalnya mulai menipis. Segala pekerjaan bias ia lakukan, mencuci piring sampai mencangkul di sawah biasa di lakoni. Memang pemuda cerdas. Wajahnya lumayan manis, membawa sedikit keberuntungan dalm bergaul ataupun mencari pekerjaan. Kini ia menjadi salah satu pegawai salah satu restoran terkenal.
Hari berganti hari. Dengan mengkontrak kamar ukuran 3x3, banyak ia habiskan kesendirianya untuk tetap membuka lembar buku. Martin mendapat yang di inginkan, menjadi mahasiswa sukses.
Kepandaianya terasah dengan mengikuti lomba dan organisasi. Hanya dewi fortune tertidur, ketika hari dimana demo penurunan presiden ia ikuti. Martin, tersangka perusakan gedung DPR.
Ia tak ingin terlibat terlalu jauh. Ia berlari dari kerumunan demonstrator dan para polisi yang beradu otot. Suara tembakan membawa lari tubuhnya yang tinggi.
Sampai di rumah kontrak, engahan Martin belum juga teratur, tiba-tiba pintu diketuk dengan kerasnya. Martin berusaha mencari pintu belakang, namun juga tak di temukan. “Jangan bergerak!” suara yang muncul bersamaan dengan pintu yang di dobrak.
Ia ingin berlari menerjang kepungan,. Matanya melirik jendela yang terbuka, membawa kakinya kesana. Usahanya sia-sia, peluru menembus daging di kaki kirinya.
Kaki bersimbah darah, Martin tak sadarkan diri.
Hari berganti, tak tau bagaimana ia membunuh waktu.
Kemenangan Kerbau
Sejak seratus tahun yang lalu atap rumah di Sumatra Barat di bangun berbentuk tanduk kerbau, dan masyarakat setempat memberikan nama Minangkabau yang berarti Kemenangan kerbau atau Kerbau menang.
Sekitar enam ratus tahun yang lalu, seorang Raja Jawa mengirim utusan ke Sumatra Barat. Dia ingin masyarakat disana tau bahwa dialah seorang penguasa dan tak lama lagi akan mengambil alih kekuasaan di sana. Akan lebih baik untuk menyerah, jika tetap melawan masyarakat di sana akan dibunuh.Tentu masyarakat disana sangat ketakutan mendengar kekuatan tentara Raja Jawa, sehingga mereka mencari jalan keluar yang terbaik.
Kita harus melakukan segala carauntuk mencegah perang, seorang berkata.”Jika terjadi perang, fikirkanlah kematian dan kerusakn yang terjadi! Pasti kita akan kalah, menjadi budak Jawa, dan kerugian yang di tanggung. Kita harus mencari cara agar perang ini tidak terjadi.”
Banyak pendapat dan masukan pada musyawarah itu dan akhirnya menyetujui satu masukan. Mereka memerintahkan pada utusan Raja Jawa untuk memberitahukan kepada rajanya bahwa masyarakat Sumatra Barat menerima peperangann, dengan syarat peperanagn ini di lakukan oleh kerbau bukan manuisia. Kerbau akan saling bertarung dan menjadi penetu kemenangan. Jika kerbau milik raja jawa yang menang, mereka akan menyerah, bila kerbau masyarakat setempat yang menang, maka raja jawa harus membebaskan mereka. Utusan itupun membawa pesan pulang ke negrinya.
Raja jawa segera mengutus masyarakatnya mencari kerbau yang besar dan kuat, Mereka membawa satu untuk di hadapkan raja dan membawanya berperang di Sumatra Barat. Msyarakat Sumatara mendengar akan kekuatan Raja. Mereka bermusyawarah, membicarakan apa yang harus mereka lakukan.” Kita kalah, kita tidak akan bisa menemukan kerbau seperti itu untuk memenangkan pertarungan.
Musyawarah yang hampa akn harapan kemenangan. Akhirnya seorang pemuda memberikan sebuah ide. Tetangganya mempunyai seekor ank kerbau yang bbeberapa hari baru lahir, di berencana memisahkanya dengan iduknya, kemudian memasangi besi runcing pada tanduk si kerbau. Merekapun setuju. Masyarakat siap berperang.
Ke esokan harinya, pesuruh raja membawa kerbaunya ke arena, begitu pula dengan pendududk setempat. Udara di penuhi suara prajurit Raja yang tertawa terbahak-bahak, melihat kerbau yang mereka bawa berdiripun masih terjatuh-jatuh. Namun, mereka tak menghiraukanya. Mereka menunggu suasana agar sedikit lebih tenang. “Siap!”, suara tanda dimulainya perkelahian. Masyarakat Suamatra melepaskan ikatan ank kerbau, begitu pula dengan Kerbau Raja Jawa. Sesaat tidak terjadi apapun, mereka hanya melihat satu sama lain, hinnga ank kerbau ini berlari menghampiri Kerbau besar. Karena sangat lapar Ia langsung mencari puting yang ada di bawah perut kerbau besar. Besi yang di pasang pada tanduknya, menancap, membuat kerbau besar meneluh kesakitan. Kerbau raja jawa lari mngghindari kerbau kecil. Ank kerbau masih terus mengikuti di belakangnya.
Kerbau Raja mengeluarkan banyak darah.Raja dan prajuritnya tak berkata sepatah kata pun. Mereka segera meninggalkan arena dan mengumumkan kemenangan masyarakat Sumatra. Penduduk bersorak sorai, menaburkan bunga dang mengalungkanya pada anak kerbau. Minagkabau!Minanagkabau! teriakan kemenangan.
Inilah alasan mengapa rumah dan penutup kepala masyarakat Sumatra Baratberbentuk tanduk kerbau dan menamai daerahnya sebagai Mianangkabau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar