Minggu, 14 November 2010

Karya Krissayu N. Widi


Tugas: menulis puisi
(UNTITTLED)
Mendung melirik pagi dengan nisbi
Sebelum sedetik kemudian,
Berkawan dengan dimensi pelangi
Merona bersama tanah
Menyeruak kaki-kai bumi,
Dari ibu yang resah
Mari kita berciuman, hangat!

(20 September ‘10)





Tugas: menulis cerita pendek
(UNTITTLED)
Pada waktu yang tak tercatat itu aku kehilangan Jati. Tapi sekarang yang sedang kami pajang adalah lukisan pengantin. Yang kaki dan tangan kami sebagai penebusnya. Dipertemukan dalam ruang penyiksaan rindu yang panjang.
Mengingatkan saya pada masa ketika Jati membawa saya lari dari rumah Mamak agar kami bisa bersebelahan rumah lagi. Pria kecil itu yang dulu menunggu di depan taman kanak-kanak. Mengajak saya kabur, entah kemana. Kami mau ke gunung, kami mau ke laut, kami mau makan ice cream dan duduk sampai hilang.
Tapi kami belum tahu seperti apa rasanya sakit ketika kami berlari menjauhi segalanya dan tertabrak sebuah mobil. Kehilangan satu tangan Jati dan satu kakiku. Saya tak pernah menemukan Jati lagi setelah itu. Jati pindah rumah.
Saya mendatangi rumahnya setiap hari dengan kaki buntung, seperti hampir gila.
Tapi kenyataanya saya tak pernah gila.
Sekarang kami meringkuk dalam selimut tebal, memandang hujan dan makan kacang. Kami bercumbu dengan malam sebagai pengantin.
***
Sebentuk kekacauan ketika mendapati diri saya sendiri dan tak bertuan dalam terali ini membawa saya kepada rasa ngilu yang menyanyat. Tidak pernah bisa dikatakan dengan bunyi tapi mungkin bisa dimengerti dengan kesamaan. Saya hanya menoleh ke kiri, sedetik kemudian ke kanan. Kadang tengadah dan tak jarang pula menunduk. Di sinikah saya seharusnya berada?
Bau kapur barus dan orang-orang sakit akal.
Semuanya putih dan hanya saya yang ungu, menggigil dengan sedikit berkunang-kunang. Tapi tempat ini jauh lebih segar ketimbang rumah berjamur dengan wallpaper merah, semuanya merah. Mencekik pada setiap sudutnya yang busuk bersama kenangan, kenangan sialan!
“Selamat pagi, Aling. Ayo sini dibersihin dulu ya…”
Perempuan setengah baya dengan seragam putih itu mendekati saya. Saya benci dia, tapi dia baik. Mengusap muka dan tangan saya, leher dan telinga saya dengan handuk hangat yang dibawanya dengan nampan bersama obat-obat terkutuk, sepiring makanan, air dan buku tulis. Perempuan ini tahu benar apa yang menyebabkan saya harus menempati ruangan putih ini. Tapi dia tak pernah jengah pada saya. Dia berani.
“Sudah ya, jangan marah lagi. Ini ada buku tulis sama pensil seperti biasa.”
Marah. Kata itu yang dipilihnya untuk mengatakan bahwa kemarin saya sudah mengamuk gila-gilaan. Seperti orang sakit akal yang lain.
Perempuan itu menyodorkannya di pangkuan saya. Dia duduk selonjor di samping saya dan tersenyum. Sementara saya masih enggan menyentuh buku itu.
Semua ini seperti ritual bullshit yang saya lakukan setiap kali obat penenang dengan dosis tinggi pada malam sebelumnya disuntikan dalam tubuh saya. Rasanya bolong-bolong.
“Pergi!” seru saya pada perempuan yang sedang asik memperhatikan saya itu. Dia kemudian bangkit dan meninggalkan saya kembali dengan buku tulis yang tadi dibawakannya. Masih tersisa lembar-lembar yang belum saya sentuh. Beberapa halaman di depan sudah penuh dengan tulisan, tulisan tangan saya. Ada cap bibir dengan lipstick merah marun di halaman paling belakang.
Suster Ana sayang Aling.
Tulisan itu rapi berjajar di bawah cap bibir. Perempuan aneh, kolot! Apa dia pikir kata-kata seperti itu punya arti untuk saya? Dia bodoh.
Dada saya kosong. Benar- benar kosong. Hanya perempuan itu yang mencuri perhatian saya. Saya menggambarnya pada lembar kosong di buku tulis lusuh yang jadi satu-satunya alat komunikasi kami. Komunikasi teraneh antara dua perempuan yang berseragam putih dan yang berseragam biru telur asin. Perempuan yang hanya bicara tanpa tanggapan dan perempuan yang diam tapi bicara. Saya menggambar tubuhnya terlalu besar, perempuan itu tidak segendut ibu saya. Saya tidak punya ibu.
Entah berapa jam yang saya habiskan berkutat dengan gambar itu. Menggambar matanya, rambut, payudara, kemaluan, paha dan jari kaki.
Saya berhenti menggambar ketika pintu berlapis besi di samping saya terbuka, saya suka sekali berada di balik pintu. Saya tahu itu orang yang berbeda dengan petugas piket yang akan menjemput saya kembali ke kamar ketika senja mulai turun. Saya menunduk, meremas buku tulis yang sejak tadi tenang di lantai.
Itu seorang pria, laki-laki.
Ini laki-laki pertama yang saya lihat sejak pria terakhir itu mati, Kokoku. Suami Cece.
Saya tahu dia mengedarkan pandangan untuk mencari saya, tak ada orang lain lagi. Kemudian dia mendapati saya di belakang pintu.
“Linggan!”
Dia menyebut nama saya, dia tahu siapa saya. Saya mendongak, menatap langsung pada wajahnya. Dia laki-laki yang tampan, orang jawa seperti saya. Tumbuh rambut tipis di sekitar bibir atasnya. Saya tak tahu siapa dia. Tapi sepertinya dia mengenal saya, dia menyebutkan nama saya tadi. Laki-laki ini kemudian berlutut di depan saya. Saya baru menyadari tangan kirinya buntung, sama seperti kaki kanan saya. Saya sudah lupa kaki saya buntung, dia yang mengingatkan saya. Tatapanya menusuk langsung ke birahi saya. Dia mengeluarkan secarik kertas dari saku kanan jasnya, seperti foto. Kemudian meletakanya di tangan saya, membimbing saya untuk melihatnya dengan tanganya.
Dua bocah sedang bergandengan tangan. Memakai seragam taman kanak-kanak sepertinya. Dengan botol minuman tergantung di leher dan tas punggung yang kebesaran. Saya mengenali foto itu, boca-bocah dalam foto itu. Yang mukanya kaku memandang lurus dan mata yang polos. Saya ingin mengucapkanya, tapi tertahan dengan kuat di tenggorokan. Mengalir masuk ke paru-paru bersama alveolus. Kembang-kempis mau meledak, tapi tetap kuat.
Laki-laki ini, saya tahu.
Dia memungut buku tulis yang tergeletak di lantai, kemudian membuka halaman pertamanya. Meletakan foto itu di sana. Berdampingan dengan sebuah nama yang saya tulis pertama kali saat saya di masukan ke ruang putih ini.
Jati.
Saraf-saraf motorik di sekitar rahang saya seketika tertarik ke belakang, membentuk seulas senyum untuk Jati.
Jati memeluk seolah saya akan menguap ke langit, meninggalkanya lagi. Saya tidak membalas pelukanya, tapi sepertinya Jati tak perduli. Dengan satu tangan saja dia bisa membuat saya remuk jika terus memeluk seperti ini.Menyadari saya hampir saja tersedak tak bisa bernapas, Jati segera melepaskan saya.
Jati mencium saya!
Saya seperti ingin balas melumat habis bibirnya, menularinya dengan sakit akal yang selama ini menahan saya tetap di ruang putih. Angin gending menyapu habis kami berdua, meliuk-liuk mengaduk pikiran kami dengan anggun.
Ciuman yang mungkin tak berarti apapun jika Jati mencium saya di depan gerbang taman ketika kami masih kanak-kanak.

Belum ada yang datang setelah dua hari ini,telepon juga tak berdering. Saya masih mendapati dia mengacuhkan saya, diam tak bergerak. Tapi saya tak segan mendekat. Sesekali saya cium kening atau pipinya. Masih tetap wangi, wangi khas melati.
“Sabar ya, Mamak! Saya masih yakin Koko sama Cece pasti datang.”
Bibirnya seperti tersenyum mengiyakan saya. Kemudian saya tinggalkan dia kembali di kamar gelap yang sudah dua hari ini tidak saya buka jendelanya.
Jika malam ini mereka tak datang atau sekedar menelpon, saya tak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Telepon saya sejak dua hari lalu saja sudah tak mereka hiraukan. Mana mungkin saya datang kesana dan membiarkan Mamak sendirian? Nanti Mamak bisa kesepian, saya tak tega. Mamak masih butuh saya, Mamak butuh teman.
Apa mereka masih marah pada saya karena hal itu? Itu kan cuma air panas, beberapa hari juga luka mereka akan sembuh. Saya saja tak keberatan merawat Mamak sendiri dengan kaki buntung seperti ini. Saya juga tak keberatan menjadi anak angkat dari keluarga mereka. Saya juga tak keberatan dipisahkan dari emak dan bapak. Kenapa mereka ambil hati jika saya hanya menyiram mereka dengan air panas?
Lamunan saya buyar ketika terdengar suara pintu berdecit dibuka dari luar. Mata saya silau, samar-samar saya melihat dua sosok mendekat masuk. Ini sudah dua hari saya tidak melihat sinar matahari. Di rumah ini memang tak ada orang lagi setelah dua hari yang lalu saya mengusir bibi. Pembantu yang sudah 20 tahun mengabdi pada Mamak.
“Kamu gila, Ling!!!”
Salah seorang meneriaki saya begitu mereka masuk dan melihat saya.
“Mamak… Mamak jangan pergi!! Maafin aku Mak… Harusnya aku ada di sini sama Mamak.”
Itu jelas suara khas isakan Ceceku, berarti orang yang satu lagi adalah Koko.
Saya berjalan terpincang mengejar Koko dan Cece berlari ke kamar Mamak.
“Kalian yang gila!!! Bukan saya… bukan saya…”
Entah apa yang merasuki hati saya, tiba-tiba rasanya bendungan yang selama ini sudah dibangun dengan kuat hancur begitu saja, membawa air bah. Melukai setiap inci yang dapat dilukai. Saya mengamuk, menyambit Koko dan Cece degnan sebilah pisau ikan yang sejak dua hari lalu saya simpan. Menebas lengan Cece, kepala Koko, lehrnya, kaki, perut, semuanya! Ha…Ha… Ha…
Sampai saya puas! Saya lega…
“Mamak mau teman kan? Haaa?? Ini saya bawakan Koko sama Cece. Kalian bisa bersama di kuburan nanti. Ha… ha… ha….”
Entah sudah berapa hari saya di sini, di antara potongan-potongan tubuh Koko dan Cece. Dan mayat Mamak di atas ranjang. Bau wangi ratuasan dupa yang saya nyalakan sejak Mamak mati juga sudah berganti dengan bau anyir. Mengingatkan saya pada saat pertama kali Mamak bersikeras minta teman. Kalimat itu masih saya ingat dengan jelas.
“Kaki lu buntung, Ling! Sapa yang mo nikah sama lu? Mamak ini butuh kawan, lu malah siram Koko sama Cece lu pakek aer panas. Kalo mereka pigi, sekarang Mamak sendiri. Cuma sama lu! Yang bisanya Cuma ngrepotin sama kaki buntung lu itu!”
Aling sudah bawa Koko sama Cece pulang, Mak! Sekarang Mamak punya teman.

Siang itu di depan taman kanak-kanak
“Linggan nggak suka ikut Mamak. Linggan mau balik ke rumah lama. Di samping rumah Jati.”
“Ayo kita pergi!”
“Mau pergi kemana?”
“Kita sembunyi aja, Jati ga mau jauh-jauh lagi sama Linggan.”
Begitu saja kami langsung saja berlari berhamburan sambil bergandengan. Menjauh dari semuanya. Aku capek sekali rasanya, Jati juga. Tapi kami harus terus lari, nanti Mamak bisa mengejar kami kalau tak cepat lari.
“Jati awas mobil…..”
“Linggan….”
BrRaAGggG……………………………………………………………………………………

(27 September ‘10)



Tugas: menggambarkan karakter dari tokoh
Matahari sedang lari pagi ketika tubuhnya yang liat memelukku dari belakang.
“Ayolah beibz! Hari ini saja, biar aku menikmati kamu.” Rayunya dengan manis.
Melihat bibirnya dengan kumis tipis karena belum bercukur pagi ini dan aroma musk jantan dari tubuhnya yang proporsional membuat pendirianku hampir saja goyah. Apalagi dengan kedua tanganya yang kuat, yang sering dipakainya untuk panjat tebing. HuMm…
“Ga bisa sayang…! Satu bulan lagi kita ketemu. Dan aku akan melumat habis bibir dan gigi ginsulmu itu.”
Dia melepaskan pelukannya dan menghempaskan diri di kasur air yang sengaja di belinya untukku. Caranya merajuk padaku persis seperti putraku yang baru berumur sepuluh tahun. Sama sekali berbeda dengan ketika ia mengunakan setelan jas dan pergi ke kantor. Atau ketika ia berarung jeram. Putraku sendiri menyebutnya Om Seksi.
Aku berpaling ke arahnya dan tersenyum. Ada keheningan sesaat di antara kami, menyisakan suara high-heels yang ku pakai. Aku suka sekali caranya merajuk…
“Cuma kamu yang bisa membujuk aku dengan cara seperti ini, bahkan Billy pun tidak.” Aku mengecup pipinya.
Kemudian aku pun beranjak meninggalkannya. Aku bahkan masih sempat melihatnya mengerling menggodaku saat aku meninggalkan apartemennya. Menyusuri koridor yang membawaku semakin jauh dengannya. Mengingat setiap saat yang pernah kami lalui. Selama sejarah itu, hal tersulit adalah mengatakan tidak padanya. Semua itu harusnya tak jadi sesulit ini jika saja semua tidak terjadi pada waktu yang paling terlambat. Ketika aku sudah menikah dengan Jonathan dan memiliki Billy. Seharusnya menjadi sangat mudah untuk meninggalkannya dengan segala kebahagiaan yang sudah ku miliki, dia hanya cinta monyet saat SMA. Tapi kenyataannya tidak.
***
“Sayang, malam ini ada acara?” Jonathan menoleh ke arahku sambil sibuk melepaskan dasinya.
Aku mendekat dan membantunya melepas dasi. Melihat matanya yang teduh dan raut muka yang tenang. Siapa wanita yang takkan takhluk melihatnya?
“Iya, tapi kita ada janji sama Billy. Kamu bilang mau ajak Billy makan di luar?”
Jonathan mengambil sebuah undangan di atas meja telpon dan memberikannya padaku. Sesaat ku baca, ini adalah undangan dari rekan bisnisnya. Nama Pak Wijaya, orang yang telah membantu perjodohan kami sekaligus paman Jonathan tertera di bagian bawah undangan. Tentu akan sedikit untuk menolak.
“Kita ajak Billy ya?” celetuk Jonathan tiba-tiba.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya. Jonathan, kamu terlalu sempurna. Dia mendekat dan mencium keningku. Dengan sedikit nakal dia mencubit bokongku. Aku pun balas menggigit pundaknya. Sesaat kami sempat saling goda sebelum Billy masuk ke kamar kami dan terlibat dalam pergumulan yang sering kami lakukan bertiga saat senggang. Saling menindih, mencium satu sama lain, melempar bantal dan sering kali berakhir dengan tangisan Billy karena dia terjepit di antara kami berdua, aku dan Jonathan. Papa dan Mamanya.

Malam itu aku mendandani Billy dengan jas kecil serupa milik Jonathan, mereka mirip sekali. Cara berjalan yang sama-sama seperti  sangat priyayi. Atau mungkin cara mereka bersin, mirip sekali. Sementara aku mengenakan gaun pendek sedikit di atas lutut tanpa bahu berwarna merah marun. Jonathan memberikannya padaku segera setelah aku keluar dari kamar mandi, gaun baru. Dia benar-benar tahu yang aku suka_entah apa yang membuatku bisa berpaling.
Kami berjalan memasuki ruang pesta keluarga Om Wijaya, sangat luas dan glamor. Billy berjalan menggandeng tanganku. Ada bebrapa orang yang ku kenal, namun banyak juga yang tidak. Sampai akhirnya mataku berhenti pada sosok pria yang terlalu ku kenali. Mata kamiberadu pandang cukup lama ketika Jonathan sedang sibuk mengobrol dengan Om Wijaya. Lelaki itu tak mengandeng wanita manapun ke pesta ini. Tapi kami bahkan tak sangup untuk saling menyapa, dia hanya melambaikan tangan pada Billy dan Billy pun membalasnya.
“Mama, itu Om Seksi.” Celetuk Billy tiba-tiba.
Sementara aku hanya tersenyum pada Billy, aku tak tahu harus apalagi. Tanpa di sangka sepertinya Jonathan menangkap sesuatu di antara aku dan pria itu. Jonathan mendekatkan bibirnya ke telingaku dan membisikan sesuatu.
“Aku tahu siapa dia. Temuilah dia, tapi pada akhirnya kamu harus kembali padaku dan Billy.”
Kata-kata Jonathan seperti ribuan tangan yang menamparku sekaligus. Perih dan sangat memalukan.
Tentu saja, mana mungkin dengan sebegitu banyak koneksi. Akan sangat mudah bagi Jonathan untuk menemukanku yang sedang bermain-main. Entah rasa malu seperti apa yang harus aku permasalahkan nantinya ketika tiba-tiba saja aku menggenngam tangan Jonathan begitu kuat dan mencium pipinya.
Sepasang mata di seberang sana tentu saja sedang mengawasiku. Bahkan beberapa kepala yang tadinya hanya asik mengobrol dengan Jonathan. Atau mata wanita-wanita yang sejak lama sudah menunggu Jonathan lepas.

Memeluk Jonathan di gazebo rumah kami mala mini mengingatkanku tentang beberapa tahun silam ketika aku masih 19 tahun, saat Jonathan menikahiku. Sekarang aku sudah 25 tahun. Usia yang sudah tak terlalu pantas lagi untuk bermain-main.
“Aku udah tinggalin dia sebulan yang lalu dan….”
Jonathan tiba-tiba saja menghentikan kata-kataku dengan jari telunjuknya. Dia menatap manis padaku.
“Aku tahu semuanya, sayang. Kamu udah kembali pada aku dan Billy, itu udah cukup.”
Jonathan memelukku semakin erat.






Tugas: mengarang menggunakan beberapa kata yang dipilih secara acak.
Keywords:      -Sepatu
-Langit-langit
-Kamar mandi
Belum juga matahari bangun, ini masih pada masa antara malam dan pagi. Bapak sudah ribut mengobrak-abrik dapur.
“Jancok! Ndasku iki ngelu!”
Aku berjalan sempoyongan menuju teriakan Bapak. Asem! Subuh-subuh begini sudah sarapan jancok. Ibuk juga pasti sudah sarapan piring pecah sama dandang terbang di dapur. Ha ha ha, keluarga yang sangat harmonis.
Baru saja kepalaku melongok dari pintu dapur yang engselnya sudah lepas, Bapak langsung menyambutku dengan sepatu proyek taik asu yang biasa dipakainya kerja. Sepatu yang membuat gundik-gundiknya kepincut setengah mati.
“Heh! Anak begenggek! Mrinio! Tak antemi sisan! Anak kampret!”
Sepatu itu goal! Lemparan tiga angka pas di kepalaku! Mata yang tadinya masik melek 5 watt otomatis belo, sekarang sudah seperti telur ceplok.
Bisa ditebak, Bapak pasti pulang dengan keadaan teller setelah menenggak bir kecubung dari tongkrongan pabrik sebelah rumah. Masuk rumah, nabrak ini itu, ngomel begini begitu kemudian ke dapur. Kalau tidak ada sarapan, sudah pasti aku atau Ibuk yang sarapan!
Aku berjalan ke kamar mandi, menemukan Ibuk duduk mekangkang dengan gombal penuh darah di sekitarnya. Aku menelan ludah!
“Ibuk datang bulan?” tanyaku sok pintar pada Ibuk yang sedang mengelap pahanya.
Aku baru saja mendapat pelajaran tentang datang bulan ketika dua minggu lalu naik kelas enam. Sungguh tingkatan kelas yang tak pernah aku bayangkan bisa setinggi itu.
Sekenanya saja aku masuk ke kamar mandi, pipis di sebelah Ibuk sambil menatap langit-langit.
( 04 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar