Minggu, 14 November 2010

Karya Diana Tutik Maghfiroh 080110191034

A
nak malam tumbuh bagai tunas kelapa, menggapai matahari. Si nenek menyiraminya dengan telaten. Tak ada air susu ibu, disusuinya sang cucu dengan susu kaleng terbaik dan termahal.
Anak malam tak pernah bias diam. Seluruh rumah neneknya dijelajahinya. Suatu hari, anak malam berdiri didepan sebuah pintu.
“Sana, masuk, sana!” si nenek menyuruhnya masuk kedalam sebuah kamar. “itu peninggalan kakekmu…………..”
Anak malam mendorong pintu. Sebuah dunia terkuak dan membentang dihadapannya. Dia seperti mendapatkan surge. Didalam kamar itu ada piano dan gitar serta rak – rak penuh kaset, piringan hitam lapuk,dan ribuan buku; sastra, filsafat, social budaya dan politik.
“kamu harus membacanya, nak.”
“untuk apa?”
“agar kamu diperhitungkan orang.”
“bisakah Al menemukan orang tua Al dibuku-buku itu”?
Bisa, Tapi itu hanya ada dalam imajinasimu saja”
“ Kenapa nenek merahasiakan orang tua Al? ”
“Orang  tuamu sudah meninggal. Kecelakaan, Al”
“Lalu siapa wanita cantik yang pernah dating kesini?”
“Dia bukan siapa-siapa. Dia hanya bersimpati padamu. Dialah yang membiayaimu sekolah. Makanya kamu jangan mengecewakan dia. Kamu harus pintar. Harus maju. Supaya dia senang. Supaya dia tidak merasa sia-sia membiayaimu………………”
Anak malam tidak berkata-kata lagi. Dia banyak mengurung diri di kamar peninggalan kakeknya. Orang tuanya sudah meninggal. Kecelakaan. Titik. Itu saja yang dia tahu. Entah kecelakaan pesawat terbang, Mobil, atau motor.
“Kecelakaan apa, nek? Pernah Al bertanya sekali.
“Apa peduli kamu? Kecelakaan tetap kecelakaan. Sudahlah. Jika kamu bertanya terus tentang orang tuamu, justru itu membuat nenek sedih. Kamu harus ingat, bahwa kamulah milik nenek yang tersisa. Nenek tidak mau mengingat-ingat orang tuamu lagi……….”
Al tak pernah menanyakan lagi. Toh, dia punya nenek yang menyayanginya. Toh, dia tak pernah kekurangan apa-apa. Toh, ATM-nya selalu terisi dengan uang dalam jumlah nominal yang sangat mengejutkan, jika dibandingkan dengan kawan-kawan disekolahnya. Tapi, diam-diam dia jadi remaja pemberontak disekolahnya. Orang-orang lebih suka memanggilnya: Hey, Al! itu lebih manusiawi!Dengan celana jean belel dan kaos oblong, Al menaklukkan gadis-gadis cantik disekolahnya dengan sajak-sajak, senyum mautnya! Kota kabupaten yang berhawa sejuk itu jadi panas membara oleh ulahnya! Neneknya selalu dibuat pusing tujuh keliling.
Suatu pagi yang basah, si nenek sudah duduk di sisi tempat tidur Al. dia membelai kepala Al dengan penuh kasih sayang. Al menggeliat.
“Ayo bangun……….”
“Aaaah……………”
“Sholat subuh dulu…..”
“Ntar aja!”
“Al, Nenek nggak masalah kamu nakal disekolah. Yang penting bagi nenek, kamu itu rajin sholat, minta perlindungan sama Gusti Allah, agar jalan hidup kamu dimudahkan…….”
“Ah, nenek ini selalu bicara tentang Tuhan aja! Basi itu, nek!” Al menelungkupkan tubuhnya. Selimut tebal ditariknya.
‘Astagfirullah, Al……,” Si nenek kecewa. Dia sadar, bahwa hidupnya tak bias mengandalkan siapa-siapa lagi; Nurlela atau bahkan cucunya. Oh, suamiku! Betapa beruntungnya engkau! Aku rindu padamu. Kapan waktuku tiba? Hatiku berbisik lirih. Air mata keluar dari kedua kelopak yang dipenuhi keriput.
Al memang tak memperdulikan agama dan Tuhan. Dia lebih banyak mengurung diri diperpustakaan kakeknya. Semakin banyak Al membaca buku, semakindia menganggap Tuhan tak adil padanya. Lahir tanpa orang tua yang jelas dan dibesarkan neneknya, bagaimana bias adil! Dia tahu neneknya merahasiakan sesuatu. Tapi, sesuai dengan usianya, dia juga tidak bodoh menelan begitu saja cerita neneknya. Cerita tentang wanita yang selalu mengirim uang. Dia yakin, bahwa dia terlahir dari seorang wanita, dimana si lelaki tidak mau bertanggung jawab. Atau bias saja dia terlahir dari rahim seorang pelacur! Itulah yang dia dapatkan dari perlakuan lingkungannya, terutama teman-teman sebayanya yang selalu mengolok-oloknya sebagai anak haram! Awalnya Al selalu menghadiahi orang-orang yang meledeknya sebagai anak haram dengan bogem mentah. Tapi akhirnya Al tak peduli lagi.
Selepas sekolah lanjutan atas, neneknya dipanggil Sang Pemilik. Ketuaan menggerogotinya. Di pemakaman, Al hanya bias bersimpuh. Orang yang selama ini merawat, mengasihi, dan menyayanginya telah tiada.
“Maafkan segala kesalahan Al, nek. Semoga dialam sana nenek menemukan kebahagiaan, bertemu dengan kakek yang nenek cintai……….”
Tanah merah ditimbun. Tubuh kaku yang ringkih terbalut kain putih lenyap sudah dari pandangan mata. Al melangkah pergi membawa kekosongan jiwanya. Kini aku tak punya lagi induk.
Kemana aku harus pergi? Kota ini begitu sepi. Tante Nurlela? Ya, tante Nurlela! Aku harus dating kejakarta mencarinya! Hal itupun diungkapkan kepada pacarnya.
“jadi, kamu mau keJakarta? Kata Inge disaat perpisahan sekolah.
“Iya!”
“kamu mau tinggal dengan siapa di Jakarta, Al? kamu sebatang kara.”
“dengan tanteku, Tante Nurlela!”Oh, bidadari yang selalu mengirimi uang serta oleh-oleh made in luar negeri itu?! Ketemu saja belum! Tante fiktif itu namanya!kayak tokoh-tokoh cerita picisanmu!”
“Justru dengan kuliah di Jakarta, tak ada alas an bagi tanteku menolak ketemu aku! Dan aku bias buktikan, bahwa selama ini tanteku bukanlah tokoh fiktif!”
“Lantas bagaimana hubungan kita, wahai pengarang!”
“Kamu pengenya gimana/ Seminggu sekali aku ngapelin kamu kesini? Begitu maumu? Oke, oke!”
“Nggak ada gunanya, Al!” Inge berkemas. “Minggu pertama lancer. Minggu kedua, ketiga, dan setarusnya kamu akan membiarkan aku kesepian di sini!”
“Ya, sudah!” Al juga menghardik.
“Ya, sudah! Selamat tinggal, pengarang! Awas , jangan masukkan aku ke dalam tokoh fiktifmu!”
Lalu Al menuju ke terminal kota. Neneknya andai saja bisa bangkit dari kubur- tak rela melepasnya. Tapi, Al bagai kuda liar. Dia ingin meneklukkan kota Metropolitan. Arwah neneknya tak berhasil menahannya. Alamat apartemen ternama dipegangnya, dimana tante Nurlela berada.
Sesampainya dikampung Rambutan, hari sudah malam. Dia memesan taksi. Beberapa taksi merubungnya. Tawar-menawar. Dia bersikeras ingin memakai argo saja. Kota sehebat Jakarta, masak masih ada taksi gelap! Untuk apa system di terapkan? Untuk apa Busway diadakan? Untuk apa ada institusi yang mengatur urusan angkutan jasa?
Taksi mengaduk-aduk malam.berputar-putar kesana-kemari. Dia tahu, sopir taksi sengaja membawanya tersesat, puira-pura tidak tahu alamat apartemen yang hendak ditujunya.
“Bang! Jangan macem-macem, ya!” hardik Al.
“Mana saya mau macem-macem!”
“Tapi, buktinya! Sudah satu jam masih muter-muter kayak gini!”
“Bukan muter-muter, namanya! Ini lagi nyari alamat!”
“Udah minggir, bang! Minggir di sana!”
“Ya udah!” taksi minggir.
Al turun dan membuka pintu sopir.
“Kalau lu butuh duit, jangan main tipu kayak gini! Kuno! Basi!
“Eh, maksud lu apa?”
“Lu sopir tembak ya?
“itu urusan gua!”
“Lu anggap gua anak bawang, apa!”Al naik pitam, sopir taksi dihajarnya, karena sudah mempermainkannya. Argo kuda dirusaknya.
Sopir taksi terkapar. Darah bercucuran dari mulut dan hidungnya. “Bangsat lu………,”supir tembak mengerang.
“Lu yang bangsat! Orang-orang kayak lu itu nggak tau diri! Lu yang ngerusak image sopir taksi yang baik-baik!”
Tapi, peristiwa di pinggir jalan itu memancing perhatian. Beberapa taksi taksi meminggir. Para sopirnya turun dan mengerumuninya.
“Heh, heh,! Ada apa ini?”
“perampokan, ya!”
Tubuh Al didorong-dorong.
“Tanya aja sendiri ama dia!” Al menunjuk kepada sopir tembak.
“Sialan lu!
“Sok jago lu!”
“Heh, anak mana lu!”
“Masih kencur, udah sok jagoan!”
Anak malam bukan didorong-dorong lagi. Tapi sopir taksi mengeroyoknya. Al tidak gentar. Kedua kakinya berkelebat. Al yang semasa sekolah jagoan bela diri, melayani mereka. Al marah, Al kecewa! Trnyata sesame rakyat, masih suka menindas.
Sebuah mobil patrol berhenti. Al digiring kekantor polisi. Al tidak takut. Beberapa wartawan yang sedang mencari berita criminal untuk headline, memanfaatkan peristiwa ini untuk Koran meraka esok pagi.
‘Kenapa kamu menghajar sopir taksi?”
“Dia sopir tembak, Pak polisi!” Al meralat.
“Iya, terserahlahlah namanya!”
‘Nggak bias terserah! Bapak-bapak polisi mesti mentertibkan sopir tembak kayak dia!”
‘Tapi kasihan, kan. Dia tu mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Kamu tahu, anaknya sekarang sedang dirawat dirumah sakit. Eh, sekarang kamu malah mengirimnya kerumah sakit pula!Urusan anak sakit,itu soal lain. Tapi,kenapa dia mesti menipu saya? Memeras saya? Masak, dari kampong Rambutan ke Simprug, mesti lewat cempaka putih? Dia piker saya nggak tau apa!’

“mungkin dia nggak tau dimana Simprug?
‘Ah, nggak mungkin itu! Lihat saja argonya! Sudah lima puluh ribu! Mana mungkin!”
“adik ini ngeyel,ya! Si polisi merasa kesal.
“Saya bukan ngeyel, pak! Saya hanya nggak mau ditindas! Kita ini sesame rakyat, saling akurlah. Masak sih, ini saling menindas?saya ini baru lulus sekolah, pak! Mau nerusin kuliah disini! Masak, diembat juga! TKW dibandara, diembat! Beras untuk rakyat miskin, diembat! Para calon pegawai negeri yang mau mendaftar, diembat! Semuanya diembat! Mau jadi apa negeri kita ini, pak! Mau jadi negeri preman?!”
“Jadi kamu merasa ditindas, ya? Tanya seorang wartawan.
“Iya,! Ditindas oleh sesame rakyat! Sopir tembak itu, secara social, sama dengan saya yang baru lulus sekolahan. Mas-mas wartawan ini juga, secara social, sama juga dengan saya. Mestinya kita ini kompak. Sesame rakyat jangan saling menindaslah! Lihat itu di senayan! Sesame dewan malah gontok-gontokan! Apa kita juga mau kayak mereka? Lah, mereka sih enak. Gontok-gontoka juga dapat fasilitas; gaji gede, mobil empuk! Lha, kita? Kita ini selalu dijadikan obyek oleh para anggota dewan sialan itu! Malu, dong!”
“Jadi, mestinya gimana?”
‘Mestinya, sesame rakyat, kita duduk rendah tak berkursi, berdiri sama tinggi tak berdasi! Enak kan!”
“Wah, boleh juga itu pribahasa!” seprang wartawan mengomentari.
“apaan tadi? Ulangi, dong!”
Al berteriak lantang, mengulagi pribahasa atau apalah namanya, “Sesama rakyat, kita duduk rendah tak berkursi, berdiri sama tinggi tak berdasi!”
‘Boleh juga!”
“Pinter juga nih anak!”
“Tadi kan sudah saya bilang, sesame rakyat harus kompak. Mestinya sopir tembak tadi bilang ke saya, bahwa dia sedang dalam kesulitan. Anaknya di rumah sakit. Dia butuh duit! Saya juga manusia. Punya perasaan. Punya nurani. Jangan main tindas kayak tadi! Emangnya rakyat negeri ini bodoh semua, apa?!”
‘Tapi, siapa tahu malah dicuekin sama situ!”
“Belum juga dicoba! Tapi itulah, penyakit social dikota-kota besar. Nggak percayaan lagi sama orang. Kita ‘kan saudara. Satu paguyuban. Bangsa Indonesia. Masak, mau saling nyakitin! Lihat itu di Poso, Sambas, Maluku, Papua! Satu suku menganggap lebih tinggi dari suku yang lain. Untuk apa, coba? Ngapain juga mereka gontok-gontokan kayak gitu? Apa gunanya? Yang rugi kita-kita juga, rakyat! Mestinya kita rakyat bersatu, agar nggak dijadikan obyek melulu. Itu, lihat di gedung dewan. Seenaknya aja mereka rebut, lupa kerja! Mestinya kita rame-rame datengi mereka! Suruh mereka pergi semua! Kosongin itu gedung parlemen! Emangnya gedung itu moyangnya, apa!? Emangnya mereka digratisin, apa?! Kita semua yang nanggung biaya hidup mereka!”
Keesokan harinya, semua Koran merah, memuat foto anak malam. Berita headline tertulis, “ SANG PEMBERONTAK: SESAMA RAKYAT MESTI DUDUK SAMA RENDAH TAK BERKURSI, BERDIRI SAMA TINGGI TAK BERDASI “. Tentang peristiwa perkelahiannya dengan sopir tembak pun diulas. Muncul pro-kontra. Beberapa sopir taksi mendukungnya. Bahkan dengan cara turun ke jalan; mengusung poster dan leaflet. Mereka rata-rata mengeluhkan ulah sopir tembak, yang membuat wibawa sopir taksi sungguhan kurang dimata para penumpang. Sedangkan dimata sopir tembak, anak malam jadi musuh abadi! Jadi target operasi, bahwa anak sialan itu harus dimusnahkan!




 
Dirimu……
Ku mencintaimu setulus hatiku
Ku menyayangimu dengan sepenuh jiwaku
Ku mengasihimu sepanjang usiaku
Ku menginginkanmu lebig dari apapun
Meski tak seindah yang kau mau
Tak sesempurna yang semestinya
Namun ku mencintaimu
Sungguh mencintaimu
Bagitu erat……
Begitu lekat, perasaanku kepadamu
Tak bias ku hentikan
Tak mampu ku tepiskan,,,,,,








Untitled

Seorang laki-laki kecil berusia 3 tahun yang diberi nama Muhammad Ibnu Irfan Syayyaf oleh ibunya tiba-tiba mengejutkan masyarakat karena di usianya yang masih terbilang bayi ternyata sudah hafal Al-Qur’an. Bocah kecil ini memang aneh, bayangkan saja diusianya yang masih berumur 3 tahun sudah hafal Al-Qur’an yang setebal itu.
Mulanya, ibunya mengira bahwa anaknya itu seorang yang mengalami cacat mental karena mulai dari lahir sampai ia berumur 3 tahun tidak pernah menangis, padahal normalnya bayi paling sering menangis untuk mengekspresikan apa yang dia mau. Maklum, bayi kan masih belum bias berbicara.
Tepatnya, pada permulaan bulan syawal, bocah yang akrab disapa Ifin ini melafalkan beberapa ayat Al-Qur’an  ketika semua orang terbangun dari tidurnya untuk melaksanakan sholat subuh. Tiba-tiba Ifin menangis dan kemudian ia mengaji. Subhanallah………..! ibunya yang pertama kali memergoki Ifin yang sedang mengaji kaget dan kagum bahkan seakan bermimpi melihat semua kenyataan yang ada. Namun, inilah kenyataan dan suatu berkah dari sang maha pencipta yang patut kita syukuri. Masyaallah, begitu besar kuasa Allah yang menjadikan bocah berumur 3 tahun seorang hafidulqur’an (seorang laki-laki yang hafal Al-Qur’an).




INDAH PADA WAKTUNYA,,,,,,,,,,!!!!!!!!!!
Suatu malam yang kelam, seorang gadis bernama Lidia duduk termenung di teras depan rumahnya yang dikelilingi bunga mawar merah yang elok sembari memandangi langit hitam yang ditaburi oleh gemerlap cahaya rembulan dan jutaan bintang. Gadis itu sedang gundah hatinya meratapi hidup yang seakan tidak terkonsep. Yang ada dipikirannya malam itu hanyalah nasib hidup yang seolah – olah hidup ini tidak adil baginya atas semua peristiwa yang menimpa hidupnya selama ini. Sampia akhirnya, ibunya dating menghampirinya lalau bertanya pada Lidia “ sedanga apa kamu disitu?” lalu Lidia menjawab “gak ada bu, hanya ingin melihat bintang saja”. “sudah malam, lebih baik kamu tudur saja nak, gak baik malam – malam di luar rumah, angin malam sangat mengganggu kesehatan.” Ujar ibunya. “ia bu, sebentar lagi Lidia bobok” jawabnya. Berkalai–kali ia mencona memejamkan mata, berkali–kali pula ia berperang menghilanhkan beban pikirannya yang membuat ia tidak bias tidur namun hasilnya nihil. Tetap saja ia tidak bisa tidur. Akhirnya ia pergi ke kamar mandi untuk berwhudlu’ kemudian sholat malam dengan harapan apa yang menjadi kegundahan hatinya selama ini mememukan titik terang dan petunjuk dari sang maha pencipta. Lidia bersimpuh, memohon kepeda tuhan agar biberikan ketentraman, kedamaian dan kesehatan serta rejeki yang halal dalam menjalani hidup ini.
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan dan tahunpun kini telah berhanti tahun. Akhirnya tuhan mengirimkan sosok lelaki yang penuh dengan cinta, kasih dan sayang dan degnan kesungguhan hatinya akhirnya lelaki yang bernama Andika itu meminangnya dan mereka menikah. Akhirnya Lidia sadar bahwa tidak ada yang bias melangkahi kehendah tuhan. Dibalik kegundahan hatinya selama ini, masih tersimpan sejuta kebahagiaan yang tak terkira dan Lidia sadar bahwa semuanya pasti indah pada waktunya.






HIKMAH DI BALIK KEGAGALAN
            Dulu aku menyangka tolak uku kepintaran dak kesuksesan seseorang adalah jika diterima di perguruan tinggi negeri (PTN). Hal ini makin terpatri dibenakku sewaktu satu persatu alumni SMA-ku yang berhasil diterima di PTN berdatangan ke sekolah dan menceritakan pengalaman mereka di bangku kuliah. Banyak di antara mereka yang diterima di PTN tanpa melalui ujian saringan terlebih dahulu karena memiliki prestasi baik, sehingga mereka masuk PTN melalui jalur PMDK.
            Seperti siswa lainnya, aku sangat terinspirasi oleh kedatangan para alumni tersebut. Aku terpacu belajar lebih giat, agar bias masuk PTN dambaanku. Pertengahan semester, aku mendaftar agar bias diikutsertakan dalam program PMDK. Aku berharap sekali bias masuk, karena yang kuincar adalah jurusan konservasi hutan yang sangat mendukung hobiku berkreatifitasdi alam terbuka. Harap-hapar cemas aku menunggu pengumuman itu.
            Tapi ketika hasil PMDK diumumkan, aku harus harum menerima kenyataan pahit. Aku gagal. Teman-temanku yang mempunyai peringak tiga besar di kelaslah yang berhasil mendapatkan PMDK tersebut. Aku sedih sekali, tetapi tambah sedih lagi ketika tahu bahwa mereka yang terpilih itu kebanyakan hanya main-main, sekedar uji kemampuan dan gengsi-gengsian doang. Mereka tidak mengambil kesempatan itu, karena mengincar jurusan lain melalui jalur SNMPTN. Aku kesal bengan kelakuan mereka karena telah menghalangi orang lain yang betul-betul menginginkannya.
            Waktu terus berlalu. Masa SMA-ku pun berakhir, kegagalanku melalui program SNMPTN kuanggap sebagai kegagalan awalku masuk PTN. Meskipun begitu, aku tetap bertahan masuk PTN lewat jalur lain, yaitu SNMPTN. Penuh semangat aku bersiap mengikuti ujian saringan nasional tesebut. Denagn belajar lebih serius, aku berharap bias masuk jurusan argobisnis, di Universitas negeri terkemuka yang ada di Bandung atau Lampung. Jurusan itu memiliki peringkat tinggi, dengan demikian sainganku pasti sangat banyak. Sebetulnya aku merasa sedikit agak pesimis, tapi aku tetap mencoba dan giat belajar semaksimal mungkin.
            Ternyata konsentrasiku untuk masuk PTN harus terbagi, karena bapakku juga menyarankan juga untuk mengikuti seleksi masuk STPDN, yang cukup berat, karena seleksi dari tingkat kabupaten dengan dengan peserta yang tidak kalah banyak. Sebetulnya aku enggan, tapi tidak mau mengecewakan bapak. Akhirnya kujalani keduanya, hingga harus terpaksa mondar mandir Bandung, tempat mendaftar SNMPTN, dan daerah asalku, karena seleksi STPDN di kabupaten belum selesai. Energiku terkuras, konsentrasiku terpecah, dan hasilnya bias ditebak, aku gagal diterima di PTN maupun di STPDN.
            Aku merasa kecewa, marah, sekaligus malu. Aku kecewa pada diri sendiri, karena ketidakmampuanku. Padahal sudah terbayang menjadi mahasiswa di PTN top adsalah tiket keberhasilanku dimasa depan. Aku malu dan kasihan pada orang tuaku yang sudah menghabiskan banyak biaya buatku. Aku juga malu bertemu dengan teman-teman yang kebanyakna berhasilditerima di PTN. Padahal, ada diantara mereka yang berprestasi tidak lebih baik dariku. Hal ini sempat membuatku minder dan mengurung diri. Akan tetapi bapak terus mendorongku untuk terus sekolah meskipun kemampuan ekonomi keluarga kami pas-pasan. Beliau menyuruhku untuk kuliah, meskipun tidak di PTN. Akhirnya aku mengikutu saran bapak dan mendaftarkan kuliah disebuah akademi computer yang kupilih karena biayanya termurah dan brosur-brosur PTS yang tak hentinya berdatangan sejak aku lulus SMA.
            Ketika aku kuliah ditahun kedua, keluarga kami mendapatkan ujian yang sangat bersar. Bapakku meninggal dunia. Aku sangat terpukul dengan kejadian ini, maeskipin begitu aku tetap bertekad menyelesaikan kuliah sesuai dengan pesan almarhum bapakku. Alhamdulillah, setahun kemudian aku berhasil lulus, dan sebulan kemudian aku diterima bekerja di sebuah instansio swasta. Mulai saat ini, aku bisa sedikit meringankan beban ibu karena sudah busa membiayai hidupku sendiri dan tidak lagi merepotkan beliau. Malah aku berusaha membantu keluargaku semampuku. Aku sangat mensyukuri anugerah yang Allah  berikan padaku.
            Ketika kurenungkan, mungkin ini hikmah dibalik semua kegagalan masuk PTN. Apabila waktu itu aku diterima, beban ibuku pasti bertambah berat, karena masa kuliah sarjana menghabiskan waktu dan biaya yang lebih banyak. Ternayata, dengan kuliah di akademi swasta, masa studiku lebih singkat dan meringankan beban keluarga. Lagipula karena sudah bekerja, aku masih bisa meneruskan kuliah ke tingkat sarjana denagn biaya sendiri, juga membantu biaya sekolah adik-adikku yang lain. Alhamdulillah, dibalik semua kegagalan yang kualami, Allah swt menyimpan rencana yang lebih baik untukku.



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar