Minggu, 14 November 2010

Karya Eldiana Agustina


4 Oktober 2010

Dua Bocah


            Dikala senja, diiringi hangatnya sinar sang surya, sebuah lapangan hijau yang lumayan luas diramaikan dengan berbagai gerak canda, tingkah polah bocah bocah desa Sumber Makmur yang terletak di kawasan pegunungan Semeru. Begitulah pemandangan rutin yang selalu tampak setiap harinya di kawasan yang lumayan terpelosok ini.

            Udin dan Midi, dua bocah sepadan kelas 3 sekolah dasar itu, tengah asyik bermain layang-layang. Sinar matahari kala itu jelas tidak membakar kulit mereka. Udara sejuk tetap mengalir menyegarkan sedikit kegerahan karena keringat yang mengalir di sekujur tubuh mereka. Mereka memang bocah-bocah yang lincah dan penuh semangat.

            Udin, bocah berpawakan kurus kecil dengan rambutnya yang hitam pekat, tiba-tiba menangis sejadi-jadinya. Ternyata layangannya putus akibat beradu dengan bocah lain yang memang tidak sepadan dengannya. Namun Udin sengaja tidak mengejar layangannya yang putus itu karena ia pikir jaraknya sudah terlampau jauh dan layangannya itupun sudah dikejar semua bocah yang tertumpah ruah di lapangan itu.

            Midi terheran-heran melihat tangis sahabat karibnya itu.
“Din, kenapa kamu ini? Kuk sampai nangis kayak gitu!”
“Haduh… Kesel sial banget aku hari ini!” ujar Udin sambil menangis sesenggukan.
“Cengeng!” celetus Midi sambil mengusap keningnya yang basah.
“Hei Di, kamu itu bicara apa sih, bukannya menghibur aku malah ngeledekin aku! Huh…teman macam apa kamu itu?” balas Udin dengan suaranya yang serak-serak basah.

            Midi memang berpawakan lebih besar dan tinggi dibandingkan Udin, sikapnyapun lebih dewasa. Midi adalah teman Udin sejak kecil, dengan rambut keriting berjambulnya, dia mencoba menenangkan suasana.

“Maaf din, tapi kamu kan gak perlu sampai nangis gitu!” Ini kan cuma permainan Din, bukannya kamu juga sering kalah tarung, dan kamu gak pernah nangis kan?” nasehat Andi.
“Oke, tapi itu layangan kesayanganku, kamu sudah tahu kan Di, kalau layangan itu sudah mencetak banyak kemenangan dari setiap tarung layangan. Meskipun aku kehilangan seribu layangan, itu gak jadi masalah buat aku, yang terpenting jangan layangan yang satu itu, kesel banget aku kalah tarung!” cerita Udin sambil mengusap keringatnya yang mengalir deras dari kulit sawo matangnya.
“iya.. iya.. sudah Din, relakan saja layangan itu, masih banyak kan layangan lain yang bisa kamu jadikan saksi keahlianmu beradu layangan. He he he..!” dengan penuh senyum dan semangat yang tinggi Midi menghibur sahabatnya itu. 




11 Oktober 2010

Dunia Mimpi Deti

            Bermimpi, hal yang siapa saja pasti mengalaminya, namun tidak semua manusia suka mendapatkan mimpinya, sekalipun mimpi datangnya tidak diinginkan, karena tidak semua mimpi datang dengan indah, mungkin bisa berubah, jadi baik, atau jadi buruk, dan kadang dua-duanya bercampur sembari bergilir. Seandainya manusia bisa memilih mimpinya, seandainya manusia bisa mengubah mimpinya, seandainya manusia bisa mengatur mimpinya , pasti semua manusia cenderung memilih tidur, bermalas-malasan, untuk mendapatkan mimpi pilihannya daripada melakukan aktifitas lain yang lebih berguna.

Die, gadis bermata coklat, dengan bibir tipis mungilnya tidak berhenti tertawa-tawa sendiri tanpa siapapun mengetahui apa yang terjadi dengannya. Dia ingin segera terlelap dalam tidurnya menemui mimpi-mimpi yang akan datang menemaninya. Itulah hal yang biasa dilakukan Die, kecintaannya terhadap mimpi membuatnya menjadi remaja yang hobi tidur. Di sela-sela waktu yang benar-benar tidak ada kegiatan baginya, tidak pernah dia gunakan untuk bermain bersama teman-temannya, atau sekedar berjalan2 keluar mencari angin, baginya ia tetap bisa melakukan hal-hal yang indah dan menyenangkan di dunia ini lewat mimpi. Baginya mimpi adalah kenyataan hidup.

            Sudah sekian lamanya, ibu Die, nyonya Ani terheran-heran dan penuh dengan tanda tanya, apa yang terjadi dengan putri satu-satunya yang mempunyai tingkah laku aneh, suka tidur, namun itu  tidak membawa dampak buruk bagi aktifitasnya sehari-hari, hanya saja masa remajanya tidak ia gunakan selayaknya remaja-remaja yang lain. Nyonya Anapun tidak bisa berbuat banyak. Sering nyonya Ana bertanya pada putri tercintanya,
 “Tidak capek kamu Die, tidur terus? Sindir ibu.
“Yang terpenting, aku tidak merugikan ibu dan siapapun!” tegas Die.
Nyonya Ana sudah bosan mendengar jawaban Die yang selalu sama.

            Ada hal yang sempat terbesit di benak nyonya Ana, yaitu kucing mungil berambut hitam lebat dengan mata bulat tajam keabu-abuan. Kucing yang ditemukannya di depan rumahnya 1 bulan yang lalu. Nyonya Ana sempat tidak peduli dengan kucing itu, meskipun kucing itu meraung-raung, berharap akan diterima. Namun nyonya Ana bukan penyuka kucing. Anehnya, Die yang juga tidak menyukai kucing entah mengapa tiba-tiba ingin merawat kucing itu setelah mendengar erangannya yang tiada berhenti sepanjang hari di depan rumahnya. Namun nyonya Ana tidak mudah mengijinkan itu terjadi. Tapi, Die tetap memaksa untuk memelihara kucing tersebut. Nyonya Anapun terheran heran melihat putrinya, sejak itulah dia mulai merasakan keanehan pada putrinya.

            Suatu malam, seperti biasa, Die langsung terlelap tidur, kali ini dia bermimpi bermain air di laut bersama si kucing. Dia benar-benar menghabiskan waktu-waktu dalam mimpinya untuk bermain di laut dan tentunya bersama Deti si kucing.
            “Deti kucing ajaibku, beruntung sekali aku karena kamu selalu menemani hari-hariku! Kalu gak ada kamu pasti gak ada mimpi-mimpi yang indah. Aku bangga padamu kucing manisku. Kita bisa bermain bersama, hidup dalam dunia nyata, padahal ini sebuah mimpi, huh.. aku benar-benar tidak mengerti kenapa ini bisa terjadi. Seandainya kamu bisa bicara Deti, aku pasti akan menanyakan semua kebingungan ini! Seandainya juga, ibu bisa ikut bersama kita, ini pasti akan menyenangkan sekali, betul kan Deti? Dan rasa sayangku akan bertambah Deti buat kamu! Semoga ibu bisa menyayangimu Deti! Deti, kapan kamu akan memberikanku semua jawaban itu?

Deti hanya diam membisu, dan sorot matanya menandakan bahwa dia mengerti apa yang diinginkan sahabat karibnya itu.
“Deti.. Kenapa kamu gak bisa buat dirimu berbicara denganku, bukankah kamu sungguh hebat dapat mengatur mimpi-mimpiku? Aku sangat ingin kita bisa berbincang-bincang bersama setiap hari..
Tiba-tiba Die ingin memeluk kucing kesayangannya itu, namun belum sempat tangan Die menyentuh rimbunnya rambut Deti, secepat kilat Deti menghilang entah kemana. Die berada seorang diri di laut yang sepi bersamaan dengan terbenamnya matahari.
“Deti… kamu kemana? Kamu di mana Deti?
“Detiii…!!!! Teriak Die sekeras-kerasnya.
Dan beberapa detik kemudian, Die terbangun, dia merasakan badannya tergoncang, ternyata ibu tengah membangunkannya dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Die melihat ibunya sudah berada di depan mukanya, sedang berusaha membuatnya bangun. Dilihatnya tangan sang ibu, tengah menggantung Deti yang hanya  diam terpaku tanpa perlawanan yang berarti, terbungkus kantong plastik bening karena nyonya Ana begitu tidak menyukai Deti dan tidak akan pernah bisa menyentuhnya.
“ Ibu, Deti mau di apakan bu? Tanya Die dengan terengah2. Die mulai kawatir ibu akan membuangnya melihat Deti sudah terbungkus.
“Die, kenapa akhir2 ni Die menjadi anak ibu yang suku tidur, bukannya sebagai siswi, Die harus banyak memanfaatkan waktu kosong untuk kegiatan yang lebih bermanfaat bagi Die! Belajar, atau juga bermain di luar supaya Die gak jenuh bergelut di dalam rumah saja. Dan kenapa kucing ini selalu bersama Die kemanapun Die pergi, ibu guru di sekolah juga sudah 2 kali memanggil ibu nak, karena kamu tidak mau patuh pada ibu! Jangan pernah membawa kucing ini ke sekolah!”
“Baik baik.., Die akan menjelaskan semuanya, tapi apa ibu akan percaya karena ini pasti akan mengejutkan ibu?” harap cemas Die bertanya.
“Kamu cerita nak pada ibu!” dengan sabar ibu siap mendengarkan cerita putrinya  itu.

            Die menceritakan segala peristiwa luar biasa yang ia alami berkat Deti. Ibu tidak bisa berpikir, apa betul itu benar-benar terjadi. Dan Die sedikit demi sedikit meyakinkan ibunya, dan kemudian ibu melepas Deti yang terbungkus plastik, dengan tenang Deti mengikuti perlakuan nyonya Ana, tanpa ada perlawanan yang berarti dari kucing luar biasa itu. Setelah mengetahui semuanya, ibu bertambah penasaran, kenapa kucing yang ia temukan tidak sengaja di depan rumahnya itu, bisa melakukan hal-hal yang jelas mustahil bisa terjadi. Dari mana kucing ini berasal, apakah suatu jelmaan malaikat, banyak pertanyaaan-pertanyaan terngiang-ngiang di benak ibu setelah itu.

 . . . . . . . . . . . . .

“Ibu bisa menerima Deti kan?”
Nyonya Ana tersenyum. Dengan tidak takut ataupun risih, nyonya Ana memegang Deti. Dan akhirnya, Detipun mengajak ibu untuk bergabung dalam dunia mimpi ajaibnya.





27 Oktober 2010
Hari Yang Membakar
                                    
Awan mendung sudah tidak berkawan lagi dengan alam, setelah sepekan lamanya menyelimuti tanah dimana Dewi dan ibunya tinggal. Mataharipun mulai menyapa dengan senyumnya yang tajam, lebar, menebarkan kehangatannya di pagi hari yang cerah dan sejuk , sampai menjelang tengah hari, dia tidak berhenti tersenyum, dengan semangatnya memamerkan teriknya yang begitu menyengat.

“ Huufff…!” gumam Dewi.
Begitu teriknya matahari siang itu, membuat Dewi berlama-lama berendam di dalam air yang sengaja ditampung di bak besar, sehingga bisa dibawa keluar ruangan untuk lebih mendapatkan hempasan angin.

“ Panaaasss..!!! haduh, kebangetan ini hari!” teriak Dewi.
“Aduh.. aduh.. gak tahan aku!” teriak Dewi lagi.
Ibu yang sedang bergelut di dapur hanya bisa bergeleng kepala melihat tingkah putri tunggal yang sangat dimanjakannya itu. Dewi lahir tanpa kasih saying seorang ayah. Ibunya sangat menyayanginya karena disetiap ibu memandang Dewi, disanalah wajah suami tercintanya nampak. Dewi sangat mirip dengan ayahnya. Matanya yang agak sayu, hidungnya yang mancung, rambutnya yang hitam lurus, kulitnya yang putih mulus, benar-benar membuat sang ibu merasa selalu dekat dengan almarhum ayah.

“Anakku sayang, jangan berendam lama-lama ya sayang, nanti kamu masuk angin nak!” nasehat ibu dengan penuh kelembutan.
“Ibu ini gak ngertiin aku ya, ini hari panas banget, aku da gak tahan bu, coba rumah kita ada ACnya, sewaktu-waktu kalau sudah kayak gini kan enak, tinggal hidupin sama matiin aj.. kipas anginnya gak mempan itu!! Napa gak hujan aja ya tiap hari!! Gak kira panas dah!!” cetus Dewi.
“Dewi jangan bicara seperti itu, hujan terus menerus juga gak baik kan nak. Lok sawah kita gagal panen gimana? Terus kalau sungai di belakang rumah kita banjir gimana nak?” nasehat ibu sambil mengelus-elus dada.
“Huuhhh, . Ibu gak sayang ma Dewi!! Pokoknya ini hari paling menyebalkan, aku jenuh banget, ibu buatin aku es donk.!” dengan entengnya Dewi menyuruh ibunya.
Ibu hanya  tersenyum kecut dan segera beranjak ke dapur.






6 September 2010



Jalan Hati

Aku bertarung
Dengan kesabaran menanti keajaiban
Dengan tetesan air mata
Tiada keheningan
Suara-suara selalu memberitahuku
Tenang!
Jangan menangis!
Walau ku tersudut
Aku ikuti
Aku tunggu

Dan akhirnya,
Cahaya-Nya tampak
Meresap ke setiap pori tubuhku
Dekat, dalam hati
Menyejukkan
Meluruskanku


By: Eldian Agustina


 
27 September 2010

 Kado Penantian


Ihzan terpaku, kaku. Ia tak tahu apa yang harus diperbuat. Tubuhnya lemas, lunglai, gemetar, peluh meluncur di dahinya. Sesekali matanya menatap tak berdaya pada layar kaca. Headline news: “Tsunami Mengguncang Wajah Ibu Pertiwi”.
Disadarinya bukan kali pertama musibah datang silih berganti, “negeri ini sudah tak aman lagi” batinnya. Musibah terbesar dalam hidupnya siap menerjang. Bergegas Ihzan panik. Handphone. “Ya handphoneku”., lirihnya. Berulangkali jarinya beradu dengan keypad HP. Tak ada jawaban diseberang. Ihzan resah, gundah mencekam lara.
Wajah Ihzan pucat pasi, tertunduk lesu. “ Kado ulang tahun  terburuk” umpatnya. Segera meluncur bola-bola kristal dimatanya, meluncur deras tanpa hambat. Teringat kembali senyum orang-orang yang dikasihinya saat Ia bersama keluarga kecilnya setiap tahun merayakan hari ulangtahunnya. Wajah Ibu yang berperawakan setengah tua, namun tampak lebih muda dari usianya kini, selalu dinamis dengan gaya sederhananya.
Teringat kembali wajah adiknya Septi, senyum manisnya mampu buyarkan gunung es batu sikap acuhku. “Septi, adikku sayang”, lirihnya lagi. Tak mampu Ia berkata lebih. Diam. Tak ada kado senyum manis penuh tawa.
Sejam lamanya Septi, tetap terpaku di pojok ruang tamu, tetap digenggamnya HP yang Ia biarkan menyala. Ditatapnya televisi tanpa kedip. Berharap. Cemas. Tiba-tiba pintu luar berderit. Langkah kaki tergesa datang. “Ihzan………….., kenapa masih disini? Sudah tau belum Aceh Tsunami”ujarnya. Ihzan hanya mampu menatap mata itu penuh sinis. Mata merahnya tak mampu tutupi galau hatinya.
“Plenz, loe gak papa kan? Ehm, maksud gue pa loe dah ngabarain nyokap dan adik loe, Ihzan?” tanyanya. Lagi-lagi Ihzan hanya menatap sinis, tak acuh. Sikapnya yang sedingin es membuat temannya tertunduk lesu. Ia tahu sahabatnya itu tak banyak bicara. Sikap dinginnnya dapat menjawab segala pertanyaan yang diajukannya. Seketika itu juga langsung dipeluklah Ihzan di dekapannya, dekapan sahabat sejati.
Butiran kristal itu kembali mengalir, bahkan jauh lebih deras dari sebelumnya. Rasya hanya mampu menepuk punggung sahabatnya itu, seolah meyakinkan bahwa tak kan terjadi suatu yang buruk dalam hidupnya, diawal usianya yang ke 22.
Lama terpaku dalam tangis. “Sya, loe tau gue gak bisa bayangin kalau harus kehilangan nyokap dan Septi, gue gak setegar gunung es, gue kan mencair tanpa senyum Septi” ucapnya sambil sengungukan. Diketatkan lagi pelukan Rasya yang sempat renggang, kehangatan untuk sahabatnya. “Gue tau plenz, mereka adalah nafas hidupmu. Gue gak bisa bayangin itu terjadi padamu. Gue harap pasti semuanya baik-baik saja.” Jawab Rasya. Ihzan tersenyum kecut.
Telepon kontrakan berdering. Rasya bergegas menghampiri meja telepon. Lima menit kemudian dia datang dengan mata lebih lembab. “Ihzan, pamanmu telepon”. Bergegas Ihzan beranjak menuju telepon tergeletak. Diangkat ganggang telepon. Gemetar tangan. Isak tangis di ujung suara telepon.
“Ihzan, apa kamu sudah tau berita di Aceh? Baiknya kau lekas pulang, Paman masih ada urusan penting jadi saat ini paman belum bisa terbang ke sana” ujarnya. Ihzan hanya diam membisu tanpa jawaban pasti. “ya udah, paman kirimkan uang ke rekeningmu, cepatlah kau terbang ke Aceh, kabar baik darimu ku tunggu” ujarnya lagi. Ihzan hanya menjawab “okey lah. Semoga semuanya baik-baik saja”.
Ihzan meminta Rasya untuk menemaninya terbang ke Aceh, Ia takut menerima kenyataan terburuk dalam hidupnya. Disadarinya selama tiga-empat hari tak mungkin Ia bisa langsung terbang ke Aceh, pastilah infra dan supratruktur di propinsi itu lumpuh total. Bandara ditutup, itu yang Ia ketahui dari televisi. Selama menunggu hari keberangkatannya, Ihzan tak mampu beraktifitas sebagaimana mestinya. Pekerjaannya Ia abaikan dan dibiarkan tergeletak sana-sini di kamarnya. Makanpun serasa tersendat di ujung kerongkongan. Mata pucatnya, bergaris hitam, menyiratkan berhari-hari Ia tak bisa pejamkan mata.
Tayangan berita mengenai bencana Tsunami yang melanda kampung halamannya membuat Ihzan semakin rapuh. Wajah coolnya seperti tak terurus lagi. Tak teringat lagi bahwa Ia selalu menjadi uberan gadis-gadis cantik di kantornya.
Damar histeris melihat tayangan betapa kejamnya Tsunami menyapu sebagian wajah Ibu pertiwi, menghapus semua kenangan indah yang Ia tanam di setiap jalan kenangan bersama Ibu dan Septi, adik tercintanya. Ia juga melihat jalan-jalan yang biasa Ia lalui bersama teman-teman dan keluarganya menjadi jalan tumpukan barang-barang yang sudah tak berwujud lagi. Ngeri.
Hari ketiga, Ihzan tetap saja terpaku menatap televisi tanpa henti. “seribu nyawa telah hilang,  tak berbekas” lirihnya. Terbayang dibenaknya bila dua diantara seribu nyawa hilang itu adalah Ibu dan adiknya, Septi. Kembali Ia tertunduk lesu.
Segala upaya Ia kerahkan, berusaha mencari informasi dari Koran, telepon sana-sini pada teman dan kerabat yang bisa dihubungi, televisi, radio, bahkan media  internetpun menjadi sasarannya. Nihil. Tak ada kabar mengenai kedua orang terkasihnya.
Hari kelima setelah terjadinya Tsunami, Ihzan dan Rasya bergegas meninggalkan kontrakan sederhana mereka menuju bandara Juanda Surabaya. Ditinggalkannya kota yang telah memberikan nafkah hidup bagi Ihzan juga untuk keluarga kecilnya semenjak Ia ditinggal pergi oleh Ayahnya. Pergi untuk wanita lain. Sejak saat itu Ihzan benci pada sosok laki-laki yang selama 18 tahun Ia panggil sebagai “Ayah’.
Rasya membantu Ihzan mengangkat koper-koper miliknya. Tidak butuh waktu lama. Pesawat merpati airlines yang akan membawanya terbang menuju bandara Blangbintang di Banda Aceh telah berangkat. Terlihat jelas dipelupuk matanya, indahnya kota Surabaya dilihat dari ketinggian beribu kaki jaraknya. Ihzan tak sanggup membayangkan apa yang akan Ia lihat setibanya Ia di kampung halamannya.
“Bro, mendingan loe tidur aja dulu, perjalanan kan masih ada waktu beberapa jam lagi. Tenangkan diri dan pikiranmu. Kita berdoa aja semoga Tuhan berikan kemudahan buat kita bertemu dengan keluarga loe. Harapan itu pasti ada, meski setetes air di gurun Sahara” dakwahnya. Entah mengapa setiap ucapan Rasya selalu mengena dihatinya, Ia paling tau tentang perasaannya saat ini.
Ihzan mencoba memejamkan mata berulang-ulang kali namun tak berhasil. Hingga dititik jenuh Ia memandang sekitar hanya gumpalan awan yang beriring mengiringi kepergiannnya. Awan itu tak lagi mendung. “Sya, mungkin benar katamu, harapan itu mungkin ada walau hanya setetes air di gurun Sahara” lirihnya dalam hati. Akhirnya mata pilu dan lembab itu tertutup rapat untuk sekian waktu lamanya, sampai pesawat yang membawanya mendarat di bandara Blangbintang.






18 Oktober 2010


Pisang Agung khas Lumajang

            Lumajang, terkenal dengan pisang Agungnya yang khas, besar, panjang dan tentunya nikmat. Wilayah pegunungan Semeru tersebut merupakan tempat yang strategis sebagai ladang perkebunan pisang. Tanah yang subur di lereng gunung Semeru ini sangat cocok ditanami berbagai macam tanaman daerah dingin contohnya pisang, kopi, teh, buah naga, alpukat, durian, dll. Dan tentunya sangat menguntungkan daerah ini untuk kawasan berkebun, bercocok tanam, industri pangan, dan produksi bahan makanan. Lapangan pekerjaan tentunya juga berkembang luas karena banyak lahan yang bisa diolah dan diambil kekayaan manfaatnya. Masyarakat yang rajin serta memiliki semangat kerja yang tinggi sangatlah cocok hidup di wilayah ini, tentunya menjadi peluang bisnis yang bagus untuk kedepannya.
            Pisang Agung dapat diolah menjadi kripik, sale (pisang yang dijemur dan digoreng), pudding, kue basah, bahan campuran es, jus buah, dan lain sebagainya. Produksi kripik pisang Lumajang sudah sangat terkenal di berbagai daerah sejak lama. Itulah salah satu usaha unggulan masyarakat kabupaten Lumajang yang turun temurun dan tetap sukses sampai sekarang. Harganyapun terjangkau dan disesuaikan dengan jenis serta hasil produksi masing-masing pengusaha kripik pisang Agung khas Lumajang.  Jangan kuatir untuk mencicipi jajanan khas kota pisang ini.





18 Oktober 2010


Pisang Agung khas Lumajang

Lumajang, terkenal dengan pisang Agungnya yang khas, besar, panjang dan tentunya nikmat. Wilayah pegunungan Semeru tersebut merupakan tempat yang strategis sebagai ladang perkebunan pisang. Tanah yang subur di lereng gunung Semeru ini sangat cocok ditanami berbagai macam tanaman daerah dingin contohnya pisang, kopi, teh, buah naga, alpukat, durian, dll. Dan tentunya sangat menguntungkan daerah ini untuk kawasan berkebun, bercocok tanam, industri pangan, dan produksi bahan makanan. Lapangan pekerjaan tentunya juga berkembang luas karena banyak lahan yang bisa diolah dan diambil kekayaan manfaatnya. Masyarakat yang rajin serta memiliki semangat kerja yang tinggi sangatlah cocok hidup di wilayah ini, tentunya menjadi peluang bisnis yang bagus untuk kedepannya.
Pisang Agung dapat diolah menjadi kripik, sale (pisang yang dijemur dan digoreng), pudding, kue basah, bahan campuran es, jus buah, dan lain sebagainya. Produksi kripik pisang Lumajang sudah sangat terkenal di berbagai daerah sejak lama. Itulah salah satu usaha unggulan masyarakat kabupaten Lumajang yang turun temurun dan tetap sukses sampai sekarang. Harganyapun terjangkau dan disesuaikan dengan jenis serta hasil produksi masing-masing pengusaha kripik pisang Agung khas Lumajang. Jangan kuatir untuk mencicipi jajanan khas kota pisang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar