Jiwa Baru
Aku seperti berdiri di atas lapisan es yang tipis
Sendiri
Kesepian
Rapuh
Terkhianati
Terbunuh jiwaku oleh jiwa hina itu
Jiwa hina yang berlagak suci
Mengatas namakan cinta untuk mencari mangsa
Aku tidak akan pernah percaya dengan jiwa sok suci lainnya
Kemudian jiwa baru dating dengan kejujuran
Tingkahmu
Kesederhanaanmu
Keagungan jiwamu
Jiwa ini temaniku disaat saat sulit
Sulit mempercayai seseorang
Sulit mempercayai teman
Sulit membuka hatiku
Sulit menerimamu sebagai kekasih hati
Jiwa ini yakinkanku untuk sekedar berteman
Jiwa ini tawarkan bukti teman sejati
Bukan hanya omong kosong tentang jiwa sok suci
Pelan dan pasti
Jiwa ini membuka hatiku tentang dirinya
Tentang cinta yang bersemayam dihatinya
Teman tak cukup expresikan itu smua
Kekasih hati yang bisa
Dan berhasil artikan cinta
Berhasil yakinkan jadi kekasih hati
La Bridge
Saya adalah seorang karyawati di salah satu bank asing terkenal di Kota Jakarta. Selepas kuliah saya langsung bekerja di bank ini. Kehidupan saya sangat tercukupi sebagai seorang single dengan gaji di atas rata-rata wanita seumur saya. Saya lumayan dikagumi di tempat kerja saya, selain karena paras saya yang kata orang hitam manis juga karena kinerja saya di kantor sangat mengagumkan. Semua tugas yang dilimpahkan kepadaku dapat kuselesaikan tepat waktu dan berhasil dengan baik. Saya biasa dipanggil Reni.
Hari ini adalah hari Jumat, seperti akhir pekan sebelum-sebelumnya pekerjaan di meja kerjaku di kantor menunggu untuk diselesaikan. Saya yang sedang sibuk mengecek ulang beberapa lembar surat perjanjian untuk di tanda tangani terkaget dengan suara lengkingan Doni yang memecah keheningan ruanganku.
“Hai Ren..Nanti malem dinner di La Bridge yuk?” cerocos Doni tanpa permisi.
“La Bidge? Oke banget lah..tunggu gw setengah jam lagi di lobby yah..”
Senyum Doni merekah mendengar persetujuanku untuk ikut bersamanya makan malam di La Bridge. Setengah jam berlalu dan aku sudah merampungkan semua pekerjaanku minggu ini. Aku yang telah terbayang suasana di La Bridge langsung melangkahkan kakiku cepat menuju lift ke lantai Ground. Aku pun bergegas karena telah terlambat 5 menit dari perjanjian awalku dengan Doni, hal yang sangat aneh adalah saat aku harus mengingkari janjiku dengan datang terlambat.
Doni yang telah bersemangat pun tidak menghiraukan keterlambatanku, lagipula Doni adalah orang yang tidak terlalu menghiraukan ketepatan waktu. Doni langsung mengajakku menaiki mobil hitam kesayangannya yang dibelinya setahun lalu dengan gajinya sendiri selama bekerja di perbankan ini. Sedangkan mobilku? Ya, mobilku dibawa pulang ke rumah dengan supir pribadiku yang selalu setia mengantarku.
Kami menyusuri jalan ibu kota dengan sabar, Jumat adalah waktu termacet selama seminggu. Sebagian orang ingin lekas sampai di rumah untuk bercengkrama dengan keluarga, dan untuk sebagian orang Jumat adalah waktunya untuk menghabiskan waktu bersama teman. Tapi aku tidak termasuk ke dalam kedua golongan tersebut, aku lebih suka bercinta dengan pekerjaanku di kantor. Aku serasa enggan menghabiskan semenit waktuku untuk sekedar dugem atau apalah. Jalan-jalan protokol yang padat telah kami lewati dengan cerita ngalor-ngidul tentang aku, Doni, dan kantor. Akhirnya mobil hitam ini memasuki pelan pelataran parkir Restoran La Bridge.
La bridge adalah restoran seafood di kawasan Ancol yang memiliki konsep restoran yang hebat. Lidah pengunjung seperti kami tidak hanya di manjakan dengan rasa seafood sekelas dunia tetapi juga pemandangan indah yang memanjakan mata. Aku dan Doni selalu memilih waktu sunset untuk datang ketempat ini karena menurut kami waktu ini lah waktu terbaik untuk mengunjungi La Bridge. Semilir angin senja yang menyapa lembut kulitku, sinar matahari sore yang siap membakar fikiran penatku, juga desiran ombak yang mulai pasang memeluk manja telingaku lah yang membuatku ketangihan untuk terus datang ke Restoran ini terutama pada saat akhir minggu seperti saat ini. Walaupun tak semua akhir minggu kuhabiskan seperti hari ini.
Kami dengan santai menikmati lukisan tuhan sore ini, menyusuri dermaga menuju restoran yang berada di tengah laut ancol. Satu hal yang mengusik fikiranku adalah, “laki laki mana lagi yang akan Doni bawa untuk dipertemukan kepadaku?” Bukannya aku bosan dengan sikap Doni, malahan aku sangat berterima kasih kepadanya karena dia tidak pernah merasa lelah untuk mempertemukanku dengan teman laki-lakinya. Yang membuat aku sangat penasaran adalah senyumnya saat meninggalkan ruang kerjaku yang meninggalkan sejuta arti untukku. Persahabatan kami dimulai awal SMA, Doni yang seorang Don Juan dan aku seorang murid teladan tidak pernah membuat kami bersaing atau apapun itu. Kami selalu menghormati kepentingan masing-masing, itulah yang dapat menyatukan kami berdua sebagai seorang sahabat dan sangat dekat hingga sekarang. Untuk masalah jodoh pun kami sangat dekat, aku dan doni selalu bersama dari SMA, kampus, hingga tempat berkerja kami sehingga lingkungan pertemanan kami tidak jauh berbeda. Doni selalu sabar mencarikanku teman hidup, bahkan lebih sabar dari aku sendiri yang lebih memilih untuk membagi cintaku kepada pekerjaanku sekarang ini. Akhir-akhir ini Doni sedang giat mencarikanku jodoh karena sebentar lagi Doni akan menikah dengan pilihan hatinya dan akan segera dipromosikan sebagai Kepala Cabang di Aceh. Doni tidak tega meninggalkanku sendiri tanpa pendamping, maka dia memilih untuk segera mencarikanku pria yang cocok dengan hatiku.
“Ran, gw bawa satu orang lagi nih..tapi ini yang terakhir! Gw yakin yang ini pasti cocok sama lo.” Dengan sorot mata yakin sambil terus berjalan menyusuri dermaga.
“Yakin banget?? Semoga yah..” tatapanku lurus kedepan tanpa ekspresi apapun.
Sampai dipintu restoran Doni sigap melangkahkan kakinya ke pojokan restoran yang menyediakan empat tempat duduk karena kami akan kedatangan satu orang baru lagi sore ini. Dari pojokan restoran ini aku dapat dengan jelas melihat matahari yang seolah-olah siap untuk bersembunyi di balik batas laut ancol dan refleksi matahari diatas riak tenang laut ancol sore ini. Tentunya kami tidak lupa tujuan utama kami kesini adalah untuk makan malam bersama, sehingga saat pelayan restoran datang menyapa kami dengan cepat kami membuka lembaran buku menu yang disodorkan. Tetapi kami tidak pernah berpaling dari menu makanan langganan kami disini: kaviar, tuna lada hitam dan lobster bakar.
Setengah jam menunggu makanan kami habiskan untuk berbincang tentang pria yang akan menjadi teman baru di meja kami ini, Doni sedikit menggambarkan tentang pekerjaan pria ini. Dilihat dari cerita Doni aku mulai tertarik untuk menunggu siapa pria yang akan datang ini. Aku terus bertanya siapakah yang akan datang, seperti apa pria ini, bagaimana kalau ternyata dia tidak cocok padaku. Tanpa disadari aku mulai penasaran terhadap pria ini, aku sangat tertarik dengan personality pria ini dari apa yang diceritakan Doni. Dari pekerjaan yang dia tekuni sebagai manager perusahaan asing, dia akan dituntut untuk bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaannya dan aku mencari sosok itu selama ini. Pria yang bertanggung jawablah yang aku fikir dapat berfikir dewasa dan dapat menjadi sosok yang dapat terus membimbingku.
Makanan pesanan kami pun datang bersamaan dengan suara langkah ringan yang mendekati meja kami. Saat aku memalingkan kepalaku untuk mencari dari mana datangnya suara langkah itu aku terkaget dengan sosok pria yang telah berdiri tepat dibelakangku. Andika, pria yang sempat mengisi hari-hariku semasa SMA lah yang menjadi teman baru di meja kami sore itu. Pria yang dikatakan Doni sangat cocok denganku dan akan menjadi pria terakhir yang dikenalkannya padaku.
“Hai Ran, apa kabar? Lama gak ketemu.” Dengan senyumnya yang jujur hingga saat ini tak pernah bisa kulupa.
“Baik..ayo duduk” wajah merah padamku tak pernah dapat kusembunyikan saat aku benar-benar malu seperti sekarang ini.
Dengan mantap Doni menjabat tangan Dika. Dika adalah nama kecil yang aku berikan saat kami berpacaran dulu. Dika tanpa sungkan langsung memesan makanan setelah selesai berbasa-basi dengan kami. Dika tidak pernah berubah, makanan kesukaannya lah yang ia pesan yaitu hiu bakar. Hatiku bagai berhenti berdetak, paru-paruku seakan penuh dengan air yang membuat aku sulit untuk bernafas, lidahku pun kelu dan sulit untuk mengucapkan kata-kata walau hanya sedikit. Hanya kata-kata bodoh yang dapat aku keluarkan, aku sulit merangkai kata dengan baik untuk disesuaikan dengan tingkat intelegensiku.
Dua jam sudah terlewati, obrolan ringan seputar masa lalu yang menyatukan pembicaraan kami, kami berbicara ya tentang kami. Bukan melulu bercerita tentang masa laluku dengan Dika. Aku dan Dika sadar betul bahwa kami disini tidak hanya berdua, ada Doni yang masih menemani kami dan dia lah yang berperan besar mempertemukan kami pada malam hari yang sejuk ini. Dika yang sedari tadi telah menyelesaikan makanan kesukaannya akhirnya pamit pulang pada kami dan mengajakku untuk pulang bersamanya. Sepertu dulu Dika akan mengantarkanku hingga ujung gerbang rumahku dan memberikan salam selamat malam ketika akan melangkah meninggalkanku yang berangsur masuk rumah. Doni pun tak segan melepaskanku untuk di antarkan Dika pulang ke rumah, karena Doni tahu betul siapa Dika itu.
Aku dan Dika berpisah di pelataran parkir, mobil Doni dan Dika ternyata diparkir di tempat yang berjauhan. Aku yang sebenarnya masih canggung bertemu Dika lagi-lagi tidak bisa mengeluarkan kata-kata, aku hanya bisa mendengar suara debur ombak dan tidak bisa mendengar apa yang otakku akan ucapkan untuk memecah kesunyian antara aku dan Dika. Aku seperti gadis bisu dan aku merasa bodoh saat ini, hal seperti ini lah yang membuatku selalu gagal dengan pria-pria sebelumnya. Mereka lebih memilih mendengar suaraku terlebih dahulu untuk mencairkan suasana daripada harus berbicara denganku terlebih dahulu. Berbeda dengan Dika, ya mungkin karena dia telah lebih lama mengenalku dan mempunyai kesempatan untuk mengenali bagaimana diriku sebenarnya. Lagi, lagi, dan lagi tanpa aku sadari aku selalu membandingkan Dika dengan pria-pria sebelumnya. Aku menjadikan Dika sebagai tolak ukurku terhadap setiap pria yang sebelumnya aku temui. Pilihan Doni sangat tepat mempertemukanku kembali dengan Dika, tetapi kalau aku boleh mengingat satu alasanku memutuskan hubungan kami dari seribu kebaikan Dika padaku dan keluargaku, sangat sedih ketika Dika melakukan hal yang menyakiti hatiku. Tetapi aku bukan orang yang pendendam, aku dapat dengan tulus memaafkan Dika. Saat fikiranku sedang melayang tinggi tentang aku dan dia, meninggalkan ragaku yang sedang berjalan disamping seorang pria nyaris sempurna seperti ini. Dika dengan suara merdunya menyapa aku yang sedang terdiam.
“Jangan ngelamun!”
Aku hanya bisa memberikan senyumanku padanya, karena sebenarnya aku memang sedang melamun. Melayang jauh meninggalkan bilik-bilik di tubuhku kosong sejenak tak berpenghuni. Aku dan Dika sampai di mobilnya, dari mobil merah mulus yang dibawanya sore ini menggambarkan Dika telah menjadi seseorang yang sukses di karirnya. Mobil merah yang akan menghabiskan uang ratusan juta bagi pemiliknya. Aku menaiki dengan pasti mobil ini, mobil yang aku yakini sebagai kepunyaan pria yang tepat berada di depanku membukakan pintu penumpang untuk wanita berbaju merah ini. Kami berdua meninggalkan parking area dengan santai, menyusuri jalanan ibu kota yang semakin malam semakin padat. Kali ini jiwaku tak lagi meninggalkan ruang kosong itu, aku dengan jelas dapat mendengar suara di otakku sehingga dapat menghasilkan rangkaian kata untuk diucapkan. Kami terus berbicara tanpa henti dengan diselingi tawa kecil saat harus mengingat kembali kebodohan khas anak SMA.
Sampailah kami di depan pintu pagar rumahku, rumah sederhana di daerah pinggiran Jakarta. Pamulang, daerah yang sangat terkenal karena beberapa bulan lalu tertangkap seorang teroris yang sangat dicari oleh polisi dan nama Pamulang menjadi sangat terkenal karena disiarkan disemua stasiun TV swasta nasional. Aku yang sedang bersiap untuk turun meninggalkan mobil itu
“Ran, boleh minta nomer HP lo? Biar lebih enak hubungin lo” Tanya Dika pelan padaku
“boleh, 08980434333”
“Ok. Selamat malam Rani..”
Dengan senyuman manisku, aku turun meninggalkan Dika yang aku yakin sedang menatap punggungku yang mulai menjauh. Benar saja, saat kuputar badanku kearah Dika, ia sedang tersenyum penuh arti padaku. Dika memang tidak pernah berubah, begitulah kebisaanya saat mengantarku. Aku selalu mengingatnya karena saat awal bertemu, sedang berpacaran dan hingga sekarang selah sekian lama tak berjumpa ia selalu mengucapkan selamat malam dan menungguku masuk pintu gerbang rumahku dengan senyuman.
Setelah malam pertemuan yang dirancang khusus oleh Doni, kami semakin dekat. Pertemuan-pertemuan selanjutnya selalu saat akhir pekan, kami sama-sama sibuk dengan pekerjaan di kantor. Kami terus berhubungan tanpa melalaikan tugas yang di percayakan kepada kami. Pertemuan itu diisi dengan saling berbagi pada apa saja yang kami temui selama seminggu, walaupun kami memiliki waktu bertemu yang sedikit tetapi kami dapat memanfaatkan waktu tersebut sebaik mungkin, untuk mengenal kembalik perubahan yang terjadi saat kami tak bertemu. Sekian lama kami berbagi akhirnya pda satu hari pun Dika melamarku untuk menjadi cinta sejatinya dan bersedia mengabdikan hidupku padanya serta menjadikannya sebagai imam bagiku.
Hatiku berkecamuk, aku tak tau harus berkata apa. Ada dua sisi yang terbangun tiba-tiba saja di dalam diriku yang membuatku menjadi ragu terhadapnya. Satu sisi aku memang menunggu pria yang seperti Dika, yang selalu aku bandingkan dengan pria lainnya. Tetapi disisi lain aku mengingat masa laluku dengan dia. Dia mempunyai pacar lagi saat masih bersamaku dulu, aku memang menyadari bahwa aku bukan perempuan yang dicarinya selama ini, kami sebelumnya hanya berteman. Tak ada maksudku untuk menjalin kasih dengannya waktu itu, tapi benar kata pepatah orang jawa “witing tresno jalaran soko kulino” Cinta datang karena terbiasa. Kami bertemu di lapangan basket setiap hari, kami mempunyai hobi yang sama. Itulah yang menyatukan kami.berbeda dengan yang aku lakukan dengan Doni. Aku memang berniat untuk sekedar menjadi teman, karena Doni adalah teman yang sangat baik. Jadi walaupun aku sering menghabiskan waktu bersama dengan Doni hingga saat ini, perasaan kami tidak pernah berubah.
Aku tidak bisa memberi jawaban langsung, aku butuh waktu berfikir dan menimbang semuanya. Menikah bukan sesuatu yang mudah, aku harus rela mengurangi jam kerjaku demi suamiku kelak. Aku tidak bisa bekerja dengan maksimal seperti biasanya, fikiranku terpecah. Aku hanya berdiam diri di rumah, agar keputusanku tidak dipengaruhi oleh siapapun karena yang akan menjalani hidupku dengan suamiku adalah aku sendiri tanpa campur tangan orag lain.
Setelah lama berfikir, akhirnya aku memutuskan menyetujui pinangan Dika, akhirnya aku menemukan pasangan hidup yang selama ini ku cari. Aku menemukan pasangan yang sesuai denganku, aku telah bersedia mengabdikan hidupku seutuhnya untuk Dika. Orang tua dan Doni sangat senang saat mendengar kabar gembira yang langsung aku sampaikan pada mereka setelah aku menerima lamaran Dika. Tetapi disisi lain aku harus rela melepaskan Doni yang masa promosinya dipercepat sebulan dari tanggal yang telah ditemukan.
Enam bulan kemudian*
Acara pernikahanku dilaksanakan besar-besaran. Aku hanya bisa menitikkan air mata saat Dika mengucapkan akad nikah. Aku tak bisa berucap apapun, hanya bahagia yang ada dalam perasaanku. Ayah pun menitikkan air matanya saat menjadi wali nikahku, aku tau perasaan ayah yang akan melepas putri satu-satunya kepada laki-laki lain. Berat rasanya saat aku harus meninggalkan rumah yang telah menjadi saksi bagaimana ayah dan ibu mendidikku hingga saat ini. Doni yang menjadi mak comblang kami juga datang bersama istri barunya. Doni memang sahabat yang baik, ia mengambil cuti di kantor selama seminggu untuk membantu proses pernikahanku. Dia dengan senang hati membantuku untuk mengatur segalanya. Tamu undangan yang datangpun sangat ramai, teman SMA yang terperangah bahwa benar akhirnya aku bersama Dika, kolega yang juga kagum bahwa kami adalah pasangan yang sukses, juga keluarga yang telah mempersiapkan pernikahanku jauh-jauh hari. Aku bak ratu sehari yang hanya tinggal duduk di singgasanaku dan menyalami semua tamu yang datang.
Setelah pernikahan kami, aku dan Dika mengambil cuti kerja selama seminggu untuk menghabiskan waktu bersama di Hawaii, tempat pujaan kami berdua. Aku dan Dika sangat ingin kesana sejak SMA dan baru terwujud sekarang setelah tuhan menyatukan kami berdua di dalam satu ikatan pasti yang tidak akan terlepas. Kami hidup layaknya pasangan di dunia, kami mempunyai dunia baru yang akan kami ciptakan sendiri. Aku yang tetap menjadi seorang wanita karir yang tentunya mengurangi kesibukanku di kantor untuk mengurus pujaan hati di rumah. Kehidupan kami akhirnya terlengkapi setelah dikaruniai dua orang angels di rumah. Kesibukanku bertambah tetapi sangat benyenangkan. Aku tidak pernah menyangka bahwa menjadi seorang istri sekaligus ibu bukan beban berarti untukku.
Mendiskripsikan Seseorang
Doni adalah sahabat Rani mulai SMA dulu, mereka sangat cocok karena memiliki sifat humor yang sama. Semasa SMA Doni menjadi incaran wanita-wanita cantik dan popular di sekolah, karena walaupun tampang Doni yang pas-pasan tetapi sifat yang ramah dan lucu yang dapat menarik hati wanita seantero sekolah. Sebagai seorang sahabat, Doni pun selalu member nasihat kepada Rani mulai masalah pelajaran karena Doni anak yang pintar hingga masalah percintaan. Doni selalu memberi trik menggaet lawan jenis dan mendengarkan semua keluh kesah Rani. Karena kepintarannya selepas kuliah Doni di terima di salah satu bank swasta terkenal, pekerjaannya saat ini sangat cocok dengan kesehariannya yang selalu tampil rapih dan bersih. Kulit putih Doni pun tak pernah terbakar sengatan sinar matahari seperti semasa kuliah dulu.
Pestisida Penolongku
Cuaca siang hari ini amat panas. Matahari bersinar dengan ganasnya tanpa memberi ampun pada setiap pejalan kaki di Desa Sukajadi. Aku yang seorang petani tembakau amat kegirangan dengan cuaca panas seperti ini, disaat semua orang berharap untuk turun hujan sedikit saja aku malah berdoa untuk terus panas hingga akhir masa panenku. Cuaca inilah yang menjadi penolongku setiap tahunnya untuk mengisi pundi-pundi uangku yang telah kosong. Aku telah pergi ke lahanku pagi-pagi sekali, dengan membawa bekal seadanya aku melangkahkan kakiku menuju sepeda motor tua yang setia menemaniku selama 10 tahun belakangan.
Sepeda motor ini tak pernah mengeluh padaku, dia hanya diam saat harus menjadi saksi bisu kejayaanku sebagai petani tembakau dan saat keterpurukanku pada musim panen terakhirku. Lahan tembakauku gagal panen saat tiba-tiba hujan deras tanpa ampun mengguyur desaku, semua pohon di lahanku busuk terkena banjir. Aku tidak pernah membayangkan akan mengalami kerugian seperti itu, dua mobil mewah harus kulepas untuk menafkahi keluargaku hingga musim tanam ini.
Untuk musim tanam kali ini, aku merelakan villaku di daerah Cipanas menjadi milik orang lain. Musim tembakau kemarin adalah saatku diuji selama delapan tahun menjadi petani tembakau. Karena kerugianku, aku hanya sanggup membayar lima belas pekerja untuk membantuku merawat lahanku sendiri, aku pun harus ikut turun tangan merawat pohon-pohon tembakauku. Aku yang tidak pernah terlatih secara langsung untuk merawat sendiri akhirnya menyadari bahwa merawat pohon tembakau bukan perkara mudah. Aku harus rela setiap pagi mengecek tiap lembar daun tembakau agar tidak ada yang rusak di makan ulat. Aku jadi sangat menikmati merawat tembakau kesayanganku ini, saat tengah asik mengecek satu pe satu daun tembakau beserta lima belas orang lainnya.
“paaak..paak.. disana ada daun tembakau yang dimakan ulat” pria bebaju putih itu berlari mendekatiku dengan muka yang merah padam.
Aku tak bisa berkata apapun, aku berlari dan berlari kearah yang ditunjuk oleh pria itu. Aku yang belum memakan bekal makan siangku dapat berlari sangat kencang, hanya terfikir semoga ini bukan awal dari keterpurukan keduaku kembali. Daun tembakau yang sudah tergigit ulat akan menurunkan harga pasaran karena itu berarti kualitasnya sudah menurun. Harga jualnya merosot hingga 50%. Aku tak mau membayangkan kerugian keduaku. Aku berlari tertuju pada satu pohon yang memang benar satu helai daunnya bolong tergigit ulat.
Aku bingung, apa yang aku harus lakukan. Membeli pestisida untuk satu hektar lahan tembakau membutuhkan uang yang sangat banyak. Aku sudah tidak punya harta yang akan aku jual sebagai modal membeli pestisida. Ya aku harus pulang! Itu yang aku fikirkan. Aku dengan langkah berat menaiki sepeda motor tuaku. Aku mengendarainya dengan sangat pelan, hingga aku seolah-olah dapat melihat pohon-pohon besar pinggiran jalan raya ikut bersedih dengan penderitaanku ini. Fikiranku jauh pergi, apa yang harus aku lakukan. Saat hampir tiba di rumah, aku menoleh sekilas pada motor tuaku. Terfikir untuk menjadikannya modal membeli pestisida, pasti cukup! Hatiku galau karena tinggal ini kendaraan yang aku punya. Bagaimana anak istriku dirumah saat tau aku pulang tanpa sepeda motor ini. Tapi sudahlah. Ini memang jalannya, aku tidak akan gagal lagi. Hanya motor ini yang bisa menolongku. Dengan cepat aku putar arah ke pasar penjualan barang bekas, tak kuhiraukan angin kering menerpa badanku.
Dengan hasil menjual motor tuaku, aku membeli lima ratus liter pestisida cair. Aku kembali ke lahanku berjalan kaki, motor yang menemaniku telah aku relakan. Aku harus berhasil musim tanam ini karena sudah banyak yang aku keluarkan sebagai biaya perawatan dan pembelian bibit. Panasnya sinar matahari yang menerpa kulitku tak kuhiraukan, aku terus berjalan ke lahanku sambil terus memotivasi diriku sendiri.
Aku sampai di lahan bersamaan dengan mobil pengangkut pestisida. Aku ikut membantu menurunkan galon-galon berisi juru penyelamatku. Dengan penuh harap aku campurkan pestisida cair tersebut dengan air dan aku semprotkan sendiri pada tanaman semua pohon tembakauku, tak ada yang terlewat. Setelah kejadian itu aku memastikan bagaimana keadaan pohon-pohonku, aku siang malam memikirkan keadaannya. Benar saja, setelah seminggu aku memantau perkembangannya sangat baik. Aku hanya bisa berharap pada musim tanam ini akan menjadikan sebuah pelajaran berharga bagiku dan terus berdoa agar tembakauku selamat hingga musim panen nanti
Satodenia
Satodenia adalah kerajaan yang berada di atas awan. Kerajaan ini berdiri layaknya kerajaan-kerajaan atas awan lainnya. Sejauh mata memandang awan lah yang menjadi penopang utama kerajaan ini, putih dan bersih. Di kaki gunung terdapat sungai susu yang mengalir tenang ke muara sungai. Di pinggiran sungai hewan-hewan seperti Rusa, Tupai, Kuda bermain dengan bebasnya tanpa terganggu oleh penghuni kerajaan yang sering hilir mudik melewati sungai tersebut. Ibu tupai terlihat sibuk membuat kue di dapur rumahnya. Rumah-rumah di satodenia terbuat dari susunan daun-daun kering, membentuk setiap ruangan dengan apiknya dan melindungi setiap penghuninya dari sengatan matahari dan derasnya hujan. Begitu juga kerajaan Satodenia, terbuat dari tumpukan daun-daun kering yang juga membentuk benteng-benteng pertahanan kerajaan.
Kerajaan satodenia dipimpin oleh seorang raja kancil yang bernama Tom dan istrinya yang bernama Clara. Raja Tom berasal dari keluarga bangsawan Satodenia, ayahnya yang dulu seorang raja mati terbunuh oleh anak pangeran Tapodenia yang sekarang menjadi raja Tapodenia. Dendam keluarga ini lah yang membuat kehidupan di Satodenia tidak setenang sebelum kejadian ini. Raja Tom bersiaga sewaktu ada serangan dari Tapodenia, ini setimpal dengan apa yang raja lakukan pada Tapodenia. Menghancurkan Tapodenia adalah tujuan utama Raja Tom. Tak heran penduduk Satodenia sering terganggu oleh pasukan kerajaan yang hilir mudik melewati sungai.
Di suatu malam yang cukup dingin terdengar suara ketuka pintu kamar raja dengan kencangnya.
“Lapor raja.. kerajaan Tapodenia menyerang kembali” Raja yang kaget langsung mengambil mantel dan bergegas pergi ke ruang singgasana.
Raja memerintahkan menteri pertahanan untuk menyiapkan pasukan untuk melindungi rakyat dan mempertahankan daerah kekuasaan. Raja mengambil tidakan cepat untuk melawan serangan mendadak ini. Semua menteri keluar teratur setelah raja selesai memerintahkan dan membagi tugas masing-masing.
Pertempuran pun di mulai, senjata telah dipersiapkan untuk mempertahankan wilayah kekuasaan. Suara dentuman meriam yang terbuat dari batang pohon jati memekakkan telinga. Seisi kerajaan duduk di bawak akar yang membentuk gua perlindungan. Rakyat Satodenia pun melakukan hal yang sama, melindungi diri sendiri dan keluarga masing-masing.
Menjelang matahari terbit pertempuran pun selesai. Tentara Satodenia berhasil memukul mundur musuh dan melindungi wilayah kekuasaan. Setelah malam yang panjang dan mencekam itu, semua rakyat dan keluarga kerajaan hidup tenang. Kuda, Rusa dan Tupai dapat bermain di tepi sungai susu dengan tenang dan riang gembira. Tidak pernah lagi terlihat ketegangan di wajah rakyat Satodenia.
Biography of Djenar Maesa Ayu
Djenar Maesa Ayu or Nay was born in Jakarta, January 14th 1973. She is the daughter of famous director Syuman Djaya and actrees Tutie Kirana. She was married with Edhi Widjaja and has two daughters named Banyu bening and Btari Maharani but she had divorced already. She is a successful writer and director. She learns writing from Seno Gumira Ajidarma, Budi Darma, and Sutardji Calzoum Bachri. Her first short story anthology “Mereka Bilang, Sama Monyet!” is written in 2001 and published in 2002. This anthology is included as the nominees of the best book in Khatulistiwa Literary Award and has been translated by Michael N. Gracia in English version. Her second book is Jangan Main-main (Dengan Kelaminmu) published in 2004 and got biggest five awards in Khatulistiwa Literary Award 2004. Nay has written a novel “Nayla” published in 2005 and got biggest five awards in Khatulistiwa Literary Award 2005. Her last book is “Cerita Pendek tentang Cerita Pendek” published in 2006 and this is the compilation of twelve short stories. Her works have already published in mass media like Kompas, Republika, The Jakarta Post, Lampung Post, Koran Tempo, Cosmopolitan magazine. Her short story “menyusu ayah” becomes the best short story 2005 of Jurnal Perempuan version. “Waktu Nayla” also becomes the best short story of Kompas and this work is included into anthology of Kompas “Asmoro”. Almost of Nay’s works about something tabooed in our life like sexual crime or feminism.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar