Minggu, 14 November 2010

Karya David Prasetya 080110101004

11 Oktober 2010

Untouchable
Pada malam itu, 12 Oktober 2003 terjadi sebuah tragedi di sebuah bar. Tepatnya tengah malam, seorang pengusaha rokok bernama Reno tiba-tiba terjatuh setelah beberapa menit minum segelas bir. Cairan putih seperti busa-pun keluar dari mulut Reno. Melihat hal itu, secara reflek, Sora, seorang bar tender yang pada saat itu sedang bertugas menghubungi polisi. Ia memberitahukan bahwa ada pembunuhan misterius yang terjadi. Di lain sisi, semua pengunjung bergegas meninggalkan bar, hinga hanya tersisa pegawai dan pemilik bar itu.
Sekitar setengah jam kemudian, beberapa orang bagian forensik dan seorang inspektur polisi datang. Zero, nama inspektur itu. Tanpa basa-basi, Zero memerintahkan anak buahnya untuk menyidik kasus itu. Ia juga mencari informasi apapun tentang hal itu, baik waktu kejadian, proses terjadinya kejadian, serta alibi setiap pegawai dan pemilik bar, tak satupun terlewat.
Setelah selesai menyidik, bagian penyidik tidak menemukan hal mencurigakan dan juga tidak menemukan alasan kematian akibat kekerasan fisik. Oleh karena itu, perlu diadakan otopsi. Dengan alasan tersebut, selain karena sudah larut malam pihak kepolisian mengijinkan mereka semua untuk pulang, tapi dengan konsekuensi mereka harus bersedia dimintai keterangan jika dibutuhkan.
Keesokan harinya, 13 Oktober, hasil otopsi menyimpulkan bahwa kematian Reno akibat racun yang diminum. Mendengar hal itu, Zero menyimpulkan bahwa Sora adalah pelaku pembunuhan tersebut. Dengan segera Zero menghubungi pemilik bar untuk menanyakan keberadaan Sora, yang pada saat itu melayani Reno. Namun beberapa jam kemudian, Zero mendengar kabar bahwa Sora telah ditemukan meninggal 1 minggu lalu sebelum tragedi bar itu terjadi, tepatnya 5 Oktober 2003. Pikiran Zero mulai kacau. ”mana mungkin seseorang yang telah meninggal masih bisa bekerja?!”, Zero menggerutu,” mungkinkah bar tender yang melayani Reno pada saat itu hanya kembarannya?! Ataukah dia adalah seorang pembunuh yang bisa mengubah wajah semaunya sendiri?!”, lanjutnya.




20 September 2010

Semu
Bayangan…
ada namun tak dianggap ada
Bayangan…
gelap, segelap penantianku
Bayangan…
kuharap rasa dalam hatiku tak pernah berubah
seiring dengan berubahnya bayangan oleh waktu.


 
27 September 2010

Kerasnya Minuman Keras tak Sekeras Kerasnya Ibukota
Hari yang cerah, meskipun sang surya belum menampakkan cerianya. Pada saat itu, 9 Agustus 2010, aku sedang berlibur di rumah saudara sekaligus cari pengalaman. Tidak seperti biasanya, aku harus bangun dari tidurku lebih awal. Aku harus membantu tanteku untuk mempersiapkan makanan. Tanteku memiliki usaha kecil-kecilan. Ia membuka salah satu stan di kantin sebuah pabrik. Usaha kecil-kecilan, tapi cukup membuat pusing kepala. Bukan hanya untuk memasak dan persiapan membawa apa saja yang dibutuhkan, melainkan waktu yang seakan mengejar dan memaksa untuk bertindak cepat. Maklum, butuh 1 jam untuk sampai ke kantin tersebut. Belum lagi macet, biasa, Jakarta, langganan macet. Akhirnya segalanya selesai dipersiapkan, kamipun berangkat diiringi hangatnya mentari.
Pukul 08.00, kami masih menunggu di dalam angkot yang masih berjalan di tempat. “sabar ya, tunggu penuh dulu nih angkot”, kata sopir angkot tersebut, sebut saja Toyip (nama samaran). “ah, lama nih bang”, sahutku spontan dengan logat Jakarta. “gw yang rugi neh kalo gak penuh” respon si Toyip yang merasa kesal. Dengan amat terpaksa kamipun menunggu. Suhu panas mulai menusuk kulit, keringatpun mulai mengalir deras dari setiap orang di dalam angkot, membuat pakaian nyaris basah kuyup. Beberapa menit kemudian, Toyip memasukkan perseneleng dan menginjak pedal gas hendak mengantar penumpang ke tempat tujuan. Dengan penampilan khas ala preman,Toyip menyetir. Kacamata hitam, topi hitam dipakai terbalik, serta kumis tebal layaknya pak Raden menambah auranya bahwa dia terlihat benar-benar preman. Bukan hanya penampilan, aksinya juga seperti preman. Jarum spidometer selalu mengarah 60 keatas membuat penumpang(termasuk aku) panik dan ngomel-ngomel. “kalau mau ngebut, di sirkuit aja bang, ikut balapan” salah satu penumpang berkata. Namun tak ada tanggapan dari Toyip yang tetap berkonsentrasi menyetir hingga suatu ketika berhenti sejenak di garis terdepan lampu merah lalu lintas, dan kemudian berkata “gak cepet gak makan”. Kata-kata itu yang selalu menancap di benakku, membuatku lebih menghargai hidup.
Sekian lama di perjalanan, banyak hal-hal yang terjadi, salah satunya adalah ketika angkot sedang menunggu lampu lalu lintas menyala hijau. Ketika itu juga, aku melihat orang tua pengemis yang ditarik paksa oleh satuan polisi PP agar naik ke mobil patroli. Trotoar yang awalnya berwarna merah cerah berubah menjadi merah gelap, gelap seperti perasaan yang tak berasa karena cairan lengket seperti getah yang menetes dari kaki yang terseret itu. Dari kejauhan terdengar teriakan histeris oleh seorang anak kecil “AYAH!”. Ia membuang sesuatu yang ada digenggamannya yang belum tentu dapat ia peroleh dengan mudah kemudian berlari menuju ayahnya. Satu bungkus nasi sisa berceceran tak beraturan, tak layak lagi untuk dimakan. Anak itupun ikut diamankan, tapi ketegang dan kedamaian tersirat di wajah anak itu, tegang karena takut, damai karena dekat dengan ayahnya. Melihat hal itu, aku merasa marah, meskipun sempat terlintas sebuah pertanyaan dalam otakku. “kenapa harus seperti itu? Bukannya tugas polisi adalah melindungi masyarakatnya?!” pikirku. Tapi aku hanya bisa menyaksikan, tak ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk mereka. Kemudian tiba-tiba hanya ada sebuah kata yang muncul dari seseorang di dalam angkot “ kasihan…”. Lalu aku sadar bahwa itu bukan jatahku untuk memikirkannya, mungkin hanya obsesiku saja menjadi seorang polisi baik yang memicu amarahku. Tak lama kemudian lampu lalu lintas menyala hijau.
Satu jam telah berlalu sejak keberangkatan. Aku dan tanteku telah sampai tujuan. Persiapan membuka kantinpun selesai. Sambil menunggu pembeli, kami mengobrol. Banyak pengalaman yang aku dapat walaupun belum lama tinggal di sana. Satu pertanyaan kusajikan pada tanteku “memangnya enak tinggal di Jakarta? Panas, penduduknya juga banyak yang egois”. Lalu tanteku menjawab, ”Inilah Jakarta”.



4 Oktober 2010

Ibuku Pahlawanku
Ibu, sosok yang baik, baik dalam segala hal, seakan Tuhan mengirim malaikat untuk melindungi dan mendampingi. Setiap hal yang baik selalu ia berikan. Ibulah yang terbaik.
Di suatu daerah terpencil, hiduplah seorang ibu yang ditemani oleh seorang anak,Rama, sebutan akrab yang selalu diucapkan oleh ibunya. Rama adalah anak tunggal berusia 15 tahun. Dia adalah anak yang baik. Setiap hari ia selalu meluangkan waktu untuk membantu ibunya. Tapi, hal itu tidak pernah terjadi lagi setelah kepergian ayahnya. Sang ibu merasa khawatir dengan perubahan yang terjadi, sehingga memperlakukan Rama over protektif. Rama merasa terkekang dengan perlakuan ibunya, kemudian ia meninggalkan rumah sambil melontarkan kata-kata dengan nada tinggi kepada ibunya.
Rama yang merasa sebal keluar rumah hendak menenangkan amarahnya, hingga pada suatu saat ia menemukan tempat yang cocok. Ia duduk termenung di pinggir danau di dekat rumahnya, danau yang tenang berhiaskan ratusan pinus di sekelilingnya. Air danau itupun memantulkan cahaya kuning keemasan dari matahari meskipun warna air danau itu tak sebening embun. Ia terus termenung sambil memikirkan apa yang telah ia perbuat. Ia merasa bersalah karena telah membentak ibunya. Akhirnya, Rama berniat untuk kembali pulang untuk meminta maaf.
Hendak pulang ke rumah, tiba-tiba seekor buaya menerjang dari dalam danau. Separuh kaki kiri dari Rama tergigit. Darah berwarna merah pekat dan lengket berceceran. Air danau yang bercampur dengan warna merah meskipun samar-samar memudarkan keindahan alam tersebut. Teriakan histeris yang tak terelakkan memecah keheningan.
Mendengar teriakan itu, sang ibu bergegas mencari asal suara tersebut. Segala pikiran hanya tertuju pada Rama, tak ada hal lain yang sedang dipikirkan pada saat itu.
Akhirnya, sang ibu menemukan Rama, namun tidak dalam keadaan yang ia harapkan. Ia melihat Rama menangis kesakitan dengan kesadaran yang semakin menipis. Dengan pikiran kacau sang ibu segera menarik Rama yang hendak ditarik masuk ke dalam danau oleh buaya. Rama-pun terlihat semakin kesakitan. Sang ibu tidak tega melihat hal itu, dan ia harus memutuskan sesuatu dari 2 pilihan yang tidak ia hendaki. Pertama, Ia akan membiarkan anaknya mati agar penderitaan yang Rama alami segera berakhir. Kedua, Ia akan tetap berusaha menyelamatkan Rama meskipun rasa sakit yang dialami Rama tak dapat dihindari atau bahkan Rama tak hidup lagi secara normal (cacat)
Dengan wajah bingung serta air mata yang menetes dalam kebimbangan, sang ibu tetap mempertahankan Rama. Ia memutuskan untuk tetap menyelamatkan Rama, karena ia menyadari bahwa menyelamatkan sesuatu hal yang benar-benar berharga dalam hidup terkadang sangat menyakitkan, meskipun seringkali tidak dimengerti dan sadari.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar