I want
I wanna live but no war
I wanna get a happiness but not in a sorrow
I wanna laugh at soft night not at lie night
I wanna sleep without fire in mind
I wanna breath the soft freeze not smoky haze
I wanna your eyes look at me like your parents
Because life is not bore for making fire in my houses
Because love is not created as a knife to kill
Because the happiness is not the blood and the tear
I wanna live like your smile
I wanna die like your smile
Kecoak
Malam yang temaram setelah lelah diguyur hujan beberapa jam yang lalu. Lampu-lampu terlihat lemah dan lesu, tapi belum ada tanda-tanda akan ditenggelamkan ketengah malam. Sunyi. Deburan gemuruh sudah tidak mau berbagi seiring hujan sudah memilih untuk menyisakan rintiknya, mungkin untuk besok, lusa, tidak ada yang tahu. Aku masih terbenam dalam suasana terdiam diatara malam yang bersandar dan masih belum menemukan kata-kata untuk menghentak hening ini.
“Rudi…” (tiba-tiba terdengar suara dengan nada berbisik lemah).
“weiiii!! Aku langsung terhentak dan bangkit dengan kaget yang harus memaksaku untuk berbuat sesuatu untuk mencari sumber suara tersebut, “siapa kau?” Di tangan kiri ku ikat sapu lidi dalam kewaspadaan tingkat tinggi. Aku beraksi bak pahlawan dalam sebuah film anak-anak yang meyakinkan aku sedang dalam keadaan terkepung. “Keluar bangsat!”
“Rudi….” Suara itu terdengar kembali dan meyakinkanku aku sedang tidak benar-benar mimpi.
“Kalau memang jantan keluar!” Aku semakin takut. Seluruh tubuh ku gemetar, keringatpun terpaksa menambah keyakinanku bahwa aku sedang takut dan penasaran dengan suara tersebut.
Tiba-tiba—dari sudut mana aku tidak tahu—tebanglah serangga kecil sambil menyebut namaku. Dari mana dia tahu kalau aku Rudi? Dan aku tidak pernah menduga ada serangga semacam kecoak bisa bicara seperti manusia. Aku akan yakin kalau serangga bisa bicara jika aku sedang menjadi actor disebuah film animasi. Tapi ini benar-benar bukan sebuah film animasi. Aku sedang berhadapan dengan kenyataan dimana mungkin semua orang akan tidak percaya seandainya aku meceritakan ulang kejadian ini dalam bentuk cerpen ataupun artikel disebuah Koran atau majalah.
“Pergi kau!” Aku mencoba mengusir kegilaan sang hewan kerdil itu sambil membidik dan mengayunkan sapu lidi yang sudah erat dalam genggamanku. Aku masih tidak percaya akan hal ini—dimana seekor kecoak memanggil namaku. Apakah dia jelmaan jin atau manusia yang sedang menguji kemampuan sihirnya?
“Siapa kau sebenarnya?!”
“Memang, kau lihat aku seperti apa?”
“kecoak.”
“Kenapa kamu harus bodoh kalau kamu sudah tahu aku kecoak?”
“Maksudku. Mungkin kau siluman atau manusia yang sedang menjelma dan mencari tumbal dan akulah yang kau cari.”
“Pikiran manusia memang lebih busuk!” Nadanya tinggi, menunjukkan dia tidak terima disebut siluman atau manusia.
Aku mulai lebih tenang mendengar ketegasanny bahwa dia bukan kecoak jadi-jadian, “lalu apa maumu?”
“Tidak pernah terlintas di benakku bermaksud mengganggumu atau sedikitpun berniat busuk. Aku hanya ingin kita berteman, itupun kalau kamu terima permintaan baikku.”
Walupun sedikit sudah tidak lagi gemetaran, tapi hatiku masih kencang berdebar seperti gendang yang sedang ditabuh ribuan orang pada festival atau parade dalam peringatan hari-hari besar, atau dalam upacara penyambutan presiden yang membuatku mempertimbangkan tawaran kecoak lemah itu, “aku tidak mau berteman dengan hewan seperti kamu. Kamu bisa apa untuk aku?”
“O…. jadi seperti itu manusia seperti kamu. Alangkah beruntungnya aku jadi kecoak.”
“Maksudmu aku lebih rendah dari bangsamu?’
“Benar! Karena banyak manusia hanya menyodorkan nafsunya demi mendapatkan balasan dan menguasai serta memangsa yang lainnya. Tidak seperti bangsaku yang saling menghormati dan bekerjasama membangun tatanan hidup bersama. Bahkan sekedar pertemanan. Kami tidak pernah menyodorkan pedang untuk memeras lalu menerima kebaikannya.”
Medengar perkataan si kecaok, aku terhentak sejenak dan merenungkan kata-katanya, tapi aku tetap tidak sama dengan kecoak. Itu yang membuatku tidak harus mempercayainya dan mengusirnya. “Pergi kau! Aku tidak mau berteman dengan kamu, terlebih kamu hanya seekor kecoak.”
“Tidak ada hidup yang lebih baik selain saling mengharigai dan tidak mengeksploitasi untuk saling memaki dan menginjak untuk menguasai demi terbitnya senyum di pagi hari dan terbenam di sore hari, kita harus berbagi walaupun hanya dengan sapaan.” Dia terbang dan keluar lewat jendela. Aku terjaga seolah-olah aku sudah menerima wahyu dari malaikat, tapi aku masih tidak yakin dengan kejadian ini. Aku masih takut, tapi sekarang bercampur penasaran, namu lebih besar rasa takut ku.
Aku ambil nafas dalam-dalam tidak lain mencoba untuk mengusir gemetar yang menggerogoti seluruh tubuhku dan sedikit berhasil. Akupun memutuskan untuk ke kamar mandi untuk mencuci muka dengan harapan aku bisa lebih tenang. Kuraih gagang pintu kamar—lagi-lagi aku seperti aktor yang kini sedang dalam missi berikutnya setelah berhasil melewati getir. Kamar mandi tinggal beberapa kamar dari kamarku. Aku tetap terjaga dalam kewas-wasan yang memaksaku waspada.
Aku tidak yakin bahwa kecoak itu benar-benar sudah pergi. Mungkin saja dia hanya berpura-pura pergi dan menungguku dibalik pintu kamar. Binatang memang jauh lebih picik dari pada manusia(?).
Perlahan daun pintu terbuka. Ku sorotkan mata ke sela pintu yang mulai memperlihatkan dunia lain; yang lebih getir dan mengacam, dunia imajinasi yang membosankan yang mungkin saja disana lebih banyak kecoak misterius; yang pincang, buta, atau yang begis dan aku takut kalau digerogoti. Dengan sedikit keyakinan yang terkubur jauh dihati, aku keluar dari kamar untuk memasuki dunia remang menuju kamar mandi.
Sesamapi di kamar mandi, aku tidak langsung cuci muka, melainkan menetralisir seluruh sudut dan pojokan kamar mandi untuk memastikan tidak ada lagi teror dari si kecoak, setelah beberapa menit aku benar-benar yakin, lalu aku sirami wajah dan aku mulai merasa benar-benar tenang dan kembali kekamar tidur. Masih terlihat jelas sisa ketakutan di kamar ku dan membutuhkan ketenangan, aku matikan lampu dan tidur.
* * *
Hari ini hari Senin dimana tradisi menghormati bendera dengan diiringi lagu kenegaraan dan dengan peraturan-peraturan yang dibaca setiap sekali seminggu. Aku bangun terlambat karena kejadian tadi malam. Jam di dinding menujukanku untuk bergegas kalau tidak mau terlambat, aku terpaksa harus mematuhi perintahnya dan bergegas cuci muka, berseragam merah-putih. Aku tidak menghiraukan sarapan, aku lebih terfokus dengan jam yang tidak akan pernah menunggu. Aku ambil sepeda buntu kesayanganku dan berangkat.
Aku harus menempuh perjalanan dua kilo, melewati kampung dan hutan setiap hari. Ditengah perjalanan ada seekor burung terkapar, sayapnya luka terkena perluru dan aku harus menolongnya. Dimata burung itu aku lihat kesakitan yang sedang ditelan, tapi aku tidak bisa berbuat banyak untuk mengusirnya dan di sisi lain jam terngiang mengingatkan kalau ada apel hari ini. Akhirnya aku memutuskan untuk menaruhnya dibawah pohon mangga dan melanjutkan perjalanan.
Sesamapi di sekolah, crew-crew yang bertugas minggu ini sedang mempersiapkan jalannya upacara mingguan tersebut. Itu artinya aku belum terlambat dan tidak akan mendapat hukuman dari kepala sekolah. Di sekolah kami siapa yang terlambat akan dijemur sampai jam sekolah berakhir. Sangat mengerikan dan tidak bermoral untuk ukuran anak kecil seperti kami yang masih SD. Tidak satupun siswa yang terlambat hari ini.
“Anak-anak pagi ini kita belajar pancasila. Pelajaran apa anak-anak?” Guru pancasila kami memulai membangkitkan suasana kelas. Seperti biasa setiap minggu dia mengulang kata-kata sambutan dan pertanyaan itu, seolah-olah anak didiknya tidak tahu apa pelajaran apa yang sedang kami hadapi hari ini. Setiap minggu.
“Pancasila…..” serentak teman-temanku membalas jawaban konyol itu. Aku diam. Aku teringat dengan burung yang terluka dipinggir jalan tadi. ‘Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”’ tiba-tiba aku bergumam. Aku jadi berpikir mengapa kita harus ber-idiologi-kan pancasila dan harus mempelajarinya sejak dini. Aku mulai sadar, yitu agar manusia saling menghormati. Aku teringat dengan kata-kata kecoak tadi malam, “Tidak ada hidup yang lebih baik selain saling mengharigai dan tidak mengeksploitasi untuk saling memaki dan menginjak untuk menguasai demi terbitnya senyum di pagi hari dan terbenam di sore hari, kita harus berbagi walaupun hanya dengan sapaan.” Agar hidup ini harmonis. Tapi mengapa mereka yang berpendidikan tinggi dan menjadi pemimpin banyak yang korupsi? Aku yakin karena mereka tidak pernah memahami pancasila, tidak pernah serius merenungi makna pancasila. Hanya menghafal dan jadi teks mati yang menjadi pajangan ruang kerja mereka.
Di kelas aku masih resah karena teringat nasib si burung dan kecoak. Aku menyesal menolak sikap baikny untuk bersahabat. Mungkin dia butuh perlindunganku karena tidak bisa hidup dengan manusia secara harmonis. Aku yakin Burung itu diburu karena manusia tidak mengerti arti persahabata. Jam pulang masih lama. Aku harus menikmati dulu penjara ini beberapa jam kedepan.
“Pak, mengapa kita harus belajar pancasila?” dengan lugu aku bertanya.
“Petanyaan yang bagus Rud. Jadi anak-anak, kita belajar pancasila agar kita saling menghargai, toleransi dalam beragama, mengasihi antar sesama agar hidup ini harmonis.”
“Tetapi mengapa masih banyak yang memburu binatang dan membunuhnya, masih banyak yang saling bunuh, masih banyak yang korupsi?” Aku bertany balik, suasana kelas terdiam sesaat. Teman sekelasku seperti biasa terbisu, begitupu aku. Tapi tidak hari ini, mungkin kerana aku resah dan kebetulan belajar pacasila.
“Maka dari itu, kita harus benar-benar memahami idiologi kita agar kita bisa melihat mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang dilarang pancasila. Mereka melakukan hal terlarang seperti itu, karena tidak memahmi isi dan makna pancasila.”
Aku sedikit puas dengan jawaban pak Yono.
Beberapa jam kemudian bel berdering menandaka sekolah hari ini selesai.
* * *
Kekhawatiran pada nasib burung itu memaksa ku harus mengayuh sepeda dengan cepat. Terik matahari siang itu sangat panas. Debu tersapu angin berdesakan menghampiriku. Nafasku semakin cepat mempermainkan paru-paruku berdenyut. Kencang. Kencang. Sepeda buntuku juga mengikuti alur kecemasanku. Pancasial! Ya. Pancasila yang membuat aku mengerti arti hidup di negeri ini. Juga mencintainya. Tidak seperti mereka yang hanya duduk melototi garuda itu yang sedang menenteng lima sila di dadanya selama berpuluhan tahun, tapi tidak untuk sekedar menghafalnya bahkan hanya sebagai pajangan di kamar kerja mereka. Tapi itu kenyataannya. Mereka tidak memahaminy sehingga mereka tidak tahu arti korupsi.
Sesampai disana, dibawah pohon mangga tempat burung itu ku istrirahatkan. Burung itu masih menahan luka, tapi dia sudah berhasil membuangnya dengan hembusan nafas terakhir. Tidak banyak yang harus aku lakukan selain menguburnya dan menyesali keegoisanku menolak permintaan persahabatannya. Aku benar-benar menyesal. Mungkin dia sedang terancam seperti burung itu dan butuh perlindunganku. Mungkin sekarang nasibnya sekarang seperti burung itu. Aku berharap bisa ketemu dengan kecoak yang aku anggap lemah itu. Karena dia, aku mengerti arti hidup, mengerti arti pancasila.
Setengah perjalanan lagi aku sampai di rumah. Mendung hari ini datang lebih awal dan hujan harus menemani sisa perjalananku.
* * *
Sesampai rumah. Aku renungkan semua kejadian yang telah membuatku sadar. Kecoak. Pancasila. Koruptor. Burung. “Keharmonisan hidup” seperti kecoak itu dambakan, tapi aku bodoh. Pikiranku berputar padu satu ruangan. Ruangan dimana membawaku sediki demi sedikit mengerti arti hidup ini. Kita tidak bisa hidup tampa keseimbangan—antara manusia dengan manusia dan binatang juga alam. Terciptanya pancasila, undang-undang agar kita tahu hidup itu rapi dan teratur. Hidup bukan milik golongan tertentu, akan tetapi untuk kita semua. Hidup bukan untuk menjajah, bukan untuk saling memburu.
Suara-suara kecoak, ketakutanku masih membekas di udara kamarku. “Dimana kamu kecoak?” Bergumam menyesali keegoisanku. Diluar hujan masih riuh belum ada tanda akan berhenti. Mungkin dia mengerti dengan kegalauanku dan akan menghabiskan sisa yang kemarin malam dia sisiakan. Kampungku seperti ditelan dan hanya rumahku yang tersisa.
“Rudi…” tiba-tiba kata-kata itu terdengar lagi, tapi terdengar sedikit serak seperti sakit atau penderitaan yang menandakan bahwa sedang ada yang mengganggu suaranya. Seperti biasa dia tidak langsung keluar, mungkin karena dia trauma dengan sikap ku.
“Jangan takut kawan, aku dengar di suaramu ada bekas pemberontakan atau semacamnya, dan tidak bisa ku abaikan, aku harus tahu.” Aku sedikit meyakinkan dia bahwa aku benar-benar tidak menolak lagi, tapi penyesalan masih membekas membuatku merasa seperti badut yang melakukan kesalah dalam pentas hiburan rakyat, diteriaki dan tidak berani angkat kepala untuk minta maaf. Sesaat hening bergelombang antara kebisuan. Dia diam seperti ditelan lumpur. Mungkin dia masih tidak yakin dengan manusia yang telah dia kutuk sebagai manifestasi kebodohan yang hanya menjual perutnya—tanpa memperhatikan lingkungan—demi selembar uang dan itu yang mengharuskanku untuk minta maaf, tapi dia masih bergeming bisu. “Apakah kau sedang menujukkan masih adanya kebencian untuk ku?”
“Jangan sesekali itu aku lakukan, artinya cinta akan hanya menjadi sebuah susunan alfabet yang hacur berkeping-keping yang sulit disusun dan orang-orang akan lebih suka memikirkan pembantaian demi sesuap nasi dan setetes embun untuk bertahan hidup. Setidaknya aku mengerti betapa ngerinya darah yang dikerumuni lalat, sungguh manusia (binatang) seperti itu adalah sepotong kutukan. Alasan itu yang selalu melintas—dan manusia tidak mengerti alias jarang merenungkan hal itu—yang membuatku lebih waspada untuk menuruti keegoisan.” Dia langsung keluar dengan kaki pincang dan sebelah sayapnya robek, serta suara parutnya.
“Maafkan aku.”
“Tanpa melafaskan kata-kata itu aku tidak pernah menyesal untuk memaafkanmu walaupun tidak ada secoret tinta yang mengotori kertasku. Yang terpenting sekarang adalah aku kabarkan bahwa manusia sedang memburu teman-temanku dan sudah membuat kakiku pincang serta sayapku robek. Alasanku lari mencarimu lagi karena aku lihat kamu manusia yang masih ingin mengerti arti keadilan. Sekarang sudah terlihat, ditanganmu tidak ada lagi sapu lidi untuk menolakku. Bahkan hal bodoh kau lakukan untuk menunjukkan penyesalanmu. Terimakasih kawan. Aku tidak pernah menyesali seandainya dari awal kedatanganku tidak kau anggap miskin dan tidak ada kata ‘salah’ dari itu.”
Aku terdiam. Kepalaku seakan terhipnotis, mau tidak mau harus merunduk karena penyesalan memintaku untuk melakukannya. “Aku paham mengapa ketidakseimbangan ini menjadi drama lucu yang diminati sebagian manusia. Idologi dan dogma hanya cetaka dalam kumpulan teks, hanya dijadikan sebagai hiburan layak sebuah novel dengan sticker “Best Seller” disampulnya, menujukkan bahwa ia laku di pasaran. Seperti Pancasila, hanya hiasan lembaran kertas dan dinding-dinding kantor, sekolah-sekolah, universitas-universitas. Tidak dipahami serta dihayati. Tinggal menunggu kehancuran yang remah di mulut-mulut para penjagal jika itu masih tetap diabaikan.”
“Sudahlah kawan. Aku cukup senang hati mendengar pernyataanmu, dan itu yang aku inginkan dari manusia yang telah terkutuk oleh Tuhan sebagai khalifah di wajah bumi ini. Artinya, bagaimana wajah bumi ini tetap tersenyum seperti yang diidam-idamkan oleh bahyak makhluk. Khalifah adalah pemimpin, kalau pemimpinnya tidak becus, tinggal menunggu tanggal main kehancuran dan cinta hanyalah binatang ternak yang tidak mau lagi digembala. Aku harus pergi, karena aku tidak ingin mengambil posisimu sebagai kholifah.”
Dan akhirnya dia terbang dengan bekas derita yang diterima karena manusia-manusia yang tidak mematuhi rambu-rambu cinta yang telah digariskan. Tidak ada kata yang bisa terucap, selain ‘terimakasih’ telah menyadarkanku arti pentingnya memahami filosofis-filosofis kehidupan; Pancasila, kitab-kitab dari Tuhan, agar tidak diartika sebagai sebuah kapak untuk semaunya menebang pohon, agar tidak diterjemahkan sebagai sebuah pedang yang selalu tersenyum didepan leher untuk menghilangkan nyawa, agar tidak mengartikan kekuasaan sebagai sarana bermain ala anak TK—menyenangkan dan membuat lupa kapan jam makan—dan yang dipimpin hanya sebagai lembu dan dibiarkan mengembara di padang pasir yang gersang tanpa rumput dan hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar