Minggu, 14 November 2010

Karya Yanuar Indra Rukmana


First Meeting
                                                                                                            September 9-19, 2010


Back Shadow


            "Tidaaaaaakk!!! Aku teriak dengan napas yang tersengal-sengal mala itu. Mimpi itu, mimpi itu hadir kembali. Mengapa setelah sekian lama, mimpi itu tak henti-hentinya  menghantui aku. “Tidak!!" kembali teriakku tapi kali ini aku benar-benar sudah sadar dari tidurku yang tak pernah nyeyak, lalu aku menangis menjadi di atas kasurku dalam ruang kamar tidurku yang masih redup dengan sinar lampu tidur di sisi tempat tidurku. Aku kembali tidak merasakan ketenangan, aku memang belum juga bisa temukan kedamaian.
"Hentikan! Kembalikan kedamaian ku!!" dengan suara parau dan kedua tanganku terkepal kuat kuhamtamkan ke sisi tubuhku di dalam sunyinya malam. "Tuhan, masih kurangkah kebahagiaanku yang kau renggut itu? Masih kurangkah mimpi yang selama ini kudamba telah kau musnahkan begitu saja ? HENTIKAN TUHAN!" teriakku semakin lantang, berharap teriakku bisa lebih didengar oleh Tuhan.
            Ini adalah sekian kalinya aku terjaga ditengah malam dalam tidurku yang selama ini tak pernah lagi rasakan kenyenyakan setelah hari itu. Tidurku serasa selalu terbelenggu oleh mimpi buruk yang sama, sampai berhasil membuat aku selalu rasakan ketakutan untuk  tidur. Dan saat ini pula aku takut untuk memejamkan kembali mataku yang sembab ini. Aku takut, aku kembali bermimpi yang sama. Aku takut, lagi-lagi aku melihat kejadian mengerikan itu. Bangunku jadi tak tenang. Aku Cleon, seorang gadis yang pernah kacau karena mimpi yang hancur karena takdir. Kehilangan kekasih untuk selamanya membuat hidupku hanya menemui kehampaan.
Dengan sisa tenaga setelah terkuras karena mimpi, aku pun beranjak dari tempat tidurku dan berjalan menuju jendela kayu berukir bunga mawar. Sesampai disana lantas kubuka selambu, dan kutengok apa yang terjadi di balik jendela. Berharap kutemui sedikit keindahan malam yang sanggup menghiburku saat ini barang sedikit. Namun ketika aku sibakkan selambu dan ku buka jendela, hanya terlihat rintikan hujan yang jatuh dari langit yang membasahi kaca jendela kamarku. Kutengadaku kepala terlihat langit yang kelam akan mendung yang tebal. Ternyata aku salah, pandanganku itu semakin membuat aku kacau. Aku berbalik, kujatuhkan diri kelantai dan  kututup mata dengan kedua tangangku yang gemetar karena ketakutan. Aku kembali meneteskan air mata, dan semakin menjadi dari pada sebelumnya, tubuhku melemas. Bayanganku seketika kembali dalam kenyataan yang lebih mengerikan dari mimpi-mimpi itu. Rintikan hujan seperti itu sama persis dengan rintikan hujan tiga tahun yang lalu. Rintikan hujan yang semakin deras dengan cucuran air mataku dan orang-orang yang mencintainya.
………………………………………………………………………………………………

Langit yang kelam, rintikan hujan, udara dingin yang menusuk, dan daun-daun berjatuhan kaera tiupan angin. Sedangkan aku berharap sekali mentari datang dan menyapaku bersama kicauan burung-burung dibalik jendela kamarku saat kubuka mataku untuk detik pertama aku terbangun. Aku ingin hari ini penuh keceriaan yang tidak hanya hadir dari hatiku, hati yang begitu teramat bahagia menyambut hari yang selama ini aku nanti dalam hidupku di dunia. Hari dimana akan menjadi sejarah penuh kenangan indah yang tidak akan terlupakan selamanya. Dimana hari ini dua cinta akan bersatu dalam ikatan suci. Ya, hari ini adalah hari pernikahanku bersama orang yang sangat aku cinta di dunia ini, Ryeon. Penantian yang panjang setelah pencarian belahan jiwa yang dihiasi dengan perjuangan-perjuangan indah kusebut, jika teringat kisah-kisah kecil itu, aku jadi tertawa sendiri. Sudah ah, itu akan selalu ada dalam ias dan hatiku. Saatnya membersihkan diri dan berias sebelum aku bertemu dengan pujaan hatiku yang sebentar lagi akan jadi teman hidupku selamanya.

            Sedangkan di luar kamar, mereka sibuk dengan persiapan-persiapan yang tak memiliki waktu yang lama lagi. Terdengar samar di balik cucuran air dalam kamar mandi panggilan bundaku tersayang. “Cleon, cepat iasg, perias sudah menunggumu,” mendekati pintu kamar mandi dengan sedikit khawatir karena aku masih ada di kamar mandi. “Iya bunda,” balasku dari balik pintu kamar mandi dengan tetap mengusapkan busa sabun ke tangan kiriku. Setelah kukenakan baju handukku, aku keluar kamar mandi dan duduk di kursi riasku. Ternyata benar perias mantenku sudah menunggu dan langsung saja dia memulai mengusap wajahku dengan pembersih muka, lantas membubuhkan bedak dasar di wajahku yang tirus. Hingga tiba saatnya kukenakan gaun putih yang indah, gaun yang kupilih bersama Rye biasa lelaki yang sangat kucintai itu kupanggil. “Kau terlihat jauh lebih cantik kini.” Kata periasku sambil membenahi hiasan bunga mawar putih di kepalaku. “Terimakasih”, balasku dengan senyuman hangat yang terpancar dari mataku yang berbinar pagi itu. “Bagaimana perasaanmu cantik?” dengan suara yang lembut dia bertanya dengan berdiri tepat dihadapanku. “Pagi ini walaupun mentari bersembunyi di balik mendung, dan hujan melengkapi mendung, tidak akan menghalangi dan mengganggu kebahagiaan ku yang mendunia ini. Ini adalah hari yang telah lama aku dambakan”, jelasku dengan penuh keyakian dan dengan tatapan yang tak lepas dari cermin untuk memandangi diriku sendiri, pipiku memerah.
             
Di suatu ruangan yang akan menjadi saksi bisu sejarah indah dalam hidupku, indah dihiasi dengan taburan bunga mawar putih dalam rangkaian di seluruh sudut ruangan. Disana kami akan resmi dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan. Aku tau dekorasi itu tanpa harus aku melihatnya. Karena itu adalah rencanaku ,jadi aku tahu bagaimana kondisi ruangan  saksi pernikahanku itu. Jam diding menunjukkan tepat pukul 8 siang. Satu jam sebelum acara pernikahanku berlangsung. Aku terpesona dengan kecantikanku sendiri di depan cermin yang selalu menemaniku medengarkan keluh kesah dan kebahagiaanku akan kehidupan. Tak lama kemudian terdengar ketokan pintu. “Sayang boleh ayah dan bunda masuk?”suara lembut seorang bunda dari balik pintu.” Sangat boleh, masuklah bunda ayah”, sedikit terkejut dan kulepas pandangn atas diriku di kaca lantas ku putar kursi tiarku menghadap pintu kamar. Dengan tenang mereka masuk dan menghampiriku, “Sayang, cantik sekali iasg bunda, benar kan yah?”, “ Iya,bu iasg kita memang paling cantik dan Rheon adalah orang yang paling beruntung dapatkan iasg kita,” timpal ayah yang berhasil membuat pipiku lagi-lagi memerah. “ Ah, ayah berlebihan, Cleon lah yang berutung mendapatkan  Rye, dia lelaki yang sangat baik, pengertian, bertanggung jawab, dia laki-laki yang selama ini Cleon cari ayah, bunda,” jelasku sambil mematap kedua paasang mata itu. “ Iya, ayah tau, dan kita percaya kalau Rheon yang terbaik buat iasg ayah satu-satunya  dan ias membahagiakan kamu, kamu sudah siap iasg?” Tanya ayah untuk memastikan keyakinanku untuk melangkah ke hidup baruku. “ Cleon siap ayah bunda, jangan terlalu khawatirkan Cleon, Cleon sudah yakin sekali dengan pilihan Cleon,” ku sentuh tangan kedua orang tuaku lantas ku genggam erat agar lebih meyakinkan kedua orang tua tercinta. “ Ya sudah, kita lebih tenang sekarang, bunda dan ayah akan menunggu Rheon dan keluarganya di bawah ya. Nanti bunda jemput kamu kalau mereka sudah iasg. Ingat kamu tidak boleh turun sebelum mereka iasg,”belaian kehangatan seorang bunda sangat terasa melalui tangan hangatnya yang mengelus pundakku. Inilah salah satu tradisi di  keluarga besarku saaat anak perempuan menikah. “Iya bunda ku iasg,” jawabku manja lalu kucium pipi bundaku selanjutnya pipi ayah. Kemudian mereka keluar ruanganku dengan meninggalkan senyum kelegaan.
Kulihat jam di sudut kamarku, jarum jam tepat menunjukkan pukul 9. Jantungku kian berdegup kencang. Aku tak sabar lagi menunggu kehadiran pangeranku, dimana dia? Mengapa kali ini disaat yang penting dia iasg terlambat, tidak seperti biasanya.
Berkali-kali pandanganku menuju pada jam dinding, lewat 5 menit, 10 menit, 20 menit, tidak kurang 2 menit lagi pukul 10. Kecemasanku kian memberontak. Apa yang sedang terjadi? Tanyaky melayang do setiap udara di sekelilingku.
“Ayah bagaimana ini? Mengapa Rye dan keluarga belum juga iasg?” sambil mengusap-usap tangan terlihat kegelisahan bunda mencari tahu kepada ayah. “Ayah juga bingung bunda, padahal 40 menit yang lalu ayah sudah menghubungi mereka dan bunda dengar sendiri kalau mereka sedang ada di perjalanan. Sudahlah, semua akan baik-baik saja,” usaha ayah menenangkan bunda tak mampu menghentikan kegalauan bunda kali ini. Tak selang beberapa lama ayah mencoba menenangkan bunda, telepon rumah iasga. Dengan sigap ayah mengangkat gagang telepon. “Halo…..,iya benar saya sendiri tuan Dhiel Laros,”sapa ayah untuk dia yang ada di seberang sana. Namun setelah itu, ayah hanya terdiam untuk waktu yang lama dengan raut muka kosong. ”Ada apa ayah iasga pada bunda. Siapa yang menelpon, apa katanya?”desak bunda ingin tahu apa yang telah ayah dengarkan. “Rye bunda, mobil  yang membawa Rye dan kedua orang tuanya mengalami kecelakaan.” Jawab ayah sebelum sempat menaruh gagang telepon pada tempanya. “ Tidak…. “ aku pingsan di awal anak tangga dan buatku tergulung jatuh ke anak tangga terakhir. Aku mendengar langsung dari ayahku apa yang sebenarnya telah terjadi, seketika pandanganku gelap segelap mungkin. Ayah, bunda dan orang-prang disana berlari kearahku dengan penuh keterkejutan. Ayah menggendongku dan membaringkan tubuh mungilku di atas ranjang. Bunda berusaha membangunkanku dari pingsan yang menerjangku. Saat ku buka mataku. “Ryeon!! Tidak, dimana Rye? Aku ingin bertemu dia. Ayah ayo antarkan aku pada Rye ayah, aku mohon, bunda!” sambil menangis terisak-isak tak ku hiraukan sakit di sekujur tubuhku setelah terjatuh dari tangga.”Baik, sekarang juga kita akan kerumah sakit.” Tanpa berpikir panjang kami kerumah sakit, aku pun tak peduli dengan baju pengantin yang tetap ku kenakan.
Sesampainya di salah satu rumah sakit swasta dimana Rye dan kedua orang tuanya di atasi untuk menerima pertolongan darurat. Aku bergegas lari menuju ruang IGD, disana pangeranku sedang berjuang demi aku. “Aku iasg iasg, semua akan baik- baik saja,”dengan suara bergemetar ku coba menenangkan hatiku. “Suster tolong ijinkan aku masuk, aku ingin bertemu dengan calon suamiku,” suster yang  awalnya menahan aku tidak masuk akhirnya mengijinkanku. Kuhampiri Rye, tangisku semakin menjadi setelah ku tahu luka yang ada di sekujur  tubuhnya bukanlah luka yang ringan. Kugenggam tangannya, ku peluk, iasg dengar rintih kesakitannya. “Sayang semuanya akan baik-baik saja, tidak akan terjadi apa-apa padamu. Sebentar lagi kita akan menikah iasg, kita bina bersama keluarga kecil kita yang bahagia bersama putra-putri lucu kita kelak. Kamu pasti ias melalui semua ini. ”Dengan air mata yang tak henti membasahi pipiku, kucoba tegar di hadapan Rye. “Cleon….kamu akan slalu bahagia” kata Rye lirih dalam bisikan namun tetap dapat kuengar, lalu suara lembut itu menghilang bersama terpejamnya kedua mata Rye, tangan yang ku genggam kini menjadi terkulai. “Ryeon.., tidak Rye jangan tinggalkan aku sendiri, apa kamu lupa sebentar lagi kita akan menikah? Bangun Rye, bangun.. Rye……!” teriak kupanggil Rye dari tidurnya yang sangat panjang, tak ku lepaskan tangannya dari genggamanku. Hatiku benar-benar telah hancur berkeping-keping bahkan berbutir-butir layaknya debu di gurun pasir. “Anakku iasg, kamu harus relakan Rye pergi”. Bunda memelukku dengan dekapan yang lebih kuat dari genggaman tanganku pada Rye. “Tidak bunda, Rye tidak boleh pergi secepat ini, sebentar lagi kita akan menikah dan hidup bahagia selamanya,” dengan tetap kupandang tubuh yang sudah tak berbyawa itu. “Sayang sudah, kamu harus terima ini semua!” Bunda semakin mempertebal nada suaranya, karena kekhawatirannya sebagai seorang Bunda pada putrinya yang sedang luluh lanta hatinya.

………………………………………………………………………………………………

Hari-hariku kelam setelah kejadian mengerikan itu. Bayangan-bayangan menakutkan itu menbuat diriku seakan terjatuh dalam jurang yang sangat dalam dan menjauhkanku dari oprang-orang yang aku iasg. Pandanganku selalu kosong tak bernyawa. Beberapa kali aku berusaha menyusul belahan jiwaku disana, namun selalu tertangkap basah. Sampai suatu hari aku memutuskan menyendiri dengan hidup mandiri jauh dari kedua orang tuaku, dengan membeli sebuah rumah kecil di daerang pegunungan. Aku ingin lepas dari bayangan hitam itu. Dengan penuh kekhawatian kedua orang tuaku pun mengijinkan mungkin dengan cara ini keadaanku lebih baik.
Tapi nyatanya yang ada kini aku belum juga dapat terlepas dari belenggu kesuraman itu. Hal itu telah menjadi bayangan masa lalu yang tidak ias aku hindari. Lantas bagaimana selanjutnya hidupku berjalan? Apakah selama hidupku, apakah hingga akhir napasku berhembus bayangan itu selalu menyertaiku? “Ryeon….”, panggilku lirih dibalik mentari yang beranjak menyunggingkan sinarnya.





Yanuar Indra R.
080110101054

Target reader   : dewasa


2nd assignment                                                                                                    27 September 2010
“CLARA”

“Rasa penasaran telah membawaku dalam perjalanan mengitari sebuah rumah tua di tengah hutan dengan pintu yang tak terkunci. Disetengah perjalananku dalam ruang gelap, pengap, dingin, juga sunyi, dan tak nampak dimana ujung lorong ini berada, langkahku terhenti ketika cahaya centerku menangkap bayangan seorang gadis kecil dengan gaun pesta. Apa yang sedang gadis kecil ini lakukan dalam sebuah lorong gelap dan sendiri?”
“Tanpa berpikir ulang, kuhampiri bayangan itu dan semakin mendekat kutemui lebih dari sekedar bayangan. Aku hanya berbenak bahwa mungkin saja gadis kecil ini tersesat ketika terlalu asik bermain dalam suatu acara pesta. Tetapi mengapa tidak tersirat ketakutan dalam wajahnya, atau bahkan menangis selayaknya anak kecil yang terlepas dari genggaman bundanya di tengah keramaian? Melainkan dia tenang dalam diam. Pucat pasi tanpa ekspresi terpancar di wajah mungilnya. rambut keriting yang menjuntai  dan tanpa sepatah katapun terucap dari bibir mungil si gadis kecil.itu ketika kubertanya apa yang sedang dia alami disini. Tetap dalam diam, tiba-tiba saja ada sesuatu yang mengalir air keluar dari sepasang mata yang sayu dan terlihat kosong itu. Namun setelah lebih kudekati lagi, dan kuarahkan cahaya senterku tepat di mukanya, ternyata itu bukan air mata biasa yang mengalir seperti yang aku duga, dia menangis darah.”
“ Shit, apalagi ini, ach mati lampu. Kenapa sekarang sih? Ketika aku menulis novel masterpieceku.” Aku adalah Neora Shelly Johan, penulis novel misteri di sebuah kota kecil di Paris.Berjalan sambil kuraba barang-barang sekelilingku macam orang buta hanya untuk menemukan seonggok pintu. “Kemana orang –orang ini? Kenapa sepi sekali?” aku melewati mulut pintu dengan tertetak kumencari dimana lilin-lilin itu berada. Tanganku tak henti meraba sekelilingku hingga akhirnya aku merasakan sebuah barang besar terbuat dari kayu dengan ukiran-ukiran abstrak. Aku gapai gagang penarik kotak laci dari bingkainya. “ Susaah sekali laci ini kubuka? Apa mungkin karena laci ini jarang di buka? Hm..”, dengan sekuat tenaga kutarik laci sampai aku merasakan panas pada jari-jariku. “Akhirnya terbuka juga, dimana kamu lilin? Inin dia. Tapi dimana korek apinya? Sama saja bohong kalau begini.’’ Kurogoh lebih dalam laci lemari dan kuytemukan sekotak korek api.
Kubuka kotak korek api dan kunyalakan sebatang lilin yang selanjutnya menuntunku menuju sebuah ruangan besar berarsitektur macam rumah peninggalan orang Belanda yang dipenuhi oleh barang-barang antik. Untung saja aku tidak menabrak salah satu darinya, kalau sampai terjadi lantas aku merusaknya, pasti Tuan Niswelfs akan marah besar padaku.
Niwelfs Johan lengkapnya, adalah ayahandaku satu-satunya yang gemar sekali mengoleksi barang-barang antik peninggalan nenek moyangnya, begitu yang beliau bilang. Padahal sebagian besar barang itu dia buru sampai segala penjuru dunia, jadi belum tentu pula barang itu peninggalan nenek buyutku. Benar-benar ayah yang unik.
Kuletakkan lilin terkahirku di atas sebuah meja kayu bersiku lima dengan kaki meja berbentuk ekor naga tanpa kepala yang melilit setangkai mawar. Itulah salah satu koleksi unik ayahku. Kujatuhkan diriku diatas sebuah kursi yang memiliki punggung menjulang tinggi melebihi kepalaku. Ada ukiran kepala naga di kedua sisi punggung kursi itu. Rupanya meja dan kursi ini satu naga yang terbagi tubuhnya. Darimana ayah mendapatkan barang aneh ini?
“Huft… lelah juga setelah menulis tadi,” sengaja kulemaskan tubuhku di atas meja di hadapanku. “Benar-benar sepi ruangan ini, aneh kemana semua nyawa-nyawa bertubuh itu? Aku ditinggalkan sendiri dalam rumah besar ini,” kuarahkan pandanganku pada apa yang ada di sekelilingku. “Menakutkan juga ini rumah ini, terutama ruangan dimana aku berada”.
Terdapat banyak lukisan tua bergantungan hampir memenuhi diding ruangan. Satu persatu kupandangi lukisan itu, namun hanya ada satu lukisan yang menghentikan perjalanan pandanganku. Dalam cahaya redup dari lilin, sebuah lukisan tua dengan gambar seorang gadis kecil dengan gaun indah. “Cantik juga gadis dalam lukisan itu,” dengan tatapan penuh kekaguman, kuambil lilin di atas meja lantas berjalan mendekati lukisan itu. “Baru sadar aku kalau ada lukisan yang sangat indah di rumah ini. Apa ini likusan baru ayah?” Kuangkat tangan kananku mencoba untuk meraba lukisan gadis kecil itu.
Belum sempat jariku menyentuh kanvas berwarna shopia itu, terdengar dentingan not piano, dengan membentuk melodi Für elíse  dari Mozart.  Aku tersentak, terkejut yang teramat mendengar suara yang tiba-tiba muncul membelah kesunyian malam ini. Hitungan detik aku berbalik mencari darimana asal suara itu. “Siapa itu?” kuangkat lebih tinggi batang lilin di tanganku. Aku yakin suara itu dari dalam ruangan ini.
Bulu kudukku berdiri, menari ketika angin kencang tiba-tiba menerobos masuk melalui jendela sampai terbuka dan menghantam diding. “Dobrakk…!” Lilin di tanganku terjatuh  dalam posisi api padam. Dengan rasa penasaran, juga takut aku terus mencari siapa yang telah memainkan piano di tengah gelap ini.
Ruangan semakin gelap, semua lilin padam karena tiupan angin. Dengan brutal kuambil korek api di atas meja dan kunyalakan kembali lilin yang sempat kujatuhkan. Saat kubuka kotak korek apia, angin berhenti bertiup. Lebih anehnya lagi, suara piano itu ikut lenyap dari pendengaranku.
Kudekati piano tua yang ada di ruang keluarga ini. Dan apa yang aku lihat? “ Yang benar saja, apa yang telah terjadi disini?” aku melihat papan penutup not piano itu terbuka. Tidak salah lagi, ada seseorang yang telah memainkan piano ini. “Hei, siapa kamu? Jangan main-main denganku!”  Aku berharap tidak ada yang menjawab pertanyaanku ini, kuberharap suara piano itu hanya alusinasiku saja. Namun tak lama dari itu muncul suara lembut dari arah belakang tubuhku. “Aku Clara.” Tersontak aku berbalik lantas melangkah mundur menabrak deretan not piano hingga berdenting.
“Hah, siapa kamu, bagaimana bisa disini ?” nada suaraku yang terbata-bata  bersama napas yang tersengal ketakutan bukan main. Dengan manja dia menjawab pertanyaanku, “Karena aku ada disini”. Yang benar saja dia menjawab demikian simplenya, sedangkan pikiranku terus terdesak dengan beribu pertanyaan tentang kehadirannya. Di sela kesibukanku menenangkan diri, tercium bau harum secara tiba-tiba. Bau harum seperti aroma bunga lily berpadu dengan bunga melati. Pertanyaan dalam otakku kian bertambah, dari mana bau ini hadir, tidak mungkin muncul begitu saja, sedangkan dirumah ini tidak ada sama sekali tanaman lily atau melati. Pertanda apa ini Tuhan? Atau jangan-jangan ini adalah aroma dari tubuh gadis kecil itu?
Kutolehkan kepalaku pada gadis itu, tapi kini dia menghilang, dan meninggalkan bau harum ini. “Hei gadis kecil, kemana kamu?” dengan nada suara keraguan kucoba untuk memberanikan diri mencari tahu dimana dia kini. Seketika itu pula aku dibuat teramat heran, mataku melihat  gadis kecil itu dalam sebuah lukisan yang telah menarik perhatianku sejak tadi. “Yang benar saja, tidak mungkin lukisan itu menjadi nyata?” Tubuhku berkeringat dingin, tanganku basah dan otakku semakin sesak dengan banyak pertanyaan yang tidak masuk akal.
Kubalikkan badanku, “Shitt!!” Lagi-lagi gadis kecil itu berhasil membuat aku terkejut setengah mati dengan kemunculannya yang takbisa kuprediksikan.
“Sebenarnya siapa kamu?” tanyaku kepada gadis kecil itu.
“Seperti yang telah kamu kira, aku adalah gadis dalam lukisan itu, duduklah!” dengan tenang gadis kecil itu mempersilahkan aku di rumahku sendiri. Dengan cahaya redup darisebatang lilin aku beranikan diri dan berusaha menenangkan diriku dengan menuruti apa maunya. Diapun berjalan menuju salah satu kursi dan duduk di hadapanku.
“Aku sangat membutuhkan bantuan kamu Sara,” kesedihan yang mendalam tersirat di wajahnya yang mungil.
“Apa yang bias aku lakukan untuk itu?” suaraku bergetar .
“Kau tahu cerita novel yang sedang engkau angkat sekarang? Aku telah menuntunmu dalam kisahku yang nyata.”
            Pantas saja aku merasakan keanehan ketika menulis novel itu, seakan ada yang menuntun imajinasiku.
“Tapi cerita itu belum usai.” Aku berdiri dan tidak bisa kubohongi gerak tubuhku yang semakin menunjukkan ketakutan.
“Lalu bagaimana cara aku membantumu?” Kekhawatiranku semakin memuncak ketika aku lihat lilin ditanganku semakin pendek.
“Kau tuntaskan saja novel itu, nanti akan aku beri petunjuk dalam setiap ceritanya. Aku hanya ingin kau memepertemukan tulang jasadku untuk selanjutnya kau kuburkan dekat makam keluargaku.” Kulihat ditengah cahaya lilin yang semakin redup, dia menangis.
            Sedetik setelah dia mengungkapkan pintanya, lampu menyala. Rumah ini terang kembali dengan lampu yang menyala hamper di setiap sudut ruang. “Hei, Clara. Kemana kau? Masih banyak pertayaan yang ningin aku ajukan.” Kemana perginya gadis kecil itu, apakahh di kembali ke dalam lukisan?
            “Sara, kami pulang!” sapa ibuku. Ibu, ayah dan kedua saudara laki-lakiku telah datang dari kepergiannya yang sama sekali tidak aku ketahui.
“Darimana saja kalian? Tega sekali meninggalkan aku sendiri dirumah?” aku kembali duduk dengan muka masam dan nada yang sebal.
“Tadi aku sudah mengetuk pintu kamu dan mengajakmu ikut serta, tapi tidak ada balasan sama sekali, jadi aku anggap kamu sedang tidak ingin diganggu.” Kata Joni adik pertamaku.
 “Alah pasti itu hanya alasanmu saja biar aku tidak ikut kalian, yakan? Aku tidak mendengar ada ketokan pintu dari kamarku, juga suara ajakanmu.”
“Sudah–sudah ini ibu belikan manisan apel kesukaanmu. Memang benar tadi Joni sudah mencoba untuk mengajakmu. Makanlah, mungkin itu bisa mengurangi rasa sebalmu pada kami.”
            Ehm, aneh. Tadi aku benar-benar tidak mendengar suara Joni dari balik pintu. Apakah ini karena Clara? Apa aku terhipnotis dalam kisahnya? Sudahlah, aku akan mencoba membantunya. Sembari itu kumakan saja manisan apel ini. “Nyammy! Terima kasih ibu.” Rasa manis dari manisan apel ini begitu pas dilidahku dan membuat aku sedikit lebih tenang. Aku bawa sebungkus manisan apel ini menuju kamarku. Namun sebelum masuk kamar aku melihat ayah keluar dari arah dapur. “Ayah, bagaimana ayah mendaptkan lukisan gadis kecil itu?” sambil kutunjuk lukisan yang aku maksud sambil menikmati manisan apel di tangan kiriku. “Ayah mendapatkannya dari lelangan sebuah rumah tua di Roma. Ada apa Sara?” dengan sikap wibawa beliau jawab pertanyaanku sambil berjalan mendekati aku lantas mengambil satu manisan apel di tanganku.  “Tidak apa-apa Yah, hanya saja lukisan itu lebih menarik dari yang lain,” bergegas kumasuk ke dalam kamar sebelum ayah sadar akan ucapanku dan bias-bisa aku kena lemparan manisan apel dari ayah. “Tidak sopan kamu, jadi kamu anggap lukisan ayah lainnya tidak menarik?” menghentikan kunyahannya dan melangkah seperti menggertak ayam kearahku. Beliau memang tidak terima kalu barang koleksinya mendapat ejekan.
            Sampai di kamar, kupandangi tulisan novelku dalam layar laptopku, seakan aku masih tak percaya dengan apa yang aku alami beberapa waktu lalu. Ingin diri untuk melanjutkan tulisan, tapi ternyata aku lebih memilih untuk bermimpi. “akan aku lanjutkan esok pagi tulisan ini, aku sudah letih, aku ingin tidur. Tenang Clara, Sara akan berusaha membantumu, segera.” Kuberjalan menjauh dari meja kerjaku dan mendekat ke tempat tidur untuk selanjutnya menyatu dalam lelap.

Target Reader: dewasa


                27 September 2010

My Doughter
Kuusaikan soreku dengan duduk di bangku taman kota yang rindang. Tiba-tiba seorang gadis kecil berparas manis berlari menuju arahku. Tepat dihadapanku, kupandangi dirinya dari kejauhan dengan penuh rasa kekaguman. Rambutnya  ikal, hitam, tak terlalu panjang hanya sebatas bahunya yang mungil. Benar-benar gadis kecil yang cantik.  Semakin dekat dia padaku, semakin terdengar jelas dentuman dari langkahnya. Dia memiliki mata yang memancarkan sinar ketenangan, mata yang berwarna biru, bentuknya yang bulat semakin indah dengan kelentikan bulu mata. Tak lama mendekat padaku, dia menyergapku dengan penuh rasa kerinduan, dan memelukku sekencang tali pinggang yang aku kenakan ini. “Oh Tuhan, siapakah gadis kecil ini?” bisikku dalam hati. Kurendahkan tubuhku dan mengantarkan wajahku tepat di depan parasnya yang cantik. Kulit yang putis, mulus tanpa goresan luka barang setitik di wajahnya. “Siapa namamu manis?” aku bertanya sambil kubelai rambut ikalnya yang lembut. “Namaku Elis, Mama!” suara lembut itu memanggilku mama. Sontak membuatku terkejut dan membeku dalam diam.
Target Reader: dewasa












4 Oktober 2010

Keywords       : putus, tak bisa menerima, persahabatan
Target reader   : Remaja


            “Aku mau hubungan kita akhiri malam ini juga!”      
 Nim melangkah dengan pasti tanpa menoleh kepadaku dan meninggalkanku dalam kesendirian di tengah dinginnya malam ini. Sedetik itu pula air mataku berlinang di tengah kebingunganku mencari alasan apa yang mendasari dia hingga terucap kata berakhir atas hubungan yang telah sekian lama kita bina, dan selama ini berjalan baik-baik saja.
Tanpa kuantar kepergiannya dengan pandanganku sekalipun. Kuberpaling berlari sekencang yang kumampu dan masuk ke kamar kosku. “Brengsek!” Kata itu yang menghantarkanku mendobrak pintu, jatuh ke tempat tidur dan menangis sekencang mungkin. Mulutku komat-kamit bergumam menghujat Nim, lelaki yang selama ini mengerti akan hidupku. Lekaki berpostur ideal dengan tinggi semampai, kulit putih bersih, dan mata coklat yang tidak dapat kulupakan hingga detik ini yang penuh amarah sekalipun. Lelaki yang teramat sangat aku cintai dengan kebaikannya, pengertiannya, dan malam ini meninggalkan aku begitu saja dengan kata putus.
            “Zye, ada apa, kenapa kamu menangis seperti ini, cepat ceritakan kepadaku?” Mia teman dekat sekaligus teman kosku, menghampiriku dengan penuh kekhawatiran. “Nim brengsek, tanpa alasan yang jelas tiba-tiba saja dia memutuskan aku!” dengan nada bicaraku yang semakin meninggi kusibak semua barang dihadapanku dan membuat barang-barang itu terlempar keras menabrak barang lainnya dan berjatuhan. ”Tenang Zye tenang!” Tangan Mia menggapai tanganku dan memelukku erat. “ Semua pasti ada jawabannya, dan dibalik ini juga pasti ada makna. Kamu harus bisa mengendalikan dirimu, kamu harus bisa Zye!” nada bicara Mia yang lembut namun kuat telah berikan aku sedikit ketenangan. Napasku tersengal-sengal ketika aku berhenti bicara. Mia melepaskan pelukannya setelah merasakan emosiku sedikit menurun, dengan genggaman tangannya di kedua lenganku, mengarahkan tatapannya tepat di mataku. Muncul aura ketenangan yang terpancar dari matanya. “Tidak, aku akan membiarkan ini begitu saja, aku akan mencari alasan sebenarnya, pasti ada wanita lain. Jika benar itu yang terjadi, shit! Aku tidak akan diam diri, aku akan membalas sakit hatiku. Ach…..!!!!” Seketika tingkahku semakin menggila, kuberlari menjauh dari Mia dan mengobrak-abrik semua barang dikamarku.
“Zye!” Mia menamparku dengan kuat lewat tangannya yang mungil dan lembut. Aku terjatuh lemas, dan melanjutkan tangisku dengan pandangan kosong. Aku tidak merasakan panasnya tamparan Mia di pipi kiriku, aku hanya merasakan kasih sayang seorang sahabatku ini. Lalu Mia mengantarku ke atas tempat tidur. “ Maafkan aku, aku tidak tega melihatmu seperti ini. Tidurlah, akan kita cari penyelesaiannya besok. Aku akan menemanimu sampai kamu terlelap dan terbangun.” Aku rebahkan tubuhku di atas tempat tidur dan Mia mengambil selimut yang tergeletak di atas lantai bersama barang lainnya, lantas menyelimutkannya padaku. Aku benar-benar lelah dan tubuhku menuruti apa yang Mia pinta.


           














11 Oktober 2010
Imajination

ZIVERIALUS

            “Apa yang sudah terjadi padaku? Ada dimana aku sekarang?” Aku terbangun dalam pingsanku yang terasa sangat lama. Bingung setengah mati setelah kulihat sekelilingku penuh dengan pepohonan menjulang tinggi. “ Apa yang aku injak ini?” tanah ini dipenuhi oleh rumput dan tumbuhan perdu berwarna emas. Saat kulihat baju yang aku kenakan penuh dengan butiran-butiran serbuk emas, begitu pula dengan kedua tanganku.
            Tiba-tiba kepalaku terserang sakit yang teramat sakit, bagai pisau yang menusuk otakku. Seketika itu pula aku terbawa pada dimensi lalu pada kejadian kecelakaan dasyat yang aku alami di tengah perjalananku menuju rumah sepulang dari tempat kerjaku. Kendaraan yang aku kendarai menabrak bus dengankecepatan t oinggi hingga akuu masu ke dalam jurang yang sangat dalam di bahu Jalan Raya Elbrus. “Tidak!” aku kembali kemasa kini dalam kesadaranku dan mendengar suara aneh yang membentuk melodi lembut. “Zi..wa ..ze..a..zi..zua..” suara itu semakin jelas semacam mantra yang terurai sangat lembut.
            “Kau berada di lembah Ziverialus,” satu suara muncul dan terdengar cukup jelas di telingaku. “Siapa kau?” aku bingung mencari sosok dalam suara itu. “Tenang, kami tidak akan menyakitumu.” Suara lainnya muncul menyebar membentuk satu kalimat. Aku terjatuh an merngkak mudur berusaha menghindari suara itu. “Siapa kalian?” aku berteriak dan memecahkan sepinya hutan dan mengejutkan burung-burung hingga beterbangan.
“Kamilah perdu dan rumput yang ada di sekelilingmu.”
“Kamilah Ziverialus,” suara yang lain muncul.
            Aku semakin tidak percaya dengan apa yang terjadi disini. Ada sekuntum bunga yang muncul dari kumpulan perdu itu dan terbang menghampiriku.
“Kamilah yang telah menyelamatkan nyawamu dari kecelakaan maut itu.”
“Ach, jangan membuat aku menjadi gila!” kokohku pada kemustahilan yang ada di hadapanku.
“ Ini kenyataan gadis cantik,” bunga itu berputar mengelilingi kepalaku.
“Kami bukanlah tanaman biasa, kami memiliki kekuatan yang sangat besar untuk dunia.”
“Dan aku adalah Ji, gadis muda berumur 18 tahun yang terlahir dari keluarga sederhana di Desa Egcho, dan aku ingin pulang sekarang.
“Tidak sekarang Ji, kamu harus membantu kita!” kata sekuntum bunga Ziverialus.
“Aku tidak akan bias membantu kalian, aku tidak punya kekuatan apapun untuk membantu, dan kalian seharusnya tidak membutuhkan pertolongan siapapun dengan kekuatan yang kalian miliki.”
“Kamu memiliki hati yang tulus dan suci, itu yang kami butuhkan.” Kata perdu dari sudut kiri.
“Kami membutuhkan kekuatan tambahan untuk menjaga bumi.” Sekuntum bunga itu terbang di sisi tangan kananku dan berdiam di hadapanku.
            Ketika aku langkahkan kaki kananku, aku merasakan tubuhku ringan. “Aku terbang!” aku tercengang seketika.
“Kami akan berikan kekuatan kepadamu, jika telah sempurna kami mentransfernya, kami akan mempersilahkan kau untuk pulang.”
“Ayunkan saja jarimu dengan apa yang kamu suka,” tukas perdu.
            Kutunjuk batu berukuran sedang, dan kubatin untuk berubah menjadi seekor burung nuri berekor panjang membentuk bunga teratai. Dan berubahlah menjadi burung yang aku bayangkan. Kuarahkan pandanganku pada batang pohon tak berdaun, dan aku bayangkan tumbuh buah-buahan di setiap batangnya yang mati. Dan semuanya terjadi.
            Keajaiban yang lainnya muncul, hingga dating saat mereka untuk melepasku dan menyerahkan tugas besar itu kepadaku. Dan aku kembalu ke rumah dengan keadaan sehat dan kekuatan yang luar biasa hebat.



Target Reader: Umum/ dewasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar