Alur Yang Salah
Seperti harus berkelana jauh jika ingin mengenalimu
Meraba setiap jengkahan mayat yang berserak
Menata kotak – kotak emas di dalam kurungan putih
Lalu membawanya menyusuri lembah kehidupan
Sungguh tragis cerita kemarin sore
Meratapinya saja kurang nikmat
Sedikit menyenandunginya dengan cacian mungkin melegakan
Apa yang sebenarnya ada dibenakkmu kala itu?
Menoleh kebelakang tak mau..
Menatap kedepanpun tak sanggup
Aneh benar kau ini
13 September 2010 ; 00:58
Tolong Sakiti Aku
Untuk kedua kalinya aku berbincang dengan orangtua kandungku. Pertama kalinya ketika aku masih berumur empat tahunan dan hanya seberkas ingatan lalu di benakku tentang mereka. Detik bergulir dan angin bersenandung indah hingga tak kusadari sudah delapan belas tahun aku ditinggalkan keluargaku. Entah aku yang ditinggalkan..atau aku yang meninggalkan. Sampai detik ini aku belum menenukan jawabannya dsn aku ingin menanyakannya nanti. Aku bertemu mereka kembali karena orangtua angkatku pergi meninggalkanku dalam insiden tragis kala itu. Argh..aku tak mau mengingatnya!! Lantas saja keluarga orang tua angkatku "mengembalikan" aku kepada keluarga kandungku tanpa berpikir panjang, karena mereka beralasan tidak mempunyai cukup biaya untuk merawatku.
Namaku Keila. Keila Saharani. Keluarga angkatku dulu memanggilku dengan panggilan Ara. Tapi keluarga kandungku lebih senang memanggilku Rani. Baiklah aku terima, toh itu juga namaku. Ternyata aku memiliki dua saudara kandung. Kakakku bernama Jian Maharani. Nama belakang yang hampir sama denganku. Sedangkan adikku bernama Paulo Cartos. Entah kenapa namanya seperti orang mancanegara. Bahkan aku tak cukup berani hanya untuk sekedar bertanya padanya. Ya Tuhan..
Suatu pagi kak Jian mengajakku untuk menemaninya belanja. Aku pikir dengan sering melakukan kegiatan bersamanya, aku akan lebih cepat akrab dengannya. Tapi dugaanku salah. Ya, kami memang bersenang-senang bisa keluar bersama dan sedikit menghamburkan uang di Mall ternama di kota Jakarta. Aku melihat kerinduan di wajah kakakku ini. Hingga aku merasa terakui sebagai seorang adik. Namun,bagai tersesat dikerumunan gembala. Aku merasa canggung.
Sepulang dari belanja bersama kak Jian, aku tercengang ketika sampai di rumah. Suasana di rumah begitu “mencekam”,bahkan sejenak membuat bulu kudukku berdiri. Aku tidak mengerti kenapa bisa begitu. Setelah beberapa menit aku terdiam dan hanya mendengarkan nyanyian mulut ibu kandungku yang sedang memarahi kak Jian, aku baru menyadari kalau ibuku tak suka melihat anaknya pergi menghabiskan waktu dan uang dengan seenaknya. Oke,aku memang salah. Eghm..bukan! Aku dan kak Jian yang bersalah. Kami berdua cukup bersenang-senang tadi dan kami memang lupa daratan kalau sudah shopping. Beberapa cacian dan sangkalan terlontar dari mulut keduanya. Suasana panas semakin memuncak karena Paulo mencoba memberikan informasi-informasi buruk tentang Mall yang kami datangi tersebut. Dia bilang kalau kak Jian selalu bertemu dengan laki-laki paruh-baya disana. Sebentar! Kenapa adikku justru memfitnah kakaknya sendiri? Ah..aku memang belum begitu mengenalnya.
Ibu semakin marah ketika kak Jian berbohong mengenai pengeluaran dari credit cardnya. Ibu mengambil dompet kak Jian dan menemukan struck belanjaan kami tadi. Terjadi perang lidah di rumah baruku itu dan aku hanya menjadi patung di dalamnya. Kak Jian menangis sampai terisak-isak dan air matanya bercucuran membasahi pipi halusnya. Aku bisa merasakan jeritan hatinya ketika ia menatapku sambil terus terisak. JEDEEER!!! Seolah mendapat tamparan yang keras ketika tatapan mata itu seolah-olah menginginkan pembelaan dari mulutku. Tapi apa yang bisa kulakukan untuknya? Rasanya mulutku ini terkatup dan terkunci begitu erat. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut ini. Ya Tuhan..apa yang sedang kulakukan? Teganya aku menghianati ketulusan seorang kakak yang hanya ingin “lebih” mengenal adiknya sendiri. Apa yang harus kulakukan untuknya? Aku ingin sekali menjelaskan kejadian yang sebenarnya kepada ibu dan adikku, bahwa kami hanya jalan-jalan dan memang sedikit menghamburkan uang. Tapi kami tak menemui laki-laki paruh-baya yang dimaksudkan oleh Paulo tersebut. Sumpah!
Begitu banyak jilatan angan dan alasan yang ingin kusampaikan kepada ibu dan adikku. Tapi lagi-lagi aku hanya membisu. Lalu dedaunan pun berbisik.. Hey! Kenapa ibu tak memarahiku? Kenapa Paulo hanya melimpahkan tuduhannya terhadap kak Jian saja? Kenapa tidak padaku juga? Ya Tuhan..tolong jelaskan sedikit saja apa yang seharusnya kulakukan untuk kakakku? Aku tak kuasa menahan tangisku ketika asbak di meja tersentak dan isinya berhamburan di lantai. Sementara kak Jian hanya terisak dan terisak. Aku tak berani menatap kearah mereka. Aku telalu takut membayangkan kalau inilah keseharianku nanti. Aku bertanya-tanya,kenapa Tuhan menyatukan kami kembali. Begitu banyak angan yang berkecamuk di otakku. Dan aku tersentak ketika kak Jian berlari kearah kamar dan mengambil tasnya. Ketika melewatiku, dia berhenti sejenak dan berbicara lirih di depan wajahku, “ Kenapa kamu ini?” dengan nada miris, tiga kata itu telah menghujam hatiku. Sakit. Hanya sakit yang kurasakan. Air mataku semakin deras mengucur ketika kak Jian pergi meninggalkan rumah. Ya Tuhaaaan..aku ingin menjerit! Aku ingin mendendangkan beberapa serpihan doa dan menyampaikan perasaanku terhadap kak Jian, bahwa aku ingin sekali menjadi dirinya. Aku ingin sekali dicaci-maki atau bahkan ditampar ibuku sendiri. Aku ingin merasakan fitnahan adik kandungku. Aku ingin merasakan betapa tak ada pembelaan dari siapapun bahkan dari ayahku yang dari awal hanya “menonton” saja. Aku ingin ada di posisimu,Kak! Aku ingin mereka mengakui bahwa aku adalah bagian dari keluarga mereka yang juga patut di salahkan atau bahkan dihukum. Bukan hanya didiamkan saja seperti dedaunan gugur yang tak pernah disapu.
–end—
27 September 2010 , 03:13 am
Monster Rapuh
Berlari secepat kilatlah hal yang bias kulakukan pagai ini. Jam menunnjukkan pada pukul tujuh lebih enam menit. Sedangkan jadwal kuliahku pada hari ini adalah jam tujuh tepat. Karena jarak antara rumah kostku dengan kampus hanya berjarak seratus meter saja,maka aku memutuskan untuk berlari. Sesampainya dikampus, benar saja ruang kelas mata kuliah yang ku tempuh sudah sangat senyap bagai dipekuburan. Terang saja, dosen yang menurut kakak tingkat adalah dosen terkiller sudah berada di tempat peraduannya. Sejenak ku hembuskan nafas dan perlahan-lahan kubuka pintu kelas. Deritan yang ditimbulkan pintu tersebut telah memapahkan berpuluh pasang mata menatapku. Belum sempat ku selesaikan salamku, beliau sudah memotongnya dan berucap, “Kalau saya sedang membacakan absensi,anda boleh memasuki ruangan. Tapi jika saya sudah menyelesaikannya, lain kali anda harus angkat kaki dari ruangan ini. Mengerti?” Ungkapnya langsung kepadaku. Dan reflek saja kujawab, “Mengerti,Pak.” Langsung saja aku berjalan pada tempat duduk dekat sahabatku, Isti. Lalu ia mencubitku sambil berbisik, “Dosen killer nih,say.” Ungkapnya.
Fiiuh..untung saja namaku baru beliau sebut ketika pantatku baru berkenalan dengan kursi. Kakiku masih terasa bergetar dan jantungku serasa mau jatuh dari tempatnya melihat sosok dosen baruku ini. Sebenarnya penampilan beliau biasa saja, bukan dengan kumis garang atau berbadan kekar. Melainkan hanya sosok laki-laki lansia,yang bahkan tanggannya saja sudah bergemetar,dan dandanannya yang sangat nyentrik. Beliau mengajar dengan memakai sepatu pantofel yang bergaya anak muda zaman sekarang, walaupun dari raut mukanya sudah terlihat seperti kakekku yang berada dirumah.
Sepintas yang kutangkap dari beliau adalah seorang dosen lansia yang tetap memperjuangkan tujuan dan hakikat seorang dosen seharusnya,yaitu membagi ilmu. Tapi entah kenapa image killer yang melekat padanya dari tahun-ketahun. Namun setelah kuperhatikan lebih jauh mengenai beliau,mengenai cara mengajarnya,disinilah baru kutemukan jaaban dari pertanyaan awalku tadi. Dengan memberikan doktrin-doktrin yang sedikit ekstrim,menurutku,pantas saja beliau mendapat predikat seperti itu.
27 September 2010
Emosi Sesaat
Terdengar suara adzan berkumandang disiang yang terik kala itu. Ada beberapa anak manusia yang berbondong menuju mushola di sebuah pelataran kampus tersebut. Salah seorang diantaranya terlihat sibuk dengan handphone ditanggannya. Sempat terjadi insiden menabrak pagar mushola karena dia hanya berkonsentrasi pada benda yang ia pegang,selain memang badannya yang tambun. Tapi ia tak memperdulikan gelitik tawa dari teman-temannya. Sesampainya diteras mushola, mimic wajahnya berubah berubah sangat drastis dan tiba-tiba saja ia mengumpat.
“Sialan! Berani-beraninya sih anak baru itu mengomentari kinerja kita selama kepengurusan setahun ini!” dengan wajah geram ia tetap mengotak-atik handphonenya.
“Ada apa sih,Moy?” Tanya Roni menanggapi.
“Masa anak baru itu sudah berani mengkritik kinerja kita. Lihat saja nih di status facebooknya. Banyak kata-kata menyindir atau bahkan menghina kita!” Terang Moaya dengan nada meluap-luap sembari memberikan handphone miliknya kepada Roni. Dan dengan lantang, Roni membacakan status facebook orang yang dimaksud.
”Aku berjalan-jalan sore dengan sepeda motor buntutku. Tapi belum saja seratus meter berjalan, motorku tiba-tiba ngadat dan dari knalpotnya berbunyi, ‘Bem..Bem..Bem’.Lantas saja aku langsung menginjak pedal rem,dan berbunyi.. ‘shit..shit..shit’ Namun kulajukan lagi motorku dan tetap berbunyi..’Bem..Bem’. Lalu kuinjak pedal remnya sekali lagi dan terang saja menimbulkan suara yang lebih kencang..’Bem shit..Bem shit..Bem shit’. “
Selesai membaca status anak baru tadi, Roni yang tadinya lempeng-lempeng saja, tiba-tiba berubah menjadi geram,seperti halnya yang menjangkiti Moaya sedari tadi.
“Kurang ajar itu anak! Mau cari gara-gara saja sama anak BEM. Kalau memang bernyali, jangan Cuma di facebooklah! Sini gue jabanin!” Kata Roni kepada Moaya. Namun tiba-tiba ada suara yang membuyarkan kemarahan Moaya dan temannya.
“Mbak, mas..ini adalah sebuah mushola. Anda-anda ini bukannya sholat,malah marah-marah disini. Suara anda itu bisa mengganggu para peribadat yang ada disini.Tahu tempatlah!” Ujar ibu tua dengan suara paraunya yang juga sedikit beremosi.
“Eh,iya..maaf,Bu. Kami memang salah,maaf..” Kata Moay dengan menundukkan kepalanya karena hanya kata-kata itu yang dapat ia ucapkan. Dengan wajah yang masi mengkerut, si ibu bersuara parau tadi berjalan meninggalkan mereka yang masih malu. Dan ketika mereka masih termenung melihat kepergian ibu tersebut, tiba-tiba ada suara lagi yang membuyarkan lamunan mereka.
“Maka dari itu saya sampai menulis status seperti itu di facebook,mbak..mas. Tolonglah..sebagai seorang pengurus BEM, anda-anda itu haruslah memiliki attitude yang baik,karena bagaimanapun juga anda adalah penyalur aspirasi kami semua,panutan bagi kami. Tidak sepantasnya lah perilaku yang tidak baik para personalnya membuat nama BEM menjadi buruk. Maaf jika kata-kata saya ada yang salah. Saya hanya mahasiswa yang ingin melihat BEM menjadi lebih baik lagi.” Dengan sikap lugas, anak muda berperawakan jangkung tersebut meninggalkan area mushola dengan langkah pasti. Dan untuk kedua kalinya, Moaya dan Roni hanya bias termenung menghadapi kritikan yang dating bertubi-tubi tersebut.
04 Oktober 2010
Selubung Dendam
Inilah kali pertamaku menginjakkan kaki di pelataran kampus baruku. Hal pertama yang kutangkap dari gerbang masuk adalah kesan mistis. Sempat terdengar kabar kalau fakultas yang sekarang ada dihadapannku ini sangatlah angker. Dan memang sangat jelas tergambar dari bangunan tua yang sebagian besar temboknya berlumut dan lembab. Jengkah demi jengkah kakiku menimbulkan suara berisik karena banyak dedaunan yang entah sengaja atau tidak berserakan dimana-mana.
Sempat terfikir olehku baha aku salah dalam memilih tempat belajar. Karna hal yang kuharapkan, jelas suasana yang nyaman dan asri agar apa yang ingin kugapai bias benar-benar tercapai. Namun kenyataannya situasi yang kuhadapi disini sangatlah kaku. Bahkan hal ini tidak hanya menjangkiti tempatku berdiri saja. Tetapi juga pada makhluk-makhluk yang ada didalamnya. Semua membuatku bergidik. Dari adanya hewan malam,seperti kelelawar yang bersarang diruang kelas paling ujung dekat tangga,sampai pada manusia-manusia yang ada disni,menurutku semua terasa janggal. Tapi tak mungkin aku mundur begitu saja tanpa tahu “isi” yang sebenarnya dari rumah baruku ini.
Seminggu sudah,tubuh dan otakku berada ditempat ini. Namun tetap saja otot-ototku terasa masih tegang. Bagaimana tidak,di dalam ruang kelas mata kuliah yang kutempuh, tak seorangpun yang benar-benar bersahabat. Dikursi pojok deretan paling belakang, ada sosok pria jangkung dengan eambut yang tak tertata rapid an sangatlah pendiam.Didepannya, duduklah seorang wanita berambut panjang sepunggung dengan banyak sekali aksesoris di pergelangan tangannya. Disebelah kiri wanita itu, ada sosok yang diam-diam selalu memperhatikannku sejak beberapa hari kemarin. Entah hanya perasaanku saja atau memang dia yang tak suka dengan styleku yang rapi ini. Kupikir,dengan sedikit jambang yang ada dikedua pipiku ini,cukuplah wajar dan tak mungkin membuat orang berlarian kan? Postur tubuhku juga cukup ideal untuk ukuran laki-laki berumur duapuluhan. Namun entah apa yang ada di benak sosok perempuan bertindik dibagian hidung mungilnya itu,sehingga membuatnya menatapku dengan mata sipitnya. Dengan ruangan dan jumlah orang yang tak terlalu banyak,jelas saja aku mampu memperhatikan satu-persatu diantara mereka.
Suatu ketika perempuan bertindik yang baru-baru ini kuketahui namanya Sheila itu menghampiriku dan berkata, “Bersiaplah berdomisili disini selamanya. Dan persiapkan mentalmu dengan benar!” Lalu ia berlalu meninggalkanku yang masih termenung demi mencerna kata-katanya. Dan mennurutku,dia itu sakit jiwa!
Selama sebulan aku menimba ilmu di bidang arsitektur iitu,sempat terdengar desas-desus mengenai kebudayaan yang melekat didalamnya. Salah satunya adalah jika mahasiswa strata satu atau S1 biasa lulus dengan waktu normal empat atau empat setengah tahun,tetapi di fakultas ini sebagian besar mahasiswanya lulus dalam jangka waktu tujuh sampai delapan tahun. Dan sebagian lagi benar-benar tidak dapat “meluluskan” diri karena gila. Entah kenapa hal itu bias terjadi. Salah satu penyebab yang sempat kudengar adalah jika setiap tugas yang sudah terselesaikan,dalam hal ini adalah pembuatan maket atau miniatur rumah maupun bangunan,sebelum mendapat nilai dari dosen,pasti mengalami kerusakan atau bahkan hancur. Kepercayaan yang melekat disini adalah adanya kesalahan tingkah laku mahasiswa itu sendiri yang tak disukai oleh “penghuni tetap” atahu hantu di fakultas ini. Konon ceritanya, ada mahasisa semester akhir yang di drop-out karena ketidaksanggupannya membuat maket,berhasil bunuh diri dilantai tiga gedung lama,yang sekarang berubah menjadu ruang lab maket. Setiap kali ada maket-maket baru yang misalnya warna atau bentuknya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh hantu tersebut,keesokan harinya maket itu akan hancur dan bahkan hilang. Tanpa ada penjelasan yang logis,dosen-dosenpun tidak mau menerima bantahan dari mahasiswanya.
Sempat terjadi protes yang berujung dalam demonstrasi kalangan mahasiswa yang menuntut ketidakadilan tersebut. Namun dari pihak fakultas hanya memberikan pengadaan kamera tersembunyi atau yang sering dikenal dengan sebutan CCTV didalam ruang lab tersebut. Namun anehnya,setiap bulan ketika maket-maket itu sudah saatnya dikumpulkan,ada saja yang melapor kehilangan atau kerusakan fatal pada hasil kerjanya.
Hal ini sangat kusayangkan, karena menurutku,kejadian-kejadian janggal tersebut seharusnya tidak diasngkut-pautkan dengan mitos tidak jelas yang bahkan pengatasnamaan hantu sebagai tokoh perusak maket-maket mahasiswa tersebut. Sungguh tidak masuk akal dan sangat tidak rasional. Ketika antisipasi datang dari sisi keamanan,para satpam-satpam pun tidak ada yang mengetahui kenapa hal itu bisa terjadi.
Setelah kutempuh semester satu dan duaku,tercatat ada enam mahasiswa yang maketnya hilang,sembilan orang yang pekerjaannya rusak dan satu orang yang terdrop-out. Sebenarnya ada apa ini? Dengan akreditasi yang baik,seharusnya kampus ini bisa menjamin keamanan dari karya mahasiswanya. Bukannya malah setiap tahun semakin bertambah tingkat kecurangannya. Ah..hal ini sih bukan hanya masalah kecurangan. Tapi sudah mengarah pada tindak kriminal. Ya,kriminalitas didalam kampus.
Mungkin sebagai mahasiswa baru,aku belum merasakan betapa susahnya membuat maket. Karena baru pada semester lima-lah pengaplikasian desain rancang bangun tersebut ditempuh.Namun sudah bisa kubayangkan betapa rumit dan sulitnya proses pembuatan sebuah rancangan pola bangunan. Pantas saja banyak mahasiswa ‘aneh’ yang ada disini.Mungkin sangking stresnya mereka memikirkan konsep apa yang akan dibuat sehingga menimbulkan jiwa-jiwa penyendiri dan bahkan individualistik.
Ah? Kalau begitu..bisa saja penyebab rusaknya kebanyakan maket-maket siap presentasi itu,karena ulah mahasiswa bertangan jahil,yang tak ingin melihat temannya sukses dalam proses penilaian nantinya.Ya,bisa saja hal itu terjadi. Tapi jika memang benar,kenapa tidak ada bukti otentik dari CCTV yang sudah terpasang dibeberapa sudut ruangan lab tersebut? Tak satupun yang merekam gambar sang perusak atau pencuri maket-maket tersebut. Akankah ada permainan orang dalam disini? Tapi apa tujuannya? Bukankah pihak fakultas akan sangat bangga jika ada mahasiswanya yang berprestasi dan menghasilkan rancangan spektakuler dari maket-maket tersebut? Menurutku hal ini sangatlah janggal.
Kujalani hari-hariku dengan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dikampus yang sudah mulai kucintai ini. Dengan bantuan beberapa kakak kelas yang mempunyai pemikira sama denganku,kami mulai menginvestigasi gerak-gerik setiap orang yang ada disini. Dari latar belakang tiap individu,kami memulai menerka penyebab-penyebab yang menimbulkan kecurangan itu terjadi. Tidak hanya dikalangan para mahasiswa,namun juga latar belakang para dosen dan staf pegawai yang ada.
Sebulan dua bulan berjalan,tidak sedikipun hasil kentara yang kami peroleh. Sheila sedikit banyak mengetahui pribadi dari mahasiswa dan dosen. Dari latar belakang itulah kami membuat garis tengah mengenai kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Ada profil seorang dosen yang killer karena sangat sulit memberikan nilai baik pada mahasiswanya. Namun hal itu terlalu dini jika dibuat sebagai acuan untuk menuduh. Sampai pada akhir semester tigaku, kuisi dengan berbagai pergumulan untuk mengetahui siapa tersangka dibalik semua ini. Hingga akhirnya aku dan Sheila memutuskan melaporkan hal ini pada dekan kami. Beliau sudah melaporkan hal ini pada pihak rektorat dan dari sana muncul statement bahwa fakultas kami memang ada yang salah. Jawaban yang bukan kuharapkan! Lalu kuputuskan untuk benar-benar mencari tahu semua ini dengan cara stand by di dalam kampus duapuluh empat jam. Awalnya Sheila tak mengizinkakku untuk melakukan hal tersebut,karena aku tak punya ijin dari pihak fakultas. Tapi jiwaku sudah benar-benar gatal segera ingin tahu siapa sebenarnya pelaku dari kejadian ini semua.
Malam pertama ketika kuputuskan untuk berjaga di gudang bawah tangga lantai tiga yang kebetulan pintunya rusak, bulu kudukku langsung saja menyeruak dari peraduannya. Kondisi gudang yang lama tak terpakai,membuatku bersin beberapa kali karena limpahan debu dari tiap sudutnya. Dengan beralaskan kertas karton yang sengaja kubawa,aku duduk dan bersandar pada balik sebuah lemari usang. Detik berganti dan semakin senyap saja kampusku ini. Ketika tengah malam lewat, mataku masih terjaga dengan harapan kutemukan siapa pelakunya.
Pada pukul tiga dini hari, ada bunyi deretan bangku dilantai atas. Kupikir aku pasti sudah kecolongan,karena sedari tadi aku tak menjumpai siapapun yang melewati tempatku berlabuh. Kutengok sedikit dari celah pintu gudang,namun tak ada tanda-tanda kehidupan disana kecuali rengekan kelelawar yang mencari makanan. Sampai aku terbangun oleh sapaan seorang perempuan yang ku kenali,Sheila. Ia membangunkanku dan menanyakan hasil apa yang kudapat dari semalam. Namun tampaknya ia pun kecewa dari raut mukanya yang cemberut. Lalu aku menjanjikannya malam nanti,aku pasti menemukan siapa pelakunya. Ia pun berlalu meninggalkanku setelah membawakanku bekal makanan. Aku memutuskan untuk tetap siaga didalam gudang walaupun sinar matahari sudah memasuki lubang ventilasi dan membuat debu-debu disekitarku nampak beterbangan.
Tak terasa petangpun tiba ketika untuk kedua kalinya aku berlari ke toilet disebelah lab. Belum sempat ku naikkan resleting celanaku,aku melihat bayangan dari arah dalam lab. Langsung saja ku urungkan niatku untuk kembali kearah gudang,yang jelas melewati depan ruang lab maket tersebut. Samar-samar terlihat sekelebat tubuh disana. Jantungku berdetak kencang ketika membayangkan sosok makhluk halus yang sering dibicarakan khalayak itu. Benarkah keberadaannya? Dag dig dug jantungku melihat bayangan dari pantulan cahaya lampu dari seberang gedung sebelah itu. Aku tak bisa melihat dengan jelas siapakah yang berada di dalam ruang lab tersebut karena lampunya yang memang setiap malam dipadamkan. Entah sosok itu serupa manusia atau benar-benar hantu penunggu kampus ini. Kembali lagi bulu kudukku berdiri dan membuat tengkukku terasa sangat dingin. Kugeserkan kakiku perlahan, mencoba mendongakkan kepala pada jendela lab yang berteralis besi itu. Mengumpulkan segala keberanian untuk mengetahui apa yang menjadi dilema para mahasiswa selama bertahun-tahun lamannya. Beberapa menit kupandangi arah asalnya bayangan tersebut, dengan mata kepala dan dengan keadaan sadar,aku melihat sosok tak asing yang sedang menjamah sebuah maket berukuran empat kali enam meter. Joko Susilo,ya benar..ia sedang mencoba merusak maket yang sudah siap presentasi itu.
Tak kusangka, seorang satpam paruh baya yang terkenal sabar itulah tersangka dari semua kejadian aneh ini. Kuberanikan diri untuk menegurnya,karena pita suaraku sudah berlomba ingin mengeluarkan cacian kemarahan dan pertanyaan-pertanyaan sintingku selama ini. Ketika kupergoki,ia langsung berlari keluar ruangan dan mencoba menutupi raut wajahnya dengan sarung milikknya. Kukejar ia ketika menuruni tangga, sampai akhirnya entah dapat dapat keberanian dari mana,aku melompat dari belokan anak tangga lantai tiga hingga menghantam tubuh ringkihnya. Kugapai sarung yang tetap ia pertahankan sebagai penutup kepalanya itu,kutarik hingga benar-benar terlepas dan kurasakan hantaman bogem tepat dipunggungku. Rasa sakit yang tiada tara menghantarkan rintihan keras dari bibirku. Lalu kulepas cengkraman lenganku pada lehernya,dan ia tersungkur menghadap tembok pemisah antara gudang dan tangga.
Ia merintih sebentar kemudian diam. Aku yang terengah merasakan punggungku yang berdenyut kencang,tak kuasa menahan tubuhku dan bersandar pada tembok anak tangga terakhir. Aku tahu ia tidak mati. Sebab ia masih mengeluarkan nafas terengah yang menggaung disepanjang lorong lantai dua ini. Tetap saja aku melakukan antisipasi akan gerakkannya yang mungkin saja akan menyerangku. Tapi tidak lama berselang,kudengar ia terisak. Ia mencoba memapah badannya untuk bangun. Dan tanpa kutanya, tiba-tiba ia memberikan penjelasan kenapa sampai ia nekat melakukkan hal tersebut selama bertahun-tahun. Alasannya sangat dramatis,karena dendam. Ya,karena dendam akan anak sulungnya yang ditolak mentah-mentah ketika berkeinginan menjadi seorang arsitek tersebut. Ia menceritakan awal mula kejadian penolakan yang dilakukkan oleh pihak dekanat lima tahun silam. Dengan alasan biaya yang kurang memadai,anak laki-lakinya tak pernah sampai menuntut ilmu di fakultas yang memberi pekerjaan padanya selama tigabelas tahun tersebut.
“Ketika hari itu berlangsung, saya pikir dengan keringanan biaya dari beasiswa yang didapat anakku, Fahmi,Pak Imam sebagai dekan kala itu bisa berlaku adil terhadapnya. Tapi tak juga ia satu semester disini, tiba-tiba surat pemberhentian Fahmi dititipkan lewat teman seprofesi saya. Sungguh diluar perkiraan saya,mas. Saya dendam!Saya dendam dengan semua staf yang sama sekali tidak memberikan dukungan terhadap Fahmi. Tidak seorangpun,mas! Bayangkan jika mas ada pada posisi saya.” Ujarnya dengan suara parau.
“Ya tapi bukan dengan cara curang seperti ini, pak. Kenapa harus mahasiswa yang menjadi tumbalmu?” tak sadar kata-kata kasar keluar dari mulut ini.
“Karena saya tidak ingin ada arsitek besar lulus dari fakultas ini! Saya bosan dengan ke aroganan yang ada disini,mas! Semua seolah berlomba menjadi yang terbaik. Tapi terbaik untuk siapa? Indonesia tidak butuh benih-benih yang ditempa dari tempat tak bermoral seperti disini!” Suara paraunya terlihat memaksa keluar dari kerongkongannya ketika ia meluapkan segala kekesalannya seketika itu. Dan ia tersedu. Menitikkan air mata kelam yang kurasa berasal dari jauh lubuk hatinya.
Aku termenung, masih tidak habis pikir akan kejadian yang baru saja kualami ini. Aku kesal, marah,bahkan benci terhadap sosok kurus dan renta dihadapanku ini. Tapi apa dayaku..ketika dihadapkan dengan realita hidup yang tak pernah adil untuknya. Mungkin jika aku menjadi dirinya,sudah kubakar fakultas ini jauh-jauh hari. Entah kenapa aku tiba-tiba justru iba ketika melihat tubuuh ringkihnya mencoba melawanku dengan sisa tenaganya tadi. Hanya karena seorang anak. Anak yang dibanggakannya menjadi ‘orang’ dikemudian hari, namun dipatahkan semangatnya oleh segorombolan jiwa berazaskan materi dan sistematika dunia pendidikan. Memang tidak adil. Tidak adil untuknya. Tidak adil untuk semua.
Malam ini,ia berjanji tidak akan menginjakkan kakinya kembali di kampus yang telah mengidupinya bertahun-tahun lamanya ini. Ia memohon kepadaku untuk tidak melaporkannya pada pihak berwajib. Dan entah mengapa,hatiku mengiyakan permintaan terakhirnya tersebut. Ia pun menjamin, tidak akan ada dirinya untuk kedua kalinya dalam fakultas ini. Dalam artian,tidak akan ada kerusakan atau kehilangan maket yang meresahkan mahasiswa selama ini. Semua terasa rancu bagiku. Sungguh aku tak mengerti apakah ini jalan yang terbaik bagi kami semua. Tapi yang pasti, ada kelegaan dihati ini yang sulit diungkapkan.
Jember, 30 Oktober 2010 ; 14:05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar