MUSIM
Ku alirkan satu demi satu
Kata bijak dalam setiap urat daun
Yang gugur dari pohon petuahmu
Harus bagaimana ku mengambil sari kata
Dari akar kata bijakmu
Bila pada musimnya ku tak peduli
Ajari aku untuk beradaptasi !
Jember, Juli 2007
MAWAR ILALANG
Musim gugur mulai tersapu waktu
Musim semi membuntuti
Sebatang mawar tampak pucat diujung cahaya
Wangi mengantuk dibawah bintang-bintang
Kelopak gugur terseret angin
Tujuh musim telah berumur
Bersama penantian berburu janji
Berdiam disudut kata dan mengenang kata
Sunyi . . . .
Sepi . . . .
Sendiri . . . .
Semua mengaum dalam melodi tujuh musim
Waktu pun tertumbuh jamur
Sang Kala menjadikannya berwajah ilalang
Jember, Oktober 2008 11:30 am
ILUSI INGIN YANG MEMALUKAN
Ingin sekali bermalam di kotamu
Mendongeng diatas kata dibawah rasa
Menghadapi secangkir teh suam-suam kuku
Bertukar rasa yang hilang dalam taruhannya
Menjadi fosil yang mengabadikan waktu
Ingin sekali . . . .
Tidak, aku berhenti
Aku tak ingin
Tapi, aku sungguh ingin
Aku ingin sungguh
Akh . . .
Ilusi memalukan
Jember, september 2009
KACAU
Pecahan-pecahan hasrat kian berserakan
Berdesak-desakan menimbulkan bunyi
Memekakkan telinga
Mengalun kidung kebangsaan zaman
Terlalu naif untuk terheran
Semua hendak berbaring dalam kekuasaan
Meniduri anugerah yang menyesatkan
Keintelektualan mereka hanya wujud semu
Di balik jiwa-jiwa yang diagungkan
Kehormatan mereka tertinggal dibelakang
Mengejar bayang-bayangnya yang kian pupus
Semua melompat-lompat
Menelanjangi diri
Jember, Desember 2009 08:30 am
SEPOTONG MEMO MENJELANG PETANG
Selalu saja
Ku temukan kata-katamu
Pada waktu yang terselip manis
Menggorogotiku dengan urat-urat rasa
Selembar angin yang menyeret bau tubuhmu
Membaurkanku menyelinap kedalam nafasmu
Aku pun terdesak didalamnya
Ku biarkan saja semua raib
Diatas meja perjamuan
Bersama ekstase disetiap sudut katamu
Sepotong memo menjelang petang
Telah menjadi ranting kering
Yag menembus selaput-selaput otakku
Suaraku lembap
Aku pun menguap pada pesan yang sampai tak sempurna
Dan diujung mulut goa yang selalu menelan hijrahan kata-kata
Aku berbaring dibalik hamparan kata-kataku sendiri
Jember, September 2009
ELEGI
Langit malam itu seakan menindihku
Bumi seakan pula menggulingkanku dari permukaannya
Alam yang mencoba menyelamatkanku
Menyembunyikanku pada laci kecil dikamar sang orator
Memberi sekat antara mungkin dan tak mungkin
Malam itu mendamparkanku pada semesta yang tak pernah ku kunjungi sebelumnya
Memukul dadaku dengan gelombang ungu pekat
Melubangi tepat pada pusarannya
Aku dijajah oleh berbagai tanda tanya
Membusukkan daging yang ada disekitarnya
Mencipratkan darah-darah pilu
Kemudian mengering membentuk relief pada permukaan tanah
Jember, Desember 2009
INSIDEN KEPERGIAN 24 JAM
Aku buka pagar rumah yang baru semalam ku tinggalkan. Tangisan hangat dari para edelwis, kenanga, mawar, melati, seruni, kamboja, lumut sekalipun menggelegar mengalun elegi. Isaknya sayup-sayup ku dengar. Batu-batu dan kerikil berlari menarik tanganku sambil lalu mengusap butiran bening yang semakin mengarus.
Semuanya terasa menyimpan cerita-cerita besar saat semalam ku tinggalkan.
Ku benamkan kunci pada lubang yang sudah semalam menunggunya. Tanganku bergidik karena dinginnya. Ternyata selama 24 jam tak ada yang menyentuhnya.
Aku ucapkan salam yang kemudian disambut oleh ledakan euforia kursi, meja, hiasan dinding, dan perangkat lainnya. Bahkan sisa secangkir kopi kemarin pagi yang yang warna dan baunya seperti potret kemarin turut menyambutku. Semua menyambutku dengan sisa kesedihan yang menjelma menjadi bunyi pistol yang memecah sunyi. Tatapku hanya menemukan tembok yang paling tegar, kokoh mengakar dalam kesedihannya.
Kemudian pandanganku terhenti pada lima ekor ikan hias yang masih terisak disetiap sudut ruangannya. Suaranya hampir tak terdengar kecuali gerak sirip dan insangnya.
Jember, Januari 2010
TIGA TANGKAI MAWAR DAN SEPOTONG COKELAT
Sudah sepekan ini bintang-bintang menggodaku di balik atap rumah
Mengedipkan cahayanya sambil tersenyum bening namun terasa dingin
Ku lihat pantulan sejumput asa yang menggantung ragu di ujung cahayanya
Sebaris asa berarak-arakan yang kemudian menjelma siluet sepintas lalu
Seorang anak kecil tergesa-gesa menyodorkan cappucino
Aku lihat kepulan asapnya masih begitu segar memayungi
Disertai tiga tangkai mawar tak berwarna
Disematkan pula sepotong cokelat dengan brand Jerman
Ku pandangi diriku sendiri ditengah-tengah tatapan manisnya
Di perjamuan malam diatas petak-petak rumah
Seolah-olah menayangkan album setahun terakhirku ini
Aku tak peduli dengan tegas tangkasnya suara
Menyuruhku meninggalkan lamunan hangat
Aku baru peduli ketika tetesan air hujan membuatku kedinginan
Jember, Januari 2010
EKSISTENSI RASA
Menyeruak dalam potongan-potongan waktu
Menciptakan premis-premis yang tak bisa untuk serupa
Substansi-substansi yang begitu berantakan
Tumbuh dalam keambiguan liar
Metaforis-metaforis tak bermakna
Singgah begitu saja
Eksistensi rasa dalam sedetik
Menjajahku dalam periodeisasi waktu
Kini, pada masa yang tersisa
Aku menuntutmu untuk tak seperti kau menuntutku
Jember, Februari 2010
TAK ADA KATA TAK ADA SUARA
Dalam setiap tak ada kata, tak ada suara
Ada sesuatu yang berbicara dengan bahasanya sendiri
Huruf-huruf menganyam makna
Berputar mengelilingi kehampaan
Dalam setiap tak ada kata, tak ada suara
Ada jiwa yang keberadaannya menjadi kata
Tersuarakan dalam relung kosong
Tapi, nyaris tak terdengar
Dalam setiap tak ada kata, tak ada suara
Ada pesan tersirat tersampaikan
Melalui celah-celah sempit hari
Menjelma menjadi makhluk bernyawa
Dalam setiap tak ada kata, tak ada suara
Aku menjadi kata itu sendiri
Hanya kesunyian yang nantinya akan terdengar
Jember, Maret 2010
SUARA MEREKA
Suara mereka,
Bak dentuman yang membunuh setiap kedamaian
Mengerutkan wajah melenyapkan senyum
Liar mengudara mengabur pandang
Suara mereka,
Hitam memuakkan
Melenyapkan tawa dengan segera
Menghidupkan gelap yang dulu berbaring dalam peti
Suara mereka,
Lebih hina dari gonggongan anjing dijalan-jalan pasar
Tak ada seni, yang ada hanya degradasi moral
Suara mereka,
Keluar tanpa melalui rasio
Etika hilang dalam setiap huruf
Suara mereka,
Krisis moral yang jelas
Jember, Maret 2010
DALAM KOTA SOREMU
Aku terperangkap dalam kotamu
Ku telusuri setiap pintu yang ku tahu sudah terkunci
Bukan berarti untuk pergi
Hanya berusaha mendapatkan pagi, siang, dan malam yang hilang dalam kota soremu
Bukan berarti pula tak nyaman
Hanya saja ingin tahu kemanapergi tiga kala itu
Kini, aku sudah cukup nyaman dalam kotamu
Sorenya selalu menyajikan sapu tangan jingga keemasan
Menyala hidup dalam ruang-ruang doa
Aku pun tak terlalu berbangga dengan pagi, siang dan malamku sebab
Dalam tubuh pagi selalu saja pujian-pujian datang terlambat
Dalam penampang siang selalu saja terbuai lentik mimpi
Dalam semesta malam, waktu lenyap dalam kelalaian semata
Tapi, dalam soremu
Aku selalu bisa menggali harapan dalam doa
Dan sekarang,
Aku hanya ingin berada dalam kota soremu
Jember, Maret 2010
TENGOKLAH AKU
Cahaya yang menetes kuat
Dari kedua bibirmu
Membuatku bergidik tak berdaya
Seluruh pori-pori teresapi air liurmu
Urat kaki tersangkut kala
Jiwa mengembara dalam muramnya asa
Raga layu memilukan
Mencari oase dalam kerontangnya hidup
Tengoklah aku kini
Diujung duri kaktus
Dibawah pucatnya rembulan
Jember, April 2010
DIK
Rambut terikat dua, mengenakan rok dibawah lutut
Mengejar senja yang kian mencanda
Ceburkan jingga
Dalam lubuk matanya yang dalam
Menghirup keringat
Yang membuat terkikik nyaring
Semaikan asa
Dalam penampang sore
Celoteh mengalun manja
Di depan telinga
Bersahut-sahutan dengan gaungnya
Saat memanggilku
Semua itu masih terekam
Berikut dengan senja yang mengguruinya
Hingga esok hari
Akh, begitu cepat senja itu pupus
Begitu pula dengan kerinduan ini
Jember, Juni 2010
DOA
Membilang pesan yang hendak dibilang
Dari ladang pagi yang ku jadikan sebagai permulaan merekahnya
Ku keluarkan dari rahim sang petang
Takkan terjamah dan takkan
Meski nantinya menjelma sajak pada tubuhmu
Hangus terbakar oleh suara yang juga memuja
Ku pungut dirimu yang kini jadi doa itu sendiri
Dari tumpukan kata yang tak tereja dan tak teramal
Melebur bersama hangat uap pagi
Ku petik sehelai dirimu
Ku celupkan dalam secangkir hari harap sesegar lekuk tubuhmu
Doaku,
Jember, September 2010
PLEONASTIS
Pleonastis, ceracaunya mengusik
Pleonastis, makan plastik
Pleonastis, merubah drastis menjadi kritis
Pleonastis, kau bombastis
Jember, September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar