Minggu, 14 November 2010

Puisi-Puisi Maria ULfa-080110191017 SASTRA INGGRIS


MUSIM

Ku alirkan satu demi satu
Kata bijak dalam setiap urat daun
Yang gugur dari pohon petuahmu
Harus bagaimana ku mengambil sari kata
Dari akar kata bijakmu
Bila pada musimnya ku tak peduli
Ajari aku untuk beradaptasi !

Jember, Juli 2007














MAWAR ILALANG

Musim gugur mulai tersapu waktu
Musim semi membuntuti
Sebatang mawar tampak pucat diujung cahaya
Wangi mengantuk dibawah bintang-bintang
Kelopak gugur terseret angin
Tujuh musim telah berumur
Bersama penantian berburu janji
Berdiam disudut kata dan mengenang kata
Sunyi . . . .
Sepi . . . .
Sendiri . . .  .
Semua mengaum dalam melodi tujuh musim
Waktu pun tertumbuh jamur
Sang Kala menjadikannya berwajah ilalang

Jember, Oktober 2008  11:30 am







ILUSI INGIN YANG MEMALUKAN

Ingin sekali bermalam di kotamu
Mendongeng diatas kata dibawah rasa
Menghadapi secangkir teh suam-suam kuku
Bertukar rasa yang hilang dalam taruhannya
Menjadi fosil yang mengabadikan waktu

Ingin sekali . . . .
Tidak, aku berhenti
Aku tak ingin

Tapi, aku sungguh ingin
Aku ingin sungguh

Akh . . .
Ilusi memalukan

Jember, september 2009






KACAU

Pecahan-pecahan hasrat kian berserakan
Berdesak-desakan menimbulkan bunyi
Memekakkan telinga
Mengalun kidung kebangsaan zaman
Terlalu naif untuk terheran

Semua hendak berbaring dalam kekuasaan
Meniduri anugerah yang menyesatkan
Keintelektualan mereka hanya wujud semu
Di balik jiwa-jiwa yang diagungkan

Kehormatan mereka tertinggal dibelakang
Mengejar bayang-bayangnya yang kian pupus

Semua melompat-lompat
Menelanjangi diri

Jember, Desember 2009  08:30 am





SEPOTONG MEMO MENJELANG PETANG
Selalu saja
Ku temukan kata-katamu
Pada waktu yang terselip manis
Menggorogotiku dengan urat-urat rasa

Selembar angin yang menyeret bau tubuhmu
Membaurkanku menyelinap kedalam nafasmu
Aku pun terdesak didalamnya

Ku biarkan saja semua raib
Diatas meja perjamuan
Bersama ekstase disetiap sudut katamu

Sepotong memo menjelang petang
Telah menjadi ranting kering
Yag menembus selaput-selaput otakku

Suaraku lembap
Aku pun menguap pada pesan yang sampai tak sempurna
Dan diujung mulut goa yang selalu menelan hijrahan kata-kata
Aku berbaring dibalik hamparan kata-kataku sendiri

Jember, September 2009

ELEGI
Langit malam itu seakan menindihku
Bumi seakan pula menggulingkanku dari permukaannya
Alam yang mencoba menyelamatkanku
Menyembunyikanku pada laci kecil dikamar sang orator
Memberi sekat antara mungkin dan tak mungkin
Malam itu mendamparkanku pada semesta yang tak pernah ku kunjungi sebelumnya
Memukul dadaku dengan gelombang ungu pekat
Melubangi tepat pada pusarannya
Aku dijajah oleh berbagai tanda tanya
Membusukkan daging yang ada disekitarnya
Mencipratkan darah-darah pilu
Kemudian mengering membentuk relief pada permukaan tanah

Jember, Desember 2009










INSIDEN KEPERGIAN 24 JAM

Aku buka pagar rumah yang baru semalam ku tinggalkan. Tangisan hangat dari para edelwis, kenanga, mawar, melati, seruni, kamboja, lumut sekalipun menggelegar mengalun elegi. Isaknya sayup-sayup ku dengar. Batu-batu dan kerikil berlari menarik tanganku sambil lalu mengusap butiran bening yang semakin mengarus.
Semuanya terasa menyimpan cerita-cerita besar saat semalam ku tinggalkan.
Ku benamkan kunci pada lubang yang sudah semalam menunggunya. Tanganku bergidik karena dinginnya. Ternyata selama 24 jam tak ada yang menyentuhnya.
Aku ucapkan salam yang kemudian disambut oleh ledakan euforia kursi, meja, hiasan dinding, dan perangkat lainnya. Bahkan sisa secangkir kopi kemarin pagi yang yang warna dan baunya seperti potret kemarin turut menyambutku. Semua menyambutku dengan sisa kesedihan yang menjelma menjadi bunyi pistol yang memecah sunyi. Tatapku hanya menemukan tembok yang paling tegar, kokoh mengakar dalam kesedihannya.
Kemudian pandanganku terhenti pada lima ekor ikan hias yang masih terisak disetiap sudut ruangannya. Suaranya hampir tak terdengar kecuali gerak sirip dan insangnya.

Jember, Januari 2010










TIGA TANGKAI MAWAR DAN SEPOTONG COKELAT

Sudah sepekan ini bintang-bintang menggodaku di balik atap rumah
Mengedipkan cahayanya sambil tersenyum bening namun terasa dingin
Ku lihat pantulan sejumput asa yang menggantung ragu di ujung cahayanya

Sebaris asa berarak-arakan yang kemudian menjelma siluet sepintas lalu
Seorang anak kecil tergesa-gesa menyodorkan cappucino
Aku lihat kepulan asapnya masih begitu segar memayungi
Disertai tiga tangkai mawar tak berwarna
Disematkan pula sepotong cokelat dengan brand Jerman

Ku pandangi diriku sendiri ditengah-tengah tatapan manisnya
Di perjamuan malam diatas petak-petak rumah
Seolah-olah menayangkan album setahun terakhirku ini
Aku tak peduli dengan tegas tangkasnya suara
Menyuruhku meninggalkan lamunan hangat

Aku baru peduli ketika tetesan air hujan membuatku kedinginan

Jember, Januari 2010




EKSISTENSI RASA

Menyeruak dalam potongan-potongan waktu
Menciptakan premis-premis yang tak bisa untuk serupa

Substansi-substansi yang begitu berantakan
Tumbuh dalam keambiguan liar

Metaforis-metaforis tak bermakna
Singgah begitu saja

Eksistensi rasa dalam sedetik
Menjajahku dalam periodeisasi waktu

Kini, pada masa yang tersisa
Aku menuntutmu untuk tak seperti kau menuntutku

Jember, Februari 2010







TAK ADA KATA TAK ADA SUARA

Dalam setiap tak ada kata, tak ada suara
Ada sesuatu yang berbicara dengan bahasanya sendiri
Huruf-huruf menganyam makna
Berputar mengelilingi kehampaan

Dalam setiap tak ada kata, tak ada suara
Ada jiwa yang keberadaannya menjadi kata
Tersuarakan dalam relung kosong
Tapi, nyaris tak terdengar

Dalam setiap tak ada kata, tak ada suara
Ada pesan tersirat tersampaikan
Melalui celah-celah sempit hari
Menjelma menjadi makhluk bernyawa

Dalam setiap tak ada kata, tak ada suara
Aku menjadi kata itu sendiri
Hanya kesunyian yang nantinya akan terdengar

Jember, Maret 2010



SUARA MEREKA

Suara mereka,
Bak dentuman yang membunuh setiap kedamaian
Mengerutkan wajah melenyapkan senyum
Liar mengudara mengabur pandang

Suara mereka,
Hitam memuakkan
Melenyapkan tawa dengan segera
Menghidupkan gelap yang dulu berbaring dalam peti

Suara mereka,
Lebih hina dari gonggongan anjing dijalan-jalan pasar
Tak ada seni, yang ada hanya degradasi moral

Suara mereka,
Keluar tanpa melalui rasio
Etika hilang dalam setiap huruf

Suara mereka,
Krisis moral yang jelas

Jember, Maret 2010

DALAM KOTA SOREMU

Aku terperangkap dalam kotamu
Ku telusuri setiap pintu yang ku tahu sudah terkunci
Bukan berarti untuk pergi
Hanya berusaha mendapatkan pagi, siang, dan malam yang hilang dalam kota soremu
Bukan berarti pula tak nyaman
Hanya saja ingin tahu kemanapergi tiga kala itu
Kini, aku sudah cukup nyaman dalam kotamu
Sorenya selalu menyajikan sapu tangan jingga keemasan
Menyala hidup dalam ruang-ruang doa
Aku pun tak terlalu berbangga dengan pagi, siang dan malamku sebab
Dalam tubuh pagi selalu saja pujian-pujian datang terlambat
Dalam penampang siang selalu saja terbuai lentik mimpi
Dalam semesta malam, waktu lenyap dalam kelalaian semata
Tapi, dalam soremu
Aku selalu bisa menggali harapan dalam doa
Dan sekarang,
Aku hanya ingin berada dalam kota soremu

Jember, Maret 2010




TENGOKLAH AKU

Cahaya yang menetes kuat
Dari kedua bibirmu
Membuatku bergidik tak berdaya
Seluruh pori-pori teresapi air liurmu

Urat kaki tersangkut kala
Jiwa mengembara dalam muramnya asa
Raga layu memilukan
Mencari oase dalam kerontangnya hidup

Tengoklah aku kini
Diujung duri kaktus
Dibawah pucatnya rembulan

Jember, April 2010








DIK

Rambut terikat dua, mengenakan rok dibawah lutut
Mengejar senja yang kian mencanda
Ceburkan jingga
Dalam lubuk matanya yang dalam

Menghirup keringat
Yang membuat terkikik nyaring
Semaikan asa
Dalam penampang sore

Celoteh mengalun manja
Di depan telinga
Bersahut-sahutan dengan gaungnya
Saat memanggilku

Semua itu masih terekam
Berikut dengan senja yang mengguruinya
Hingga esok hari

Akh, begitu cepat senja itu pupus
Begitu pula dengan kerinduan ini

Jember, Juni 2010
DOA

Membilang pesan yang hendak dibilang
Dari ladang pagi yang ku jadikan sebagai permulaan merekahnya
Ku keluarkan dari rahim sang petang

Takkan terjamah dan takkan
Meski nantinya menjelma sajak pada tubuhmu
Hangus terbakar oleh suara yang juga memuja

Ku pungut dirimu yang kini jadi doa itu sendiri
Dari tumpukan kata yang tak tereja dan tak teramal
Melebur bersama hangat uap pagi

Ku petik sehelai dirimu
Ku celupkan dalam secangkir hari harap sesegar lekuk tubuhmu

Doaku,

Jember, September 2010





PLEONASTIS

Pleonastis, ceracaunya mengusik
Pleonastis, makan plastik
Pleonastis, merubah drastis menjadi kritis

Pleonastis, kau bombastis

Jember, September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar