September 6th, 2010
When Love Is
When love is a plate of fried rice,
Friendship is the rice.
When love is a glass of orange juice,
Friendship is the orange.
When love is a bowl of soup,
Friendship is the carrot.
But, sometimes,
When love is a plate of fried rice,
Friendship is the empty plate.
When love is a glass of orange juice,
Friendship is the empty glass.
When love is a bowl of soup,
Friendship is the empty bowl.
September 27th, 2010
Gelap, hanya terlihat kegelapan saat saya menutup mata, kegelapan yang mungkin akan sangat menyakitkan hati seseorang yang sedang menjemput hari-hari terakhirnya. Dalam kegelapan, saya merasakan betapa rasa rindu begiru besar kepada orang-orang yang sangat saya sayangi, orang-orang yang baru saya jumpai 6 jam yang lalu, dan orang-orang yang selalu menyayangi saya. Sungguh gelap dan sakit pada saat itu. Memar-memar tubuh sangat menyiksa dan seakan sudah menghilangkan rasa lapar.
Memar hampir ada di seluruh bagian tubuh. Sakit, sangat sakit, hanya itu yang saya rasakan. Memaar berdenyut-denyut di bawah permukaan kulit. Entah warnanya seperti apa, yang jelas sangat sakit dan masih berdenyut. Sunyi senyap pada saat itu, serasa lebih membuat memar menjadi berkali-kali lipat sakitnya, terus membuat memar yang saya dapat dari orang yang belum saya ketahui pasti lebih sakit dan sakit.
Saya terus menutup mata dan juga mendengarkan keheningan yang sangat asing di telinga. Entah saya ada di mana, yang sangat saya inginkan adalah bebas dari segala yang mengikat anggota tubuh yang mungkin dapat membuat saya keluar dari tempat yang tidak saya kenali ini; kaki dan tangan saya terikat, mulut terplester. Tidak berdaya, hanya itu yang saya rasakan. Tali-tali yang sepertinya sangat kasar sudah mengupas sebagian permukaan kulit pergelangan tangan dan kaki. Jika digerakkan, sakitnya begitu menjadi-jadi. Sejak saya menyadari tangan saya terluka dan luka itu menempel dengan tali yang mengikat pergelangan tangan dan kaki, saya tidak mau dan berani menggerakkan anggota-anggota tubuh itu. Jika itu saya lakukan, denyutan memar penuh kesakitan akan bertemu dengan “kesakitan” yang lain dan akan bekerja sama membuat tubuh saya menjadi lebih sakit.
September 27th, 2010
Dia memang sesosok manusia yang sempurna, mungkin bagi semua kaum adam di muka bumi ini. Semua kesempurnaan fisik ada padanya; rambut panjang dan lembut, tubuh tinggi dan proporsional, wajah sangat khas Indonesia pada level kecantikan wanita Indonesia paling atas, dan busana yang selalu up-to-date dan modis. Semuanya sangat sempurna, mungkin semut-semut yang berada di bawah sepatunya juga berkomentar seperti itu. Tapi, kesempurnaan itu seakan lenyap dalamotak melihat dia terpampang di halaman depan media cetak nasional.
Pelaku mutilasi dua puluh pria. Itu judul yang terpampang cukup besar di rubric pertama koran nasional Indonesia yang membuat saya terkejut dan hampir membuat saya tenggelam ke dalam pusat bumi. Saya seperti sudah terjatuh sangat hebat, dan sekaligus sangat bersyukur pernah menolak untuk tidak mempunyai hubungan khusus dengannya. Saya memang rupawan, seperti kebanyakan orang, tapi saya tidak pernah sembarangan tertarik dengan orang yang yang baru dikenal. Untung syaa mempunyai prinsip yang seperti itu, jika tidak saya menjadi korban merak berhati gagak.
October 4th, 2010
Merinding
Saya terus berjalan di atas jalanan aspal yang seakan mendidih karena terik matahari. Keringat terus bercucuran, rambut keriting saya seperti semakin keriting, pening sudah muncul dan meronta-ronta.
Lalu-lalng kendaraan hanya menjadi latar yang lewat begitu saja. Saya juga tidak mengerti apa yang sedang saya pikirkan. Di depan mata, jalanan tanpa trotoar ini seperti jalur yang sangat panjang, tanpa akhir dan batas. Bawaan yang sedang saya jinjing seperti semakin berat.
Di tengah terik matahari, ketika pikiran sedangbimbang untuk memikirkan apa, suara seorang kakek menyeletuk dan membangunkan saya dari kebimbangan.
“Nak, ini diminum biar tidak haus,” suaranya lembut dan mendinginkan hati. Spontan saya berbalik karena memang suara itu berada di belakang saya.
“Oh, tidak apa, Kek. Saya masih kuat.” Saya melihat seorang kakek yang sepertinya pernah saya lihat. Wajah kakek ini begitu bersinar, meskipun sudah sangat berkeriput.
“Tidak apa-apa, Nak. Ini diminum, cuma air dingin.”
Saya tidak bisa menolaknya, karena memang haus sudah menjadi-jadi bukan main. Saya meraih air es yang dituang dalam gelas, lalu mengucapkan terima kasih. Saya meminumnya, begitu nikmat, sampai mata terpejam untuk merasakan dingin yang tak terhingga rasanya.
“Lho? Mana kakek tadi?” saya bingung, heran, sosok kakek tadi lenyap setelah saya membuka mata. Saya juga tidak bisa memungkiri, kalau saya juga merinding.
October 10th, 2010
Si Hitam dan Si Putih
“Kita putus!” teriaknya kepada Irwan yang kala itu sedang kalut dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Lho? Tapi kenapa? Aku sayang sama kamu. Apa kamu tidak pernah mengingat apa yang sudah terjadi di antara kita? Apa kamu tidak pernah ingat lagu C.I.N.T.A-nya d’ Bagindas yang pernah kita nyanyikan bersama?” Irwan bersikeras untuk mempertahankan Laila yang tiba-tiba memutuskan untuk bebar.
“Kamu, bangsat! Solusimu tidak membuat aku tenang. Kamu ingin masuk neraka dengan menggugurkan hanin di rahimku? Kamu ingin masuk penjara? Lebih baik aku putus dan pergi dari kamu daripada aku membunuh janin tak berdosa ini. Dasar bedebah!” Laila dengan keringat semakin bercucuran berbicara dengan suara lantang. Untung di pinggir pantai waktu itu tidak terlihat satu orang pun.
“Laila sayang, bayangkan! Jika anak itu lahir, bagaimana dengan reputasi kita? Apa kata keluarga dan tetangga-tetangga kita? Kita bisa diusir dari rumah kita masing-masing.” Irwan terus melakukan pembelaan yang membuat Laila kesal dan semakin muntab.
“Halah! Alasan! Kamu orang yang tidak mau bertanggung jawab! Setan, bedebah! Kamu hanya mementingkan dirimu sendiri. Sekarang kita putus, dan aku akan menceritakan kepada semua orang kalau kamu yang menghamili aku dan ini adalah anakmu!” Pernyataan yang dilontarkan Laila membuat Irwan marah dan sekaligus membuat Irwan diam tidak berkutik.
Laila langsung berlari menjauh dari Irwan, tapi Laila tersandung kayu yang begitu besar, membuatnya terjatuh terbaik; kepalanya di bawah dan kakinya di atas. Irwan sempat tertawa sedikit tapi perasaan marah kembali muncul. Kemudian Laila bersusah payah bangkit dan berdiri, lalu berlari semakin jauh dari Irwan.
Irwan tetap menatap kepergian Laila dengan rasa marah. Irwan merasa api gejolak emosi yang berada dalam dirinya berkobar-kobar. Ia tidak bisa terima perlakuan kekasihnya yang sudah melontarkan ancaman kepadanya bahwa daia akan mengungkap semua tabiat busuk dirinya. Irwan terus menatap Laila yang akhirnya lenyap dari pandangannya.
“Hei, Nak!” Irwan terbangun dari lamunan sekaligus kaget tiba-tiba muncul sesosok kakek tua memakai jubah hitam menyapanya.
“Heh, kakek siapa?” Irwan bertanya-tanya.
“Tidak usah dipikirkan siapa saya, kamu marah dengannya?” Si kakek berjubah hitam langsung bisa menebak isi hati Irwan. Tapi Irwan tetap penasaran siapa kakek ini.
“Ya, Kek. Dia bilang…”
“… dia bilang akan menceritakan kepada semua orang kalau kamu yang menghamilinya?” kakek memotong pembicaraan Irwan yang terlihat dengan muka amarah.
“Benar, Kek. Kenapa kakek bisa tahu?”
“Tidak usah dipikirkan saya tahu dari siapa. Tapi saran kakek, bunuh saja dia agar kamu aman, tidak dipermalukan, tidak diusir keluarga, dan tidak masuk ke sel tahanan.”
“Tapi, Kek, bagaimana caranya? Suatu saat pasti aku ketahuan jika membunuhnya dan tetap kaan masuk penjara.” Irwan kaget mendengar saran dari kakek.
“Hei, Nak!” terdengar suara lembut dari sebelah kanannya. Ternyata seorang kakek berjubah putih. Meskipun sangat tua tapi terlihat sangat menyejukkan.
“Lho? Siapa kakek?”
“Tidak usah dipikirkan siapa saya. Kamu tidak usah dengarkan ocehan kakek berjubah hitam itu. Masihkah ingat kamu akan larangan Tuhan? Membunuh adalah dosa yang sangat besar.” Omongan kakek seketika menentramkan hati Irwan.
Kakek berjubah hitam di sebelah kiri Irwan tiba-tiba menyeletuk, “Hah, Nak, apakah kamu mau semua rahasia busukmu ketahuan? Apakah kamu diusir dari keluarga? Apakah kamu mau dijebloskan ke dalam penjara.” Hati Irwan kembali yakin kalau ia harus membunuh Laila.
“Nak,” kakek berjubah putih kembali berbicara, “tidak pernahkah kamu mendengar cerita tentang siksa neraka? Irwan gamang dan bimbang. Dia langsung teringat cerita guru ngajinya tentang bagaimana panasnya neraka, siksanya neraka dan hukuman bagi mereka yang pernah melanggar dan berbuat dosa. “Ingat Nak, api neraka akan menanti jika kamu membunuhnya!”
Irwan semakin bingung dan muncul rasa pening di kepalanya.
“Nak, cepat bunuh dia, semakin cepat akan semakin beres dan tidak ketahuan.” Kakek berjubah hitam kembali berbicara dan membujuknya.
“Aaargh!!! Diam kalian semua! Begini saja, kalian harus bertarung. Siapa yang menang maka itulah yang akan saya turuti.” Irwan bingung dan akhirnya memutuskan untuk mengadu mereka.
Tiba-tiba kakek berjubah hitam dan putih terbang bersamaan, menuju awan yang sedang putih terkena terik matahari. Mereka berdua lenyap masuk ke dalam awan. Muncul suara guntur dan cahaya kilat dari dalam awan putih yang cerah aneh sekali. Irwan sedang berfikir mungkin mereka berdua sedang bertarung di dalam awan itu.
Awan yang putih tadi lama-kelamaan berubah menjadi abu-abu, dan semakin hitam. Kilat dan guntur mulai bersaut-sautan. Irwan tetap menoleh ke atas meskipun petir terus menyambar. Irwan tetap tidak merasa takut akan sambaran petir.
Rintik-rintik air mulai turun dan semakin banyak, semakin lebat. Irwan menyadari hujan mulai mengguyur dirinya. Tapi, tetap saja mata menoleh ke atas, meskipun tetesan air yang begitu lebat mengenai matanya. Semua pasir pantai menjadi basah pohon-pohon kelapa di sekitar pantai pun juga terlihat basah.
Dalam tatapannya pada awan hitam, muncul kilatan yang begitu dahsyat dan suara guntur yang begitu mendengar luar biasa. Telinga Irwan berdenging. Tiba-tiba muncul sesosok dari awan hitam turun, yang semakin lama semakin terlihat bahwa manusia itu adalah kakek berjubah hitam. Dia mendarat tepat di depan Irwan.
“Aku sudah mengalahkan orang berjubah putih. Sekarang kamu ikuti saranku. Kamu harus membunuhnya. Santet dia agar kamu tidak ketahuan.”
“Iya Kek.” Irwan mengiyakan saja saran kakek berjubah hitam. Irwan merasa, seakan hatinya sudah tidak ada warna putih, semuanya hitam, gelap dan pekat.”
“Iya Kek, saya akan menyantetnya besok.” Kata Irwan tanpa rasa taku dan khawatir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar