September 6, 2010
Task I : Free Writing
EVERYTIME
Everytime you hold me
My heart is in such ease
Look at your eyes
I will shed no tear
Listen to your voice
I will face my fears
Feel your heartbeat
I will find my lead
Deep in your soul
The light of love shines
Seek for the light
Of the endless night
Everytime you hold me
My heart is in such pain
Look at your eyes
I will break my lies
Listen to your voice
I will have my cries
Fell your heartbeat
I will seek the least
Deep in my soul
The light of love hides
Lock the heart
Of a chained life
Sasaran Pembaca : Umum
September 20, 2010
Task II : Short Story
FROM A TO S
Dalam hidupku tak pernah ada kata “harapan”. Kalaupun ada, maka hal itu telah hancur dan menjadi seprihan-serpihan mimpi yang terkubur dalam-dalam. Selalu dan akan selalu seperti itu…
Keluargaku bukanlah sosok idaman bagi seorang anak. Hal itu dapat terlihat dari dinginnya tatapan kedua orang tuaku saat bertatap muka. Sering kali tak ada ucapan yang terlontar dari bibir mereka. Sekalipun mereka memutuskan untuk berkomunikasi, maka yang terdengar hanyalah umpatan dan amarah. Aku tidak ingat lagi kapan terakhir kalinya kami duduk bersama dan menikmati kasih sayang yang tersedia. Masa-masa bahagia itu telah lama berlalu, digantikan keheningan mencekam yang meliputi rumah ini.
Jika dilihat dan dicari penyebabnya maka hanya ada satu nama yang muncul, Cecillia. Ya, ini semua salahnya, kakakku yang cantik dan disukai semua orang. Sejak lahir dia selalu mendapatkan semuanya: kasih sayang orang tuaku, perhatian dari teman-teman, berbagai penghargaan atas prestasinya yang tanpa cela, dan masih banyak lagi hal-hal yang tak terhitung jumlahnya. Kakakku yang populer mengambil semua yang menjadi milikku. Aku selalu bertanya dalam hati, kenapa dia tidak bisa membagi sedikit saja apa yang dia miliki padaku? Kenapa dia harus selalu membawanya bahkan pada saat ia melompat dari atap gedung perusahaan ayah 3 tahun lalu?
Hati ayah dan ibu hancur karena kejadian itu. Mereka berusaha mencari penyebab peristiwa itu terjadi. Akan tetapi hasilnya nihil. Banyak orang yang bersedih atas kepergiannya. Hal itu terbukti dari berapa banyak tamu yang datang melayat di hari pemakamannya, tapi aku tidak. Aku tidak merasakan apa-apa. Tidak sekalipun aku bersedih walaupun akulah yang pertama kali menemukan jasad kakak, walaupun wajah cantiknya hancur berantakan dan beberapa organ tubuh serta darah berceceran dimana-mana. Saat itu yang kulihat bukanlah tubuh keluargaku melainkan orang asing yang telah mencuri hak-hak serta kebahagiaannku selama 16 tahun.
Beberapa kali polisi datang dan menanyaiku juga keluargaku tentang penyebab kakak bunuh diri.
“Kakakku orang yang baik dan perhatian. Aku tidak mengerti mengapa orang sebahagia dia memutuskan untuk bunuh diri.” Kata-kata itu terus mengalir dari mulutku selama pertanyaan diajukan. Dusta demi dusta kuucapkan tentang orang asing tersebut.
Aku tahu-dengan jelas-bahwa aku bukanlah orang suci. Aku sangat menjijikkan dan juga kejam. Tidak ada belas kasihan yang tersisa pada diriku untuknya. Sebaliknya, entah mengapa perasaan lega menyusup masuk ke dalam hatiku saat itu. Aku pun jijik dan takut pada diriku yang bagaikan iblis. Aku sudah muak dan lelah dengan semua ini maka kuputuskan untuk membuang jiwaku.
Suhu udara hari sangat panas. Matahari bersinar dengan terik tanpa mempedulikan keluhan orang-orang yang bernaung di bawahnya. Sinarnya terlihat sangat menyilaukan, terutama di mataku, orang yang hidup dalam kegelapan.
Kupalingkan wajahku ke luar jendela. Aku dapat melihat beberapa sosok orang-yang sepertinya-tamu ayah. Mereka tampak menatap jam tangan mereka berulang kali sambil melirik cemas ke arah rumah. Beberapa saat kemudian, seorang pria berusia 25 tahun keluar dari rumah dan melibatkan diri dalam pembicaraan “panas” dengan orang-orang tadi.
Pria itu memiliki rambut berwarna gelap, matanya yang kecokelatan menatap ramah orang-orang di sekitarnya. Kacamata berbingkai hitamnya berhasil menambah aura kewibawaan dan keseriusan tuan muda tersebut. Kemeja putihnya tanpa cela, dihiasi dasi merah gelap yang cukup mahal dan bermerek. Sesekali, dia tampak melonggarkan dasi tersebut. Ia memang kurang suka berpakaian formal. Akulah satu-satunya orang yang tahu.
Calon penerus perusahaan ayah sekaligus kakak angkatku yang tampan memepresilakan tamu-tamu tadi masuk. Sambil berbicara, dia menghiasi wajahnya dengan senyum “bisnis”. Kulihat ia mengusap telapak tangannya beberapa kali. Itu adalah tanda bahwa dia mulai merasa tidak nyaman.
Ada banyak hal yang kuketahui tentang dirinya. Ya, karena aku sudah mengamatinya bertahun-tahun, pria pertama yang telah menjadi keluarga, kakak, teman, dan cintaku. Dia juga orang yang menjadi alasan kakak bunuh diri. Tentu saja tidak ada orang yang tahu. Tidak akan ada yang menyangka bahwa anak yatim piatu yang semula adalah pelayan di rumah ini akhirnya diangkat anak dan dididik sebagai pewaris. Ayah memutuskan untuk menikahkan kakak dengannya di masa depan. Dengan demikian perusahaan pun akan aman.
Kak Cecillia sangat menyukainya. Dia berikan banyak hal pada kakak angkatku itu, yang selalu dikembalikan dan ditolaknya. Mungkin aku memang jahat karena aku merasa senang saat melihat ekspresi sedih kakak. Akhirnya ada satu hal yang benar-benar kususkai dan kakakku yang sempurna tak bisa memilikinya.
Kutatap sosok kak Alex yang masuk ke dalam rumah dan menutup mataku. Sekali lagi kuucapkan kata-kata yang tak pernah bisa kukatakan-satu-satunya hal paling tulus yang tersisa dalam diriku-dalam hati, “Aku mencintaimu…terima kasih untuk semuanya.”
Aku berbalik lalu duduk di atas sofa berwarna kuning ynag selalu menjadi tempat favoritku untuk bersantai di kamar. Kuambil pisau lipat dari saku bajuku. Ini adalah pisau pemberian kaka Alex saat aku berusia 15 tahun. Katanya, ini adalah kenangan terakhir tentang ayahnya. Benda ini hartanya dan juga hartaku. Mata pisau itu berkilat tajam, aku selalu merawatnya baik-baik. Dengan perlahan kuarahkan benda itu ke pergelangan tangan dan menyayat kulitku. Rasanya perih dan menyakitkan untuk sesaat.
Aku memperhatikan saat cairan merah yang sedikit kental itu mengalir perlahan dan mengotori celanaku. Sekali lagi kuangkat pisau tadi dan menyayat pergelangan satunya. Setetes demi setetes noda merah mulai menghiasi pakaian dan sofaku. Aku tersenyum merasakan sensasi terakhir yang ada.
Sekelibat kenangan muncul dalam ingatanku, tentang kejadian 2 hari sebelum kakak bunuh diri. Saat itu aku tengah mengantarkan dokumen yang tertinggal pada kak Alex. Tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan kak Cecillia dengannya. Aku bisa merasakan seluruh tubuhku menjadi dingin ketika kakak perempuanku mengungkapkan perasaannya. ‘Lagi-lagi dia akan mengambil apa yang tersisa dari diriku.’ Pikirku. Tepat pada saat aku akan berbalik pergi, kak Alex memberikan respon atas pernyataan cinta itu.
Suara yang keluar dari mulutnya begitu dingin dan tanpa belas kasihan. Aku masih mengingat dengan jelas apa yang diucapkannya tentang betapa jijiknya dia pada kakakku dan sebesar apakah dia membenci putri sulung ayah angkatnya itu. Mendengar kata-kata penolakan yang tegas, kakak langsung menangis dan tampak frustasi. Dia bahkan mengancam akan bunuh diri bila kak Alex tidak menerimanya. Tanpa ragu-ragu, orang yang paling kucintai itu menghancurkan harapan kakak hingga tak bersisa.
Perasaanku menjadi sangat rumit setelah melihat kejadian tersebut. Di satu sisi aku senang dan lega karena kak Alex menolak kakak. Tapi, di sisi lain aku juga merasakan patah hati yang sama. Aku bisa melihat bayangan diriku dalam kakak, ditolak dan terbuang. Perbedaannya hanyalah kakak masih memiliki banyak teman dan orang tuaku sementara aku tidak punya siapapun. Cinta selama 8 tahun dihancurkan dalam 8 menit. Tanpa sadar air mataku mengalir, aku pun ada pada posisi yang sama.
***
Tubuhku terasa lemas. Kulirik darah yang tengah mengalir semakin deras dan mengubah warna pakaianku. Satu jari pun tak dapat kugerakkan dan perlahan pandanganku mengabur. Inikah yang dirasakan kakakku saat menghadapi kematian?
Orang-orang yang tahu akan perasaanku mungkin akan mati karena cinta yang tak terbalas. Salah…bukan itu alasannya. Ini semua karena aku kalah dari kesendirianku. Aku yang lemah dan menyedihkan ini tak sanggup lagi bertahan. Aku tak sanggup untuk terus hidup dan mendengar vonis penolakan yang sama seperti kakakku. Aku tak sanggup hidup sambil terus menerima sikap dingin orang tuaku. Yang kuinginkan hanyalah sedikit cinta dan kasih sayang.sesulit itukah mereka memberikannya? Ataukah aku memang tidak pantas mendapatkannya?
Pintu terbuka dan aku dapat mendengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menuju ke arahku. Dari nada bicaranya aku bisa tahu bahwa dia khawatir padaku. Wajah tampan kakak angkatku terlihat cemas sebelum mataku tertutup.
“Jangan tinggalkan aku, Shery…” pinta kak Alex. Suaranya tersengar semakin jauh. Apa maksudmu? Aku hanya pergi menemui kakak. Toh aku tidak berarti apa-apa bagimu.
Kurasakan sesuatu yang hangat dan basah menyentuh pipiku, air mata?
“Aku…mencin…aimu. Kumohon jang…gi…”
Mataku terasa semakin berat dan suara sayup-sayup itu semakin menghilang ditelam kegelapan. Kak apa yang kau katakan? Aku tak bisa mendengarmu. Kak…
***
Alex menghapus air matanya. Pandangannya tak lepas dari sosok perempuam yang tengah tertidur di hadapannya. Dengan lembut dia mengusap pipi sang adik angkat. Kedua tangannya masih menggenggam erat jari-jari gadis itu.
Selama 8 tahun ini dia membenci Cecillia yang telah merebut semua milik Shery. Walaupun ada sedikit rasa bersalah atas kematiannya, Alex tidak menyesal sedikit pun atas semua kata kejam yang dia katakan pada perempuan itu.Alex telah melihat apa yang dialami Shery, perlakuan dingin yang diterimanya, berbagai diskriminasi, kesepiannya, dan air matanya. Semua itu disebabkan oleh satu orang bernama Cecillia. Dia sangat membenci perempuan itu.
“Cepatlah sadar.” Bisiknya lembut. Dokter telah berhasil menyelamatkan nyawa Shery sebelum terlambat. Dan untuk itu Alex sangat-sangat bersyukur. Namun demikian, menyesali dirinya sendiri yang tak bisa mencegah percobaan bunuh diri perempuan yang paling berharga dalam hidupnya.
Selama beberapa saat Alex menoleh ke arah pintu.
“Bahkan ketika putrinya sekarat, orang tuanya tidak menunjukkan wajah mereka sedetik pun. Orang tua macam apa mereka?” pikirnya marah.
Sekali lagi dia mengalihkan perhatiannya, kembali pada Shery. Gadis mungil ini masih sama seperti 8 tahun yang lalu. Rambutnya yang kecokelatan dan sedikit ikal terurai lembut sepanjang punggung. Wajahnya saat tertidur begitu polos dan tanpa beban. Tangannya kecil dan ramping, tampak begitu rapuh. Kulitnya pun putih bersih. Dia adalah perempuan tercantik yang pernah dilihat Alex. Sekalipun orang-orang memuji kecantikan kakaknya, Cecillia, tapi Shery tetaplah yang paling sempurna di mata pria itu. Dia sadar bahwa dirinya telah jatuh cinta pada sosok Shery sejak pertama 8 tahun lalu, sejak gadis itu mengulurkan tangan pada dirinya yang kesepian dan hancur. Hanya saja ia tak mampu menyatakannya.
Alex merasa dirinya nyaris roboh saat melihat tubuh Shery berlumuran darah tadi. Ia tahu dia takkan pernah bisa kehilangan cinta pertamanya.
“Kali ini aku akan melindungimu dari semua kesedihan dan penderitaan. Tidak akan kumaafkan orang-orang yang telah membuatmu menderita,” ucapnya, “Karena itu, kembalilah padaku Shery, gadisku yang paling berharga. Aku akan memberikan semua yang kau inginkan. Semuanya…” Dia menyelipkan benda kecil yang dihiasi permata di jari manis Shery.
Benar, dia akan memberikan semua yang telah dirampas dari adiknya dan harapan adalah salah satunya. Saat gadis itu terbangun yang akan menantinya hanyalah kebahagiaan. Itulah janji Alex dalam hatinya.
Pria itu bangkit dari kursi dan mengecup singkat dahi Shery. Dia tersenyum dan kembali menatap putri tidurnya, menanti saat gadis tersebut bangun lalu mengisi reuni mereka dengan pelukan cinta kasih.
FIN
Sasaran Pembaca : Umum
October 27, 2010
Task III : Descrining-Showing and Telling
SIAPA?
Ingatan adalah sesuatu yang rapuh. Kepingan-kepingan kenangan tersebut mudah sekali retak dan menjadi debu, saperti yang terjadi pada diriku saat ini.
Aku tidak tahu siapa sosok yang berdiri di hadapanku saat ini. Yang kutahu adalah bahwa ia memakai pakaian yang sama denganku, piyang putih dari katun. Rambutnya hitam legam sama seperti warna kegelapan. Mata kirinya sewarna dengan mata kananku yang kecokelatan. Sementara mata kanannya ditutupi perban putih, seperti mata kiriku.
Tidak bisa, aku tidak mengenalinya…
Kulitnya yang putih pucat menunjukkan bahwa ia telah lama berada di rumah sakit. Tubuhnya yang kecil dan kurus membuatnya tampak semakin menyedihkan. Aku bisa melihat beberapa tulang tampak menonjol di beberapa bagian tubuhnya.
Dia mengusap dahi dengan jari-jarinya yang kurus. Ini mengerikan…Kutatap perempuan itu dengan marah lalu memukulnya. Tidak sedikitpun dia terluka. Sebaliknya, tanganku menjadi merah. Beberapa serpihan kaca menyayat dan masuk menembus kulit tanganku. Rasanya menyakitkan dan perih, tapi aku tidak peduli.
Perempuan itu juga menatapku dengan pandangan yang sama, marah, kesakitan dan frustasi. Tampak luka sayat yang sama di tangannya. Perbedaannya hanyalah aku terluka di tangan kanan akan tetapi dia di tangan kiri.
Tanpa sadar kugigit bibir bawahku hingga ada rasa baru di sana, rasa darah. Lagi-lagi luka yang sama muncul di bibirnya.
“Hentikan memandangku seperti itu!” aku menjerit padanya. Dia pun melakukan hal yang sama hanya saja tak terdengar satu suara pun.
“Hentikan…” ucapku lemah dan meringkuk di lantai. “Aku tidak mengenalmu. Siapa kau?” Siapa perempuan pucat dan mengerikan di cermin itu?
FIN
Sasaran Pembaca : Umum
October 4, 2010
Task IV : Strategi 3 Kata
MAAF
Air mata mengalir di kedua pipiku. Dengan pandangan yang sedikit kabur, kutatap sosok gadis berusia 16 tahun yang terbaring di hadapanku. Wajahnya pucat, begitu juga kulitnya, seakan-akan setiap tetes darah telah menghilang dari sana. Napasnya teratur dan tenang bagaikan orang yang tertidur lelap. Tidak ada yang aneh pada dirinya kecuali beberapa selang infus dan alat-alat kedokteran lain yang terpasang di beberapa bagian tubuhnya.
Aku terisak semakin keras. Mati-matian aku berusaha menahan tangisku. Dengan tangan kiri kututup mulutku untuk meredam suara yang semakin keras. Kulangkahkan kakiku perlahan menuju ke sisinya. Tangannya yang begitu kurus dan lemah. Saat ini, yang menjadi bukti kehidupannya hanyalah suara detak jantung yang terdengar dari mesin.
“Maaf…maafkan aku. Ini semua salahku. Seandainya saja aku tidak meninggalkanmu sendirian.” Aku terisak semakin keras.
Ingatanku pun melayang pada kejadian seminggu lalu. Hari itu adalah hari keberangkatanku ke Inggris untuk urusan pekerjaan. Adik perempuanku satu-satunya terlihat sangat senang karena promosi baruku. Dia menyiapkan sarapan yang lezat dan memberikanku syal yang dirajutnya sendiri. Benar, itu adalah hari yang menyenangkan karena itulah saat terakhir aku melihat senyum adikku.
Seharusnya aku tidak meninggalkannya sendiri bersama ayah pemabuk yang kasar itu. Seharusnya aku membawanya bersamaku. Aku tidak menyangka bahwa saat aku pulang yang kutemukan adalah tubuh adikku yang berlumuran darah dan penuh memar karena dipukul berkali-kali. Di kulitnya yang halus terdapat bekas sundutan rokok yang tak terhitung jumlahnya.
Aku tidak tahu berapa banyak air mata yang sudah kualirkan dan berapa banyak jeritan penyesalan yang mengalir dari bibirku. Aku tidak tahu lagi…
“Kumohon bangunlah. Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.” Kugenggam tangan gadis itu. “Maafkan aku…maafkan aku.” Ucapku penuh sesal.
Tidak ada suara ataupun reaksi darinya. Aku pun bangkit dan keluar dari kamar pasien. Saat itu tanpa kusadari, sebutir air mata mengalir di wajah adikku. Tanpa suara dan kata-kata, perlahan detak jantungnya pun ikut terdiam.
FIN
Sasaran Pembaca : Umum
October 11, 2010
Task V : Fantasy
SILVERIUS INFAIRLESS
Setiap kutatap diriku di cermin, yang kurasakan hanyalah penyesalan dan pertanyaan. Penyesalan karena takdirku dan pertanyaan “Mengapa aku terlahir seperti ini?” Aku bukannya ingin mati atau menyesali kelahiranku, bukan… Yang kuinginkan hanyalah sedikit waktu yang diputar kembali, hanya itu.
“Sil!” panggil seseorang membuyarkan lamunanku.
Kutatap wajahnya dengan mimik bersalah, “Maaf. Lalu apa yang kau bilang tadi, Flei?” tanyaku.
Flei menghela napas dan menggelengkan kepala perlahan, “Aku tanya apa kau tidak bekerja hari ini? Ini sudah jam 11 siang.” Ia menunjuk jam dinding kuno yang berada di sudut ruangan. Kami saling bertatapan selama beberapa saat.
“Celaka!” aku bergegas bangkit dan meraih kemejaku. Flei membantuku membawakan kursi roda keluar rumah beserta selimut tipisku. Setelah selesai berpakaian aku langsung mengikuti Flei dan duduk di atas kursi roda tersebut, tak lupa menutupi kakiku dengan selimut.
“Aku benar-benar heran, kenapa kau memilih pekerjaan yang merepotkan itu. Padahal kau tahu, jika kau meneruskannya maka risiko ketahuan akan semakin besar.” Flei mengambil mantelnya dan menoleh ke arahku.
Aku menatap sahabat baikku itu dan tersenyum muram. ‘Mau bagaimana lagi? Hanya ini keahlianku.’ Pikirku sedih. Tampaknya Flei menyadari pikiranku karena ia langsung mengacak-acak rambut merahku yang tertata rapi.
“Apa yang kau lakukan?” gerutuku kesal. Perlu lebih dari setengah jam untuk merapikan rambutku yang sulit diatur dan Flei menghancurkan usaha itu dengan waktu beberapa detik.
“Tenang saja, kau terlihat lebih tampan dengan rambut yang sedikit berantakan.” Ucapnya tersenyum lebar. Matanya yang berwarna hijau zamrud memandangku dengan penuh keyakinan.
Aku pun ikut tersenyum, “Flei, sayap.” Tukasku, menunjuk sayap putih yang berada di punggung temanku itu. Dia menoleh dan buru-buru melipatnya lalu menutupi anggota tubuhnya itu dengan mantel. Flei merendahkan tubuhnya sedikit sehingga tampak seperti pria bungkuk. Wajah tampannya terlihat lega dan dia mengikat rambut hitamnya yang sedikit panjang. Ini adalah penampilan Flei saat dia terpaksa harus keluar ke tempat yang ramai atau pergi ke kota.
“Bagaimana?” tanyanya.
Aku mengacungkan ibu jariku tanda penyamaran Flei sudah sempurna, “Kau terlihat seperti ‘manusia’.”
“Baguslah.” Dia membantuku merapikan selimut yang menutupi kakiku. Setelah semuanya selesai kami pun berangkat. Di tengah perjalanan aku berulang kali memandang kakiku. Aku duduk di kusi roda bukan karena lumpuh tetapi karena kau tidak boleh menunjukkan kakiku, kaki yang berwujud seperti kaki kambing ini.
Kami berdua, aku dan Flei, terkena penyakit yang disebut Silverius Infairless. Penyakit ini menurunkan sistem kekebalan tubuh dan mengubah bentuk tubuh kami. Penyakit ini tidak menular tetapi anggota tubuh yang telah berubah bentuk sangat tidak nyaman dipandang. Orang-orang biasanya ketakutan dan menjauhi kami. Aku dan Flei pernah dilempari batu hingga sekarat, kalau saja tidak ada Gion-penderita Silverius Infairless lain yang mendidik dan menyelamatkan kami-pastilah kami sudah meninggal beberapa tahun lalu. Dia mengajarkan kami cara menyamar dan hidup di tengah manusia.
Asal penyakit ini adalah sebuah eksperimen gagal beberapa tahun lalu di sebuah fasilitas pemerintah. Para penderita penyakit ini adalah anak-anak yatim piatu yang digunakan sebagai kelinci percobaan, termasuk di dalamnya aku, Flei, Gion dan ribuan anak-anak lainnya.
Saat kami tiba di kota terdengarlah suara lonceng gereja dari kejauhan. Hatiku terasa sakit sehingga tanpa sadar tanganku mencengkeram pegangan pada kursi rodaku.
“Hari ini hari pernikahannya, ya? Kau yakin tidak mau ke sana?” tanya Flei. Ada nada cemas dalam suaranya.
Aku menggeleng singkat, “Biarlah. Dia tidak akan bahagia bila bersamaku. Dia layak mendapatkan yang terbaik bukan orang cacat sepertiku.” Cengkeramanku semakin keras.
“Dia adalah perempuan yang baik. Seseorang yang benar-benar mencintaimu.”
“Aku tak bisa. Bila aku membayangkan masa depannya maka yang terlintas hanyalah kesedihan. Aku tidak bisa membiarkan dia dihina masyarakat karena menjadi istriku. Aku tak bisa melihat dia menderita karena dijauhi dan dikucilkan. Terlebih lagi, aku tidak bisa memberinya kebahagiaan. Aku sudah tidak punya waktu lagi.” Kataku, menahan emosi.
Dadaku sesak. Seakan-akan seluruh udara telah menghilang dari paru-paruku. Aku nyaris menangis namun tetap menguatkan diri untuk tegar.
“Maaf. Usia kita memang tidak akan pernah mencapai angka 30.” Ujar Flei menyesal. Ya, penderita penyakit ini hanya dapat memiliki waktu 29 tahun untuk hidup karena saat usia kami menjadi 30, organ tubuh kami akan telah habis dilahap penyakit mengerikan ini.
Aku menggeleng perlahan dan meminta Flei mengantarku ke bar tempatku bekerja sebagai komedian.
Aku hanya punya waktu 3 tahun lagi. Seandainya saja waktu bisa diputar kembali…
Saat aku berada di panggung adalah saat paling menyenangkan sekaligus menyedihkan karena aku membuat orang lain tertawa saat aku menjerit dan menangis dalam hati.
Inilah yang bisa kulakukan selama sisa hidupku. Menghibur dan terus menghibur. Hingga penyakit ini merenggut nyawaku saat usiaku 29 tahun lebih. Itu adalah takdir bagi penderita penyakit yang namanya tak dikenal oleh masyarakat.
“Salam para hadirin sekalian. Hari ini pun izinkan saya menghibur anda.” Kataku riang. Aku bisa melihat wajah Flei yang sepertinya tersiksa melihatku. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyum.
Inilah momenku Flei, “Nama saya Silverius Infairless…”
FIN
Sasaran Pembaca : Umum
October 18, 2010
Task VI : Non-fiction
THE NEGATIVE EFFECTS OF DIVORCE
Divorce is not something uncommon anymore in this age. These incidents happen many times in a lot of families, especially to a new one. Most of the grown-ups think that this is the best way for them to continue their lives. For the mature, it is just another crossroad before they reach their destination. However, the adults forget about another victim besides themselves, the children. They have to suffer because of their parents’ selfishness. Divorce will surely affect the kid’s world. This problem will certainly lead to new affairs in the future since it can be worse and worse in the mean time.
The separation of the parents can influence the children’s psychological aspects. Their behavior will be starting to change. Gunarsa mentioned several change of attitudes, such as: running away from home, hurting other people, stealing (2000:10). Many of them will become rather isolated and rebellious. They will also have mental conflicts which cause their condition more vicious. This problem can get even worse if the surrounding do not give any supports.
Another negative effect for the children is in their social aspect. Because of the uncomfortable situation at home, they will start to stay out of the house. Their relationship with their parents turned into a poor one. Related to the psychological aspect, these kids will also have a trouble in their surroundings. They will find that friends are better than their real family. Family is a home for every person and when they lose it, they will try to search for a new one, a new place where they belong.
These kinds of immoral attitudes can turn out to be chaos, especially if it is influenced by friends and the surroundings. A rebellious kid, who does a minor trouble, can become a more horrible person in the future. In a lot of cases, the simple mistakes which are done by them lead to a crime and violation of the law. If the children experience this kind of incidents, surely, their life will not be as comfortable as before. Their future, too, will be crushed.
The divorce brings negative effects to the children. It influences them greatly. If this thing continues, their existence as a person will begin to change. The good kid can be turned into a bad one. Since the family is an irreplaceable space for them, the parents have to keep it carefully.
Sasaran Pembaca : Umum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar