Minggu, 14 November 2010

Karya Anggun Nirmala Safitri


12.00
“tok, tok, tok”, ku dengar ketukan samar itu lagi di pintu kamarku. Wajahku mulai memucat, keringat dingin kurasakan menetes dari dahiku. Ketukan itu berulang lagi dan lagi. dimulai tepat pukul 12 malam dan berakhir pukul 12.01.
5 detik, 6 detik, 7 detik, lama sekali pikirku panik. Aku meringkuk di dalam selimut dengan kedua tangan memeluk erat kakiku hingga seluruh tubuhku menjadi kaku. “apakah kau ada di dalam anakku?”, tanya sebuah suara parau di balik pintu. Tidak mungkin, tidak, tidak, tidaak! Itu pasti bukan suaranya! Ku pejamkan mataku. 20 detik, 21 detik, 22 detik. Sial!
“Anakku, aku ayahmu, bersama ibumu dan adik-adikmu, tolong bukakan pintu”. 37 detik, 38 detik, 39 detik. ”Kami tidak akan memarahimu, kami sayang padamu”. 46 detik, 47 detik, 48 detik. “kami terima meskipun kau membunuh kami. Kami tidak menyalahkanmu. Kami memang pantas mati”. 57 detik, 58 detik, 59 detik. 12.01
Pembaca : Remaja





CHINGU
Sejak kapan lantai ini terasa dingin sekali? Apakah aku tak lagi bisa merasa apapun semenjak itu? Hanya dingin. Memang benar mungkin, hatiku telah membeku menumpulkan perasaanku. “Kita putus yuk!” kataku saat itu. Menatap wajahmu yang kelu tak membuatku ragu. Kosong, hampa, hanya itu yang terasa. Tak bisa ku merasa genggamanmu yang begetar, bibirmu yang terkatup rapat, dan matamu yang memerah menahan entah apa yang berkecamuk dalam benakmu. Ini hanya siklus lainnya, ku pikir. Maka semua akan berakhir dan berawal lagi seperti semula. Kutinggalkan dia di beranda, dengan segera aku berlari ke kamar.
“Aku putus”, kataku datar pada sahabatku. Pandangannya nanar menusuk  hatiku dan merobek-robek pertahananku. Kakiku bergetar. Aku tak sanggup berdiri, tubuhku terjatuh di lantai bersamaan dengan derasnya air mataku yang mengalir tanpa isakan. “Aku sudah bilang” suaranya bergetar menahan amarah. “Kalau kamu sampai putus dengannya aku akan membunuhmu!!” teriaknya. “Aaaaaaaaaa”, dia berteriak sekeras-kerasnya membanting apapun yang ada di depannya, brak, braak, bruk, pintu tertutup. Dia meninggalkanku sendiri, di kamar, menangis. Sahabatku…
­­­­__" "__
Aku bertemu dengan sahabatku, dulu, saat ospek universitas. Tak sengaja aku menabraknya saat berpapasan di lapangan. Aku meminta maaf dan kamipun berkenalan. Seperti biasa, aku pasti langsung melupakan nama seseorang sedetik setelah berkenalan. Tak disangka sepulang ospek aku bertemu lagi dengannya di kost “Eh, kamu yang tadi?” kataku terkejut. “Vina”, jawabnya sambil tersenyum manis. ”Kamu baru pindah kemari kan? Aku sudah tahu dari kemarin kalau kamu teman satu kostku. Sudah seminggu aku di sini, maaf ya tadi pura-pura tidak kenal, hehe…”. Dan bla.. bla.. bla.. dia berbicara terus tanpa jeda sambil membantuku menata kamar yang kemarin belum sempat ku tata gara-gara harus mempersiapkan atribut ospek yang nyeleneh. Saat itu ku tahu bahwa dia teman yang baik dan sangat perhatian. Aku mulai menyukainya.
Beberapa bulan berlalu setelah itu. Vina tetap menjadi satu-satunya sahabatku yang terbaik meskipun kadang agak menyebalkan. Dia selalu ingin tahu, selalu ikut campur urusan orang, dan yang paling parah dia tidak bisa diam. Namun tetap, aku sangat menyayanginya. Dia seperti lilin dalam ruang gelap hidupku, memberiku kehangatan dan harapan bahwa masih ada kebahagiaan di dunia ini.
Orang bilang hidupku sempurna. Aku berasal dari keluarga mampu, keluargaku bahagia tak kurang satu apapun. Namun ada yang kurasa kurang. Itu benar, bukan berarti aku tidak mensyukuri hidupku. Aku bahagia(entahlah) memiliki keluarga yang sempurna, teman-teman yang baik, dan aku selalu berterima kasih kepada Tuhan karena Dia selalu menjaga mereka. Tapi entah kenapa selau ada kekosongan dalam hatiku. Aku selalu kebingungan jika aku memikirkan diriku sendiri. Sekali waktu aku menatap cermin, ku tanya pada diriku sendiri, “Siapa kamu?”. Akan tetapi kaca itu tetap bergeming, namun sesuatu dalam otakku berputar-putar membuatku pusing. Siapa aku? Apa yang ku lakukan di sini? Untuk apa aku disini? Aku hidup untuk apa? Aku meragukan eksistensiku sendiri. Aku meragukan ke –ADA-an ku di dunia ini. Sering aku bertanya pada Tuhan kenapa dia menciptakan aku, namun sesering itu pula Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia mengacuhkanku. Boleh kan kalau sekarang aku juga meragukan eksistensi Tuhan?
__” ”__
Selayaknya mahasiswi baru, saat awal masuk kuliah pasti ada satu atau beberapa cowok yang mendekati, begitu juga aku. Dari beberapa cowok yang mendekatiku ada satu yang kulihat berbeda. Dia enak diajak ngobrol, lumayan tampan, hehe, dan yang penting nyambung. Dia kakak kelasku, Vino namanya. Dia manis, wajahnya tirus, pandangannya tajam namun lembut dan sifatnya unik, sulit dimengerti. Kadang dia bisa sangat perhatian, dilain waktu dia bisa sangat cuek bahkan acuh. Hanya satu yang ku tahu darinya, dia jujur. Itu saja cukup, pikirku. Setelah beberapa bulan pendekatan kami jadian. Aku mencintainya! Suatu perasaan yang sangat jarang aku rasakan.
“Kau jadian tidak bilang padaku…….!!” Katanya gemas saat pulang dari kampus langsung masuk ke kamarku tanpa permisi. “Katakan, siapa dia! Lina, teman sekelasmu tadi membiacarakanmu saat pulang bersamaku. Ayo… ayo… ayo… katakan, kukira kau hanya cinta padaku” tanyanya manja. “Eiiihhh, kau pikir aku cewek apakah?” jawabku dengan wajah muak dibuat-buat sambil sedikit tersenyum. “Cepat katakan padaku!!!!!” perintahnya memaksa dengan cengiran lebar sampai-sampai mirip Joker dalam film Batman and the Dark Knights. “Dia kakak kelasmu waktu SMA, namanya Vino”, jawabku. Senyumannya langsung menghilang. “Kenapa?” tanyaku bingung. “Tidak apa-apa”, katanya tanpa ekspresi. “Apakah dia dulu nakal?pemabuk?nge drugs mungkin? Itu bukan masalah, aku sudah bisa menerima dia apa adanya kok”. “Benar bukan apa-apa. Eh, aku mau mandi dulu ya gerah nih nati disambung lagi ceritanya, gerah nih.” Dia meninggalkan kamar lalu mandi selama beberapa jam dan anehnya tidak kembali lagi.
__” “__
Aku sering menghabiskan waktu bersama Vino sehingga jarang berada di kost. Aku juga semakin jarang ngobrol bersama Vina gara-gara ini. Biasanya tiap hari kami mengobrol bersama lebih tepatnya mungkin mendengarnya ceritanya karena 80% pembicaraan ada padanya dan sisa 20%nya aku gunakan untuk menjawab “iya, hmm, oh begitu, ck ck ck, kok bisa ya…dsb”. Tapi sekarang kami hanya mengobrol sebentar itu pun jarang. Aku merasa bersalah padanya. Mungkin gara-gara ini juga sifatnya jadi aneh. Dia murung, tidak seceria biasanya, karena itu suatu sore kusempatkan ngobrol bersamanya.
 Sore itu gelap, hujan mengguyur begitu derasnya, daun-daun seakan mempertahankan diri dengan susah payah untuk tetap berada di tangkainya. Kami berada di beranda lantai dua, tepat didepan kamar Vina. Kulihat dia memandang, menerawang jauh seakan ingin menembus cakrawala. “Vin, maaf ya akhir-akhir ini aku jarang bisa ngobrol bersamamu. Aku janji aku akan sering bersamamu akan ku kurangi intensitasku bersama Vino. Lagian setelah kulihat-lihat dia tidak terlalu tampan, dia juga pelit. Sekarang pun aku mempertimbangkan untuk memutusnya”. Memang aku sedang mempertimbangkan untuk putus dengannya, tapi bukan karena alas an itu. Semakin aku berpacaran semakin tak ku mengerti apa esensi pacaran. Pacaran, cinta? Apa itu? Perasaan aneh yang hanya sementara. Setelah penasaran, kekaguman habis karena kebenaran sedikit demi sedikit terkuak, cinta itu pun ternyata hanyut bersama waktu. Persahabatan lebih abadi dari pada satu kata yang katanya memiliki berbagai makna dan selalu diagung-agungkan di segala zaman itu.
“Jangan, dia sangat mencintaimu, kubunuh kau kalau sampai itu terjadi”, katanya tanpa menoleh. Aku tahu dia bercanda namun sekelibat aku melihat sorot mata sadis lalu dia menoleh dan tersenyum. “Aku tahu kau juga mencintainya sayang, jadi jangan pedulikan aku, aku benar-benar tidak apa-apa”. “Tapi aku sudah tidak mencintainya lagi……”, aku mnunduk mencoba memilah-milah kata yang tepat untuk melanjutkan. “Kau tahu selalu ada yang salah padaku. Aku tak yakin dengan perasaanku sendiri. Bahkan, kau pun tahu aku masih belum tuntas dengan perasaanku sendiri. Memiliki pacar ternyata semakin menambah bebanku. Selain tak mengerti perbedaan antara pacar dan sahabat, ada sisi lain yang tak ku suka dari berpacaran. Adanya rasa memiliki yang sangat dan terkadang sampai mematikan logika. Aku tak suka, aku adalah milikku sendiri, bukan milik orang lain yang baru beberapa bulan bertemu denganku.” Kuakhiri kalimatku dengan nada agak meninggi. Sunyi selama beberapa detik, kemudian dia berkata, “kau tetap tidak boleh putus dengannya!”. Lalu dia meninggalkanku.
Apa-apaan ini? Tanyaku dalam hati. Apa masalahnya jika aku putus dengan Vino? Kenapa dia ngotot aku tak boleh putus dengannya, toh bukan dia yang akan sakit hati. Sakit hati ya… pasti Vino akan terpukul jika aku memutusnya, aku tahu dia sangat menyayangiku. Dia orang yang baik. Tapi apa yang bisa kulakukan? Rasa cintaku padanya telah sedemikian habis. Aku tak bisa membohonginya dengan terus berpura-pura. Besok aku akan menjelaskan padanya.
Malam harinya aku tak bisa memejamkan mataku. Kegelisahanku memuncak. Ada yang aneh disini. Aku masih bingung  dengan sikap dan tingkah-laku Vina akhir-akhir ini. Semakin memikirkannya aku semakin tak mengerti. Akhirnya kuputuskan, aku menginginkan penjelasan darinya dengan cara apapun. Keesokan harinya setelah dia berangkat ke kampus, aku masuk ke kamarnya. Aku mencari buku diarinya dimana dia menumpahkan seluruh keluh kesahnya. Ku buka-buka laci mejanya, almarinya, tumpukan buku dan tumpukan baju tanpa hasil. Setengah putus asa ku angkat kasur. Dan apa itu? Sebuah amplop besar berwarna coklat dengan motif, atau mungkin lebih tepat coretan berwarna-warni tergeletak di pojok tempat tidur. Ku buka amplop itu, yang gterisi banyak sekali foto seorang anak laki-laki dan pria dari berseragam SMP, SMA, dan tak berseragam pun juga ada. “Vi…vi….vino!!”, suara serak seperti bukan suaraku keluar dari mulutku. Di belakang foto-foto itu terdapat tulisan-tulisan yang menyatakan tanggal, bulan, tahun, dan tulisan tentang kekaguman akan sosok lelaki itu beserta puisi indah untuknya.
Sahabatku, ternyata kau begitu mengaguminya, mencintainya… tak terasa air mataku menetes dengan derasnya. Apa yang kulakukan selama ini? Aku telah menyakitinya. Sahabatku yang sangat kusayangi.







The Origin of Aku
Kurebahkan badanku di atas sofa nyamanku di ruang tamu. Setelah seharian berkutat dengan pekerjaan seperti hari-hari sebelumnya kelelahan menyergapku dengan cepat hingga tak membutuhkan waktu lama bagiku untuk terlelap. Beberapa menit berlalu dengan tenang. Namun beberapa saat kemudian kurasakan keanehan pada tubuhku. Rasa lelah yang baru saja kurasakan hilang seketika. Ada apa ini? Tubuhku terasa segar sekali, batinku. Angin sepoi-sepoi membelai sekujur tubuhku. Rasa kantukku hilang sama sekali.
“buka matamu!”, sebuah suara berat mengagetkanku. Kubuka mataku perlahan, sinar yang sangat terang membutakan mataku. Kulihat seorang salah seekor, atau mungkin lebih tepat sesosok manusia atau bukan karena dia memiliki sayap. Tubuhnya tegap menghadapku yang tidur terlentang di atas pasir. Bagaimana mungkin?!  terakhir kali kuingat dengan sangat jelas, aku tidur di sofa ruang tamu. “Apa yang terjadi?!”, kataku terperanjat. Dan anehnya aku sama sekali tidak merasa aneh, ngeri, ataupun asing dengan makhluk di depanku. Dia mengenakan pakaian ala Alladin dan wajahnya tak terlihat karena sinar yang memancar dari belakang tubunya. Ku coba melihat sumber sinar tersebut dan ternyata sinar itu hanya bersinar tanpa ada sumbernya.
“Waktumu telah tiba, ikuti aku, aku akan membawamu ketempatmu seharusnya”, katanya. “Apa?”, tanyaku dengan mata mengeryit menyatakan kebingunganku. “Apa kau tidak salah?tidak mungkin kalau aku mati, baru saja aku tertidur di sofa dan seingatku penyakit paling parah yang pernah ku derita adalah flu. Tidak masuk akal jika aku tiba-tiba mati saat tertidur”. Kesadaran tiba-tiba muncul dalam otakku, “Oh, iya, ini pasti mimpi kan?! Haha.. bodohnya aku mempercayai semua ini sebagai kenyataan”, cerocosku. Kutampar wajahku dengan keras, kucubit pipiku, tanganku dan tak kurasakan apa-apa. “Aku pasti sedang bermimpi”, kataku frustasi. “Atau aku benar-benar mati?!”, teriakku. Dia hanya bergeming memperhatikanku. “Aku mati…”, lirihku memandang kosong kedua tanganku yang baru ku sadari ternyata transparan. “Ikuti aku”, katanya sebari menyeringgai lebar. Aku berjalan dengan pasrah dibelakangnya.
                Kami sampai di depan sebuah gerbang yang memiliki tinggi tanpa batas dengan sesosok makhluk sebagai penjaga. Makhluk di depanku yang ternyata dia malaikat pencabut nyawa, Azrael, menyerahkan sebuah gulungan perkamen pada penjaga gerbang. Penjaga gerbang itu membacanya sebentar lalu mengembalikan perkamennya. “Kau salah melihat tahunnya, jelas-jelas tertulis 2018 bukan 2010”. “Apa?!”, kata malaikat itu sambil memelototi perkamen di tangannya. “Apa yang akan ku katakan pada Yang Maha Kuasa… aku belum pernah melakukan kesalahan seperti ini sebelumnya, apakah dia akan menurunkan derajadku seperti yang terjadi pada Adam dan Eve?”. “Tidak mungkin, malaikat adalah makhlukNya yang paling setia lebih baik segera kau menghadapNya”
********
                “Maaf, sebesar-besarnya hai manusia, aku telah salah mengambil nyawamu. Sebari menunggu proses pengembalian Rohmu, kau harus tetap bersamaku setiap saat. Mungkin hanya butuh 40 hari. Yang Maha Kuasa juga telah memberimu kelebihan untuk membantuku dalam menjalankan tugas. Jadi untuk saat ini sampai beberapa waktu kedepan, kau adalah asisteku”. “Bagaimana dengan tubuku?apakah tidak apa-apa jika aku meninggalkannya selama empat puluh hari?”, tanyaku khawatir. “tak apa, keluargamu telah membawamu kerumah sakit, sekarang kau sedang koma”. “Syukurlah, kalau begitu aku bersedia membantumu, sepertinya akan menarik”.
“Baiklah, tugas pertama kita saat ini adalah menjemput penderita kangker otak stadium tiga”, dia memegang tanganku tiba-tida semuanya berkelebat dengan cepat. Detik berikutnya kusadari kami telah berada di rumah kecil, gelap dan pengap dengan sebuah kasur di pojok ruangan dan seseorang berbaring diatasnya. Tubuhnya kurus-kering, matanya cekung, di padi catatan tertera dia lahir tigapuluh tahun lalu, namun dia sekarang terlihat sudah sangat tua. Matanya yang tertutup perlahan membuka, menolehkannya pada kami. “Sudah lama aku menuggu kehadiranmu”, katanya lemah. Matanya menatap sendu pada kami. “Kau membutuhkan waktu lama sekali untuk menjemputku. Aku sudak lelah dengan semua ini. Terimakasih, telah datang uhuk..uhuk..”, darah segar mengalir dari mulutnya. “Cepat ambillah aku!! Aku sudah tidak tahan dengan semua ini!!!”. Sang malaikat tetap bergeming memperhatikan sosok mengenaskan yang berada di depannya. “Aaaahhhh, kepalaku… tolong..cepatlah”, ia memegang kepalanya, menjambak rambutnya yang hanya tersisa sedikit. Dan malaikat tetap mematung. Sial, apa yang dipikirkan malaikat ini?! Dia sama sekali tidak mengasihani orang di depannya, aku tidak tahan melihat orang itu tapi aku tak mampu melakukan apa-apa. Setelah lima menit berlalu dengan pilu akhirnya sang malaikat mendekatinya dan memegang kepalanya. Cahaya mengitari tubuh orang itu, seakan tersedot oleh tangan sang malaikat, sedetik kemudian cahaya tersebut lenyap.
“Apa yang terjadi?”, tanyaku. “Aku mengirimnya kesuatu tempat untuk beristirat sebentar sebelum pengadilan alam kubur dimulai.” Lalu aku teringat gurun pasir tadi. “Baiklah, kita lanjutkan perjalanan berikutnya, mungkin disini aku akan membutuhkan bantuanmu”. “Hah, apa?”, tanyaku bingung. Tiba-tiba aku mengingatnya, “oh iya, kekuatanku, apa yang harus aku lakukan?”. “kau hanya bertugas untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang tak berdosa, aku selalu kebingungan saat harus mencabut nyawa banyak orang heh…”. “Tap..”, belum sempat aku menyelesaikan perkataanku dia memegang pundakku dan sedetik kemudian kami berada di sebuah warung kopi di pinggir jalan.
Apa lagi ini, aku merasa sangat was-was. Perasaanku tidak menentu. Di sini, ada kurang lebih tuju orang sedang duduk di warung. Tiga orang berdebat mengenai sesuatu, dua orang sedang menikmati makanan mereka, seorang ibu sepertinya pemilik warung, dan seorang lagi pria berkacamata, sedang membaca buku. Tampaknya mereka mahasiswa. Seseorang yang membawa buku meletakkan bukunya, menyeruput kopi, memandang menerawang ke arah aku dan sang malaikat berada, sekilas aku melihat bibirnya tersungging. “Lihat itu, bus dari sana. Tugasmu adalah menyelamatkan seorang ibu yang sedang hamil, dia duduk di bangku kanan nomor tiga”. Sebuah bus bergerak kencang dari barat. Beberapa saat kemudian terdengar ledakan dari bagian belakang bus,  duaaaaaaaarrrrrrr…. Seketika bus tersebut oleng dan menabrak warung kopi tempat kami berada. Pemandangan yang sangat mengerikan, tujuh orang di warung kopi meninggal di tempat. Tidak, dia, si kacamata tergeletak di trotoar samping bus berlumuran darah menatapku memelas, “Selamatkan aku… aku ma sih bee lum tun tas… a ak u ma.. si ingin hii dup”. Tempat dimana seharusnya hatiku berada terasa sakit, teriris-iris. Tanpa berfikir panjang aku berjalan kearahnya kupegang kepalanya dan darah yang mengalir segera berhenti, luka-lukanya menutup. Tugasku, aku tersadar. Ibu itu..
Dia sudah meninggal, bersama bayinya. Tugasku gagal…. Aku.. aku.. sial!! Kenapa jadi seperti ini?! Aku tidak ingin seperti ini, melihat kematian setiap detik. Lebih baik kau membunuhku saja tuhan. Melihat semua ini, kesakitan, membuatku enggan untuk kembali hidup. Biarlah aku mati dalam kedamaianku.
“Kau!! Melalaikan tugasmu!!”, teriak sang malaikat murka. “Kau harus tahu, kalau kau tidak mematuhi perintahku, itu juga berarti kau membangkang pada Tuhan! Lihat apa yang telah kau lakukan!”. Hatiku bergemuruh mendengar perkataanya, pantas kau hanya malaikat tidak memiliki perasaan, kau tahu kau bersujud padaku saat awal penciptaan manusia!! Beraninya kau berteriak-teriak padaku! Aku manusia, memiliki perasaan, hati nurani bukan seperti kau, alat-alat Tuhan yang hanya mematuhi perintahnya! Makhluk kosong menyedihkan! Teriakku dalam hati. Wajahku memerah menahan amarah.
“Baik, aku akan mengurus kekeliruan ini. Kau tunggu disini, aku akn kembali beberapa saat lagi.” Aku tidak mengeluarkan sepatah kata pun, menunduk sampai dia menghilang. Tiba-tiba ide liar muncul dibenakku, biarlah ragaku terkapar disana selamanya. Toh, aku sudah hidup cukup lama, sukses, kaya, apa lagi yang kuinginkan. Aku merasa harus melalukan sesuatu dengan kekuatan ini.
Sang malaikat kembali tanpa menemukan aku. Aku? Memilih untuk menggunakan kekuatan ini untuk membuat orang tersenyum…
Pembaca             : Remaja






Jumat, 29 Oktober 2010
Jenuh, yang kurasa setalah dua minggu berturut-turut berurusan dengan UTS (Ujian Tengah Semester), pelatihan karya tulis ilmiah, dan penerbitan buletin baru. Kupikir lagi, apa yang harus kulakukan untuk menyingkirkan kejenuhanku yang telah memasuki tahap kronis ini sampai ku ingat sms baru-baru ini dari sahabat lamaku waktu SMP. Tata, nama yang terlalu imut untuk seorang pekerja kapal. Seminggu lalu dia mngontakku setelah beberapa lama tidak saling memberi kabar. Setelah lama berbasa-basi kami memutuskan untuk jalan-jalan bersama.
Jadilah kemarin, jam sembilan pagi kami berangkat. Rumah kami berjarak tidak terlalu jauh, hanya sekitar tiga kilometer. Setelah berdebat lama, kami memutuskan untuk mengunjungi air terjun Kali Bendo di Banyuwangi. Indah, itulah kata yang tepat untuk melukiskan perjalanan kesana. Sungguh perjalanan yang mengesankan, panas yang kami rasakan saat berangkat seakan lenyap saat kami memasuki daerah perbukitan. Kami memarkir motor di atas, yang dijaga oleh petugas parkir perkebunan lalu berjalan-jalan sebentar mengelilingi perkebunan cengkih yang berbau khas. Pohon-pohon cengkih dan kopi berjajar rapi. Beberapa pekerja memanggul bawaan mereka di atah bahu, berjalan dengan sigap seakan peluh yang menetes-netes di aspal tidak memiliki arti apa-apa.
Udara yang segar dengan aroma cengkih, perkebunan yang terawat bersih, dan sungai-sungai jernih yang mengalir dengan segera menghilangkan rasa suntuk selama dua minggu. Jarak menuju air terjun sekitar dua kilometer, dengan pemandangan yang memukau membuat perjalanan tidak terasa melelahkan. Kami melewati jalan setapak yang berkelombang, lapangan, bukit, menyebrangi sungai. Sempat kami berfoto-foto untuk mengabadikan suasana yang mungkin tak akan terulang. Setengah perjalanan kami berhenti di sebuah warung kopi di atas bukit, menikmati segelas kopi, sebatang rokok, dan seikat kacang. Mengobrol sekaligus menikmati gemericik air air di bawah sana. Tertawa-tawa mengingat kebodohan masa lalu. Indah sekali rasanya dunia ini.
Dan perjalanan pun berlanjut tepat jam 11 siang saat orang-orang pulang untuk melaksanakan shalat jumat. Haha.. kami melanjutkan perjalanan tanpa memedulikan perkataan orang tentang mistisme hari jumat. Untunglah kami sama-sama sekuler. Tak disangka ternyata perjalanan jauh sampai menembus hutan, menyibak helai-helai daun yang menutupi pandangan, melewati sungai-sungai yang meskipun jernih, namun agak sedikit menakutkan. Sempat terpikir untuk pulang dan melaksanakan shalat jumat terlebih dahulu tapi setelah dipikir-pikir tanggung lah tinggal seperempat jalan lagi. Yang terjadi biarlah terjadi.
Akhirnya, setelah berbasah-basah selama kurang lebih lima belas menit, kami sampai di tempat tujuan. Air terjun setinggi kira-kira sepuluh sampai lima belas meter berdiri di depan kami. Disisi kanan dinding air terjun terdapat sebuah cekungan menyerupai gua yang tidak dalam tempat beristirahat setelah kedinginan berendam di dalam air.
Awalnya kami hanya duduk di sekitar air terjun, namun percikan-percikan air yang menyentuh kulit seakan mengundang kami untuk merasakan kesegarannya. Alhasil kami, tanpa baju ganti menceburkan diri kedalam sungai. Segar awalnya dan segera berganti dengan dingin setelah sepuluh menit berlalu. Hanya selama setengah jam kami mampu bertahan di dalam air. Selebihnya kami mengobrol di pinggiran air terjun dengan baju basah dan menggigil.
Sekian catatan perjalanan ke Air Terjun Kali Bendo Banyuwangi.


 
Wajahmu
Pertama kali aku bertemu dengannya waktu hujan. Ketika kami bersama-sama menunggu bus di halte depan kantorku. Dia basah kuyup, terlihat jelas pakaian dalam di balik bajunya. Kulit putihnya memucat karena dingin. Bibirnya yang tipis membiru dan terlihat sangat serasi dengan hidung mungilnya yang mancung. Bak pemeran Vampir dalam film horor-romantis yang sering ku tonton. Dari ujung rambutnya yang ikal sebahu, air menetes membasahi bangku yang di dudukinya. Matanya menatap lurus ke depan tak mengindahkan orang-orang disampingnya. Kuberanikan diri berkata “mbak, ini silakan pakai jaket saya, nanti bisa masuk angin lho kalau terlalu lama”. “Tidak, terimakasih,” jawabnya vketus tanpa menoleh sedikitpun. Kemudian kulihat dia mengutak-atik hand phonenya.






“Apakah kau bahagia sekarang?”
Tanyamu suatu waktu
Aku diam, bibirku kelu
Bersamamu indah saat itu
Bagaimana mungkin aku bisa bahagia bila menyakitinya
Bagaimana bisa aku gembira melihatnya terluka
Sungguh, mungkin akan lebih bahagia di neraka
Setidaknya, aku bisa memilih berada di sana
Bukan aku bermaksud menyakitimu saat kupalingkan wajahku
Ku benamkan diriku dalam keputusasaan
Tapi benar saja luka dapat sembuh
Namun bekas tetap utuh
“Apakah kau bahagia sekarang?”
Tanyamu seakan tak peduli perasaanku
Lalu untuk apa lagi aku ragu?
Lagi pula tak kau hargai pengorbananku
Kujawab, “ya, aku sangat bahagia tanpamu”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar