Minggu, 14 November 2010

Cerita Pendek Oleh Maria Ulfa-080110191017 SASTRA INGGRIS


Gadis, penjaga hujan
Bagi gadis, menyendiri menemani hujan, menunggu seseorang yang pernah berjanji padanya tidak Cuma bingung dan termenung.
Senja mulai menyapu langit dengan gaun jingganya, saat itu pula menggantung dalam kaki lembahnya yang ranum menyeruak aroma dibalik kepulan asap dapur. Seperti biasa, layaknya rutinitas yang tak bisa ditinggalkan. Gadis harus mengantar adik lelakinya ke sebuah tempat kursus yang tak begitu jauh dari rumahnya. Sepanjang hari dia lakukan itu kecuali minggu.
Suatu sore di hari Sabtu, saat perjalanan ke tempat kursus, butiran halus gerimis mengusir perlahan senja. Hujan deras pun menghentikannya. Karena menunggu hujanlah akhirnya dia mengenal sebuah nama. Seorang pria yang juga tertahan hujan. Sebut saja Pram. “Hujan cukup deras”, kalimat ini yang keluar pertama dari Pram. Tanpa diduga, kalimat inipun yang mengawali keduanya menyulut kisah hujan. Termasuk hujan dalam bilik keduanya. Hujan cukup lama, obrolan keduanya pun semakin jauh. Hingga Gadis akhirnya tahu jika Pram adalah salah satu tutor di tempat kursus adiknya.
Seiring guguran hari, perkenalan antara Gadis dan Pram semakin jauh bak mengejar hari saja. Perjumpaan itupun setiap hari kecuali hari minggu.
Perjumpaan itu selalu karena hujan. Ketika menjemput adiknya, lagi-lagi hujan menahannya. Keduanya pun saling bertukar cerita. Tak ada yang asing antara keduanya. Pram pun sering berkunjung ke rumah Gadis. Pram adalah seorang pendatang, mahasiswa semester akhir yang tengah menyelesaikan sripsinya.
Minggu pagi, Pram ke rumah Gadis. Perjamuan hangat dari keluarga Gadis pun sangat mendamaikan. Dia bermaksud mengajak Gadis ke pantai di sore nanti.
Duduk berdua menatap senja pantai, bertukar rasa untuk diungkap, terbaluti semilir angin yang mengemas kisah untuk tak terlupa, senja pun turut mengabadikan riwayat saat itu.
Kehidupan kembali normal. Gadis yang hanya bisa menemui Pram di saat senja, akhirnya didera kerinduan. Pram yang punya banyak kesibukan mungkin masih bisa mengatasi kerinduannya. Gadis yang hanya punya kesibukan kuliah kesulitan mengatasi hal itu.
Hari-hari pun terus berlanjut, sampai pada waktu dimana keduanya tak bisa ketemu. Pram sibuyk mem[ersiapkan skripsinya. Komunikasi antar keduanya pun sebatas telepon atau sms. Namun, tiap hari yang tak pernah Pram lewatkan adalah mengirimi selembar kisah diatas bagaimana dia telah melewati senja tanpa Gadis. Tiba saatnya mengikat rindu dengan perjumpaan. Tapi, sungguh disayangkan, perjumpaan itu membawa pesan yang sungguh tak diharapkan Gadis begitu pula Pram. Pram akan wisuda bulan depan dan tak lama setelah itu dia akan pulang ke kediamannya yang talah lama dia tinggalkan.
Mendengar tuturan Pram hanya aira matanya yang mampu berkata. Bagaimana bisa setelah lelah menanggung rindu, dia pun akan menghadapi rindu serupa yang lebih menyiksa. Belum tuntas pula rindu yang kemarin. Tapi, bagaimana lagi Pram pun tak menginginkan hal itu. Dia hanya bisa meyakinkan Gadis jika suatu saat dia akan kembali dan meminang Gadis.
Waktu pun tak bisa dicegah, Pram akhirnya wisuda. Keluarganya pun datang semua. Tampak pula Gadis yang mendampinginya. Mulai saat itu pula, keduanya saling terlihat berdua hanya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan.waktu pula tak bisa dihentikan barang sejenak., keduanya harus berpisah tepat seminggu usai wisudanya.
Tak henti-hentinya air mata Gadis mengayonarakan kepergian pram. Suaranya pun tak jua keluar, hanya isaknya yang bersahut-sahutan. Begitu pula Pram yang tak bisa mencegah air matanya.
“Ku tinggalkan hatiku di pangkuanmu, jagalah dan jangan sampai ada yang menggantikannya. Ku bawa senyummu sebgai cermin rinduku nantinya”
Keduanya pun terpisah membawa kesedihan masing-masing.
Sejak terpisahnya dari Pram, Gadis tak henti-hentinya menunggui hujan kala senja. Tak lebih hanya yang diharap pertemuan dengan Pram seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. Kerinduan menari bersama irama hujan, melompat-lompat dari kenangan satu ke yang lain. Layaknya tubuh hujan. Alunan hujan pun menghidupkan kenangan sepintas lalu.
Kerinduan melebur bersama air mata dan hujan.
Pram yang berjanji menemui Gadis, tentu tak akan mengingkari. Pram mengirim email yang isinya memberitahu jika dia akan memenuhi janjinya. Tapi, tak kunjung ada balasan berikut dengan via message yang dia kirim. Pram bersama orang tuanya akhirnya berangkat juga. Sesampainya disana, seolah tak percaya jika kediaman Gadis dan daerah sekitarnya tersapu lumpur panas nan beracun. Kenanga, edelwis, melati, mawar, seruni, kamboja, berbagai anggrek, bahkan ilalang pun tak tampak lagi.
Hamparan lumpur yang merayap liar, angkuh menguap dalam emosinya. Tak peduli atas apa yang telah ditelannya.
Tak terasa air mata menetes, mengingat kisah dan gadisnya yang selalu menunggu dan menjaga hujan hanya ingin bertemu dengannya. Seorang petugas tiba-tiba menghampirinya, memberitahu jika Gadis dan keluarganya selamat. Pram menyeka air matanya. Petugas itu pun menyodorkan selembar kertas bertuliskan alamat Gadis. Pram dan keluarganya pun bergegas menuju alamat yang diberikan petugas itu.
Saat senja mulai berbaring dalam penampang sore, Pram dan Gadis akhirnya bertemu berikut keluarganya. Senyum yang teriring air mata tampak pada keduanya. Menghidupkan kembali kisah yang selalu terpenjara rindu. Melajutkan episode yang sempat tertunda. Senja pun bergerimis, seolah turut bersorak dengan perjumpaan keduanya.
Rinai hujan kembali terdengar menghilangkan elegi dalam kisah hujan Gadis, penjaga hujan.


Jember, 21 September 2010


ΓΌ  Penggambaran karakter
Tubuh tinggi semampai itu kembali terbaluti seragam yang sudah menjadi bagian hidupnya. Warnanya menyala semangat. Tubuh kokoh tapi,  tak sekokoh semangatnya. Kulit agak hitam, mungkin karena terlalu sering menengadah surya atau memang pigmen kulitnya yang sudah begitu. Rambut hitam lurus, selurus jalan hidupnya dikala lurus saja. Semua itu tak menyembunyikan kepribadian luhurnya. Potretnya bening dan tajam, menjadi cermin bagi siapa saja. Darman, si pemadam kebakaran, begitulah orang memanggilnya.

PEMETIK AIR MATA

“Kau tampak lebih tua anakku, senyum dan wangi tubuhmu tak sesegar kemarin sore, masihkah kau pelihara air mata?”, ucapnya di suatu pagi yang masih ranum. Ku alirkan satu demi satu kata-kata bijaknya dalam posisiku yang masih menunduk. Tak mampu mendongak karena beratnya air mata. Dia pun berlalu pergi, meninggalkanku di sudut kamar.
Sungguh air mata itu telah memperbudakku mengikuti kisahnya. Menjadikanku sebagai pemetik air mata. Dia menghampiriku lagi, sebelum dia bersuara, sengaja aku memperdengarkan suaraku lebih awal. “Betapa tidak berair mata Ayah, dia telah,….”, suaraku tertahan di tenggorokan, air mata mengambil musimnya lagi.
“Sudahlah Na, biarkan air mata membawa kisahnya sendiri, kau tak perlu hanyut terlalu jauh”, lagi-lagi dia mencoba meghiburku.

Akhirnya, tak lama dari ucapannya seminggu yang lalu. Aku bisa menyudahi kisah air mata. Hadirnya seseorang yang telah meneguk habis air mataku. Riwayatnya pun kini telah usai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar