Senin, 19 November 2012

Antara DIA dan Aku *Natalia Dara


                Lukas, nama pemuda itu. Parasnya manis, baik hati, santun, dan cerdas. Aku bersahabat dengannya sejak kecil. Kami tinggal berdekatan. Sekolah pun kami habiskan di tempat yang sama. Sejak SD hingga SMA kami selalu bersama. Perbedaan kelas bukan menjadi penghalang buat kami untuk semakin akrab.
                Persahabatan yang terbina sekian lama membuat kami merasa saling membutuhkan. Tak jarang di mana ada aku di situpun Lukas berada. Bahkan teman-teman kami mengira kalau kami ini adalah pasangan kekasih yang sangat mesra. Padahal tidak begitu adanya meskipun hatiku berharap demikian.
                Persahabatan yang sekian lama ini tidak membuat mustahil tumbuhnya benih cinta di antara kami. Tepatnya akulah yang memiliki perasaan lebih terhadapnya. Entah mulai kapan tapi aku yakin ini bukan perasaan yang biasa. Dan aku pun merasa Lukas memiliki perasaan yang demikian terhadapku.
                Bayangkan saja, bagaimana aku tidak memiliki simpati terhadap pemuda satu ini. Berangkat sekolah kami selalu bersama-sama dengan sepedaku dan dia yang memboncengku. Pulang sekolah pun demikian. PR pun tak jarang kami kerjakan bersama dan dia lebih sering mengajari aku daripada aku yang mengajari dia. Setiap tahun kami merayakan ulang tahun kami bersama-sama. Hanya selang beberapa hari saja.
Dan moment ulang tahunku yang terindah adalah ketika aku dan dia sama-sama memasuki usia 17 tahun. Dia memberiku kejutan dengan menghadiahi aku novel yang sangat aku idamkan tetapi aku tak sanggup membelinya dan aku hanya memberinya saputangan yang bertuliskan namanya yang khusus aku buat semalaman. Biasanya kami hanya saling mengucapkan dan membeli sepotong kue untuk ditiup dan dimakan berdua.
Pernah suatu ketika ada seorang pemuda yang mendekati aku, tapi entah mengapa aku hanya menganggapnya angin lalu. Tidak ada yang salah dengan pemuda itu, tapi hati ini sudah ada Lukas. Lukas tahu akan hal pemuda yang mendekati aku.
Suatu ketika dia bertanya,
“Mengapa kau mengacuhkannya? Bukankah dia baik?”
“Entahlah, aku merasa biasa saja. Tidak ada ‘gregetnya’”
“Ah kau ini. Cobalah, tidak ada salahnya. Toh sudah waktunya kau merasakan yang namanya apel di malam minggu,” candanya sambil menasehatiku.
“Alah, kau saja belum juga belum pernah merasakan yang namanya apel kan?”
“Hahaha..” Kami melebur dalam tawa.

Suatu ketika aku melihat Lukas sedang membaca sepucuk surat.
“Surat apa itu?”
“Bukan surat apa-apa.”
“Boleh lihat?”
“Bacalah.”
Kuambil surat itu dari genggamannya. Kubaca dengan teliti. Dari seorang gadis yang berasal jauh dari tempat kami. Tulisannya indah dan bahasanya begitu sopan dan hangat. Dan kalimat yang tak bisa kulupakan sampai saat ini adalah: “aku menyimpan perasaan khusus padamu, Lukas. Aku ingin kita bisa lebih dari sekedar teman.”
Kututup surat itu. Kukembalikan tanpa memandang wajahnya. Bibirku gemetar, mataku terasa basah. Dan aku hanya bisa menunduk menahan segala perasaan yang bergejolak di dada.
“Ada apa, Ratna?”
“Eh, oh. Tak apa.”
“Bagaimana tanggapanmu?”
“Kalau kau suka, ya balas suratnya dan katakan pula bagaimana perasaanmu.”
“Tak ada perasaan apa-apa, Ratna. Dia hanya sekedar teman buatku”
Mendengar itu betapa leganya aku. Bibirku mengembang lebar membentuk senyuman puas dan lega.

Senin besok adalah pengumuman kelulusan SMA. Dan hari Minggu ini kami ke gereja berdua dan sepulang itu kami berdua memutuskan untuk beradorasi, mohon penyertaan akan kelulusan kami esok. Kami berdua sama-sama gelisah, tapi dia selalu bisa menenangkan aku.
“Tenanglah. Kau pasti lulus,” katanya tiba-tiba ketika perjalanan pulang dari gereja.
“Kenapa kau yakin sekali?”
“Karena aku yakin aku pasti juga lulus. Bukankah aku yang selalu mengajarimu?!”
“Hmm,percaya dirimu besar juga. Haha.”
Dia memang selalu bisa membuatku tertawa dan melupakan kesedihanku.
“Apa kau jadi melanjutkan studimu ke ilmu keperawatan?”
“Jadi. Minggu lalu aku sudah mendapat surat panggilan. Kau bagaimana?”
“Entahlah.”
“Apa yang kau inginkan?”
“Entahlah. Aku masih bimbang dengan beberapa pilihan.”
“Ambilah salah satu dari beberapa beasiswa yang ditawarkan kepadamu.”
“Iya, biar kupikirkan malam ini. Sebenarnya ada satu yang sudah menarik hatiku sejak lama.”
“Apa? Ceritakan.”
“Nanti saja. Kejutan buatmu.”
“Baiklah.”
Andai dia tahu betapa berdebarnya aku saat itu. Berharap kejutan darinya adalah kejutan yang selama ini aku tunggu-tunggu.

Tetapi Senin itu..
“Lukas, aku lulus!!”
“Sudah kubilang kan. Kau saja yang berlebihan.”
“Terimakasih ya sudah mengajari aku. Bagaimana hasilmu?”
“Bagus. Memuaskan.”
“Dan pilihanmu selanjutnya?”
“Ikutlah aku. Kita ke gereja dulu sebentar untuk mengucap syukur.”
Siang itu kami ke gereja dan berdoa bersama mengucap syukur atas kelulusan kami. Aku sangat bahagia dan berharap dengan cemas. Berdoaku pun sedikit tidak konsentrasi.
“Kemana kita?” Tanyaku ketika dia memboncengku.
“Sabarlah.”
Akhirnya kita berhenti di depan gerbang sebuah sekolah seminari untuk calon biarawan. Aku bingung dan tambah tidak karuan perasaanku.
Dia mengajakku masuk. Di dalam kami menemui seorang frater dan berbincang-bincang. Lukas begitu antusias dan semangat. Dan aku, betapa aku ingin menangis dan berlari pergi dari tempat ini.
“Bagaimana menurutmu?” Tanyanya ketika pulang dari sekolah seminari itu.
Aku diam saja. Aku bingung harus menjawab apa. Tanpa sadar aku menangis.
Perlahan dia memelukku. Dan aku tetap menangis dipelukannya untuk beberapa saat.
“Maafkan aku,” katanya.
“Aku menyayangimu,” kataku masih dalam pelukannya.
“Aku juga, Ratna.”
“Aku menyayangimu lebih dari seorang teman bahkan saudara. Aku mencintaimu, Lukas”
                “Aku mencintaimu juga, Ratna.”
                “Lalu? Kenapa?”
                “Aku juga mencintai Yesus dan ingin menyerahkan hidupku untukNya.”
                “Tak perlu begini caranya.”
                “Aku merasa ini panggilanku. Jangan menangis, Ratna. Ini bukan perpisahan. Kita masih bisa bertemu dan berteman. Panggilan kita berbeda tapi kita masih tetap bisa mengabdikan diri kepada Tuhan. Dan inilah panggilanku.”
                “Tapi..”
                “Sudahlah. Kau masih sahabatku. Dan kau cukup cantik dan baik untuk mendapatkan pemuda di luar sana yang seperti aku,” godanya sambil menghiburku.
                “Kau ini. Aku sedang bersedih.”
                Dan dia mengusap airmataku dan mengantarku pulang dalam keheningan.


                Beberapa tahun berselang. Aku sudah menjadi seorang perawat di sebuah rumah sakit terkemuka di kotaku. Lukas, entahlah. Beberapa tahun di seminari kontakku dengan dia semakin berkurang dan susah. Aku pun juga sibuk dengan studiku.
                Tapi suatu ketika, ketika aku sedang ke gereja di kota tempatku bekerja aku seperti mengenal Pastor yang memimpin misa hari Minggu itu. Dan aku sadar itu adalah Lukas.
                Kutemui dia seusai misa. Dia tetap manis dan santun. Dengan ramah dia menyalami umat.
                “Lukas? Eh, Romo Lukas maksudku,” panggilku malu karena keceplosan.
                Dia menoleh lalu tersenyum.
                “Hai, Ratna,” sapanya ramah.
                “Apa kabar?” tangannya terulur tanpa enggan.
                “Baik. Kau? Tambah berisi ya rupanya.”
                “Bisa saja kau. Haha.”
                Betapa aku merindukan dia setelah sekian lama tidak berjumpa. Dan hatiku masih bergetar meskipun tidak sehebat dulu. Sudah relakah aku? Tanyaku pada diri sendiri.
                “Aku rindu padamu, Rat. Mari kita berjalan-jalan sebentar. Tidak sibuk kan?”
                “Ah tidak. Mari.”

                “Bagaimana kabarmu?” tanyanya.
                “Seperti sudah kubilang, baik-baik saja.”
                “Baguslah. Aku tahu kau pasti jadi perawat yang sukses.”
                “Yaya. Kau selalu tahu segalanya.”
                “Haha. Bagaimana? Sudah adakah rencana menikah?”
                “Hmm, entahlah.”
                “Aku tahu kau akan dapat yang terbaik.”
                “Tapi yang terbaik sudah pergi,” kataku lesu mengingat kejadian beberapa tahun silam di depan sekolah seminari itu.
                Dan dia pun sepertinya mengerti apa yang kumaksud.
                “Yang terbaik bagimu belum tentu yang terbaik bagi Allah. Berserahlah. Kau pasti mendapat yang kau cari. Bacalah Injil yang sesuai dengan namaku.”
                “Baiklah Romo. Kau selalu bisa menghiburku dan menggodaku, ya.”
                “Itulah gunanya sahabat.”
                “Boleh aku meminta sesuatu darimu?”
                “Katakan.”
                “Kelak, aku ingin kau yang memberkati pernikahanku. Berjanjilah.”
                “Baiklah. Pilihlah yang tepat dan bawalah selalu dalam doamu,” pesannya.
                “Siap, Bos!”
                Itulah pertemuan pertama kami setelah sekian tahun tidak bertemu. Dan satu tahun kemudian aku menikah dengan wiraswasta muda yang baik dan ulet serta bertanggungjawab. Pertemuanku dengannya hanya berselang dua minggu sejak pertemuanku dengan Romo Lukas.
                Dan sesuai janjinya, Romo Lukas lah yang memberkati pernikahan kami.
                Persahabatanku dengan Lukas masih tejalin sampai saat ini. Dan aku mensyukuri segala yang terjadi dalam hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar