Minggu, 14 November 2010

Karya Krissayu N. Widi


Tugas: menulis puisi
(UNTITTLED)
Mendung melirik pagi dengan nisbi
Sebelum sedetik kemudian,
Berkawan dengan dimensi pelangi
Merona bersama tanah
Menyeruak kaki-kai bumi,
Dari ibu yang resah
Mari kita berciuman, hangat!

(20 September ‘10)





Tugas: menulis cerita pendek
(UNTITTLED)
Pada waktu yang tak tercatat itu aku kehilangan Jati. Tapi sekarang yang sedang kami pajang adalah lukisan pengantin. Yang kaki dan tangan kami sebagai penebusnya. Dipertemukan dalam ruang penyiksaan rindu yang panjang.
Mengingatkan saya pada masa ketika Jati membawa saya lari dari rumah Mamak agar kami bisa bersebelahan rumah lagi. Pria kecil itu yang dulu menunggu di depan taman kanak-kanak. Mengajak saya kabur, entah kemana. Kami mau ke gunung, kami mau ke laut, kami mau makan ice cream dan duduk sampai hilang.
Tapi kami belum tahu seperti apa rasanya sakit ketika kami berlari menjauhi segalanya dan tertabrak sebuah mobil. Kehilangan satu tangan Jati dan satu kakiku. Saya tak pernah menemukan Jati lagi setelah itu. Jati pindah rumah.
Saya mendatangi rumahnya setiap hari dengan kaki buntung, seperti hampir gila.
Tapi kenyataanya saya tak pernah gila.
Sekarang kami meringkuk dalam selimut tebal, memandang hujan dan makan kacang. Kami bercumbu dengan malam sebagai pengantin.
***
Sebentuk kekacauan ketika mendapati diri saya sendiri dan tak bertuan dalam terali ini membawa saya kepada rasa ngilu yang menyanyat. Tidak pernah bisa dikatakan dengan bunyi tapi mungkin bisa dimengerti dengan kesamaan. Saya hanya menoleh ke kiri, sedetik kemudian ke kanan. Kadang tengadah dan tak jarang pula menunduk. Di sinikah saya seharusnya berada?
Bau kapur barus dan orang-orang sakit akal.
Semuanya putih dan hanya saya yang ungu, menggigil dengan sedikit berkunang-kunang. Tapi tempat ini jauh lebih segar ketimbang rumah berjamur dengan wallpaper merah, semuanya merah. Mencekik pada setiap sudutnya yang busuk bersama kenangan, kenangan sialan!
“Selamat pagi, Aling. Ayo sini dibersihin dulu ya…”
Perempuan setengah baya dengan seragam putih itu mendekati saya. Saya benci dia, tapi dia baik. Mengusap muka dan tangan saya, leher dan telinga saya dengan handuk hangat yang dibawanya dengan nampan bersama obat-obat terkutuk, sepiring makanan, air dan buku tulis. Perempuan ini tahu benar apa yang menyebabkan saya harus menempati ruangan putih ini. Tapi dia tak pernah jengah pada saya. Dia berani.
“Sudah ya, jangan marah lagi. Ini ada buku tulis sama pensil seperti biasa.”
Marah. Kata itu yang dipilihnya untuk mengatakan bahwa kemarin saya sudah mengamuk gila-gilaan. Seperti orang sakit akal yang lain.
Perempuan itu menyodorkannya di pangkuan saya. Dia duduk selonjor di samping saya dan tersenyum. Sementara saya masih enggan menyentuh buku itu.
Semua ini seperti ritual bullshit yang saya lakukan setiap kali obat penenang dengan dosis tinggi pada malam sebelumnya disuntikan dalam tubuh saya. Rasanya bolong-bolong.
“Pergi!” seru saya pada perempuan yang sedang asik memperhatikan saya itu. Dia kemudian bangkit dan meninggalkan saya kembali dengan buku tulis yang tadi dibawakannya. Masih tersisa lembar-lembar yang belum saya sentuh. Beberapa halaman di depan sudah penuh dengan tulisan, tulisan tangan saya. Ada cap bibir dengan lipstick merah marun di halaman paling belakang.
Suster Ana sayang Aling.
Tulisan itu rapi berjajar di bawah cap bibir. Perempuan aneh, kolot! Apa dia pikir kata-kata seperti itu punya arti untuk saya? Dia bodoh.
Dada saya kosong. Benar- benar kosong. Hanya perempuan itu yang mencuri perhatian saya. Saya menggambarnya pada lembar kosong di buku tulis lusuh yang jadi satu-satunya alat komunikasi kami. Komunikasi teraneh antara dua perempuan yang berseragam putih dan yang berseragam biru telur asin. Perempuan yang hanya bicara tanpa tanggapan dan perempuan yang diam tapi bicara. Saya menggambar tubuhnya terlalu besar, perempuan itu tidak segendut ibu saya. Saya tidak punya ibu.
Entah berapa jam yang saya habiskan berkutat dengan gambar itu. Menggambar matanya, rambut, payudara, kemaluan, paha dan jari kaki.
Saya berhenti menggambar ketika pintu berlapis besi di samping saya terbuka, saya suka sekali berada di balik pintu. Saya tahu itu orang yang berbeda dengan petugas piket yang akan menjemput saya kembali ke kamar ketika senja mulai turun. Saya menunduk, meremas buku tulis yang sejak tadi tenang di lantai.
Itu seorang pria, laki-laki.
Ini laki-laki pertama yang saya lihat sejak pria terakhir itu mati, Kokoku. Suami Cece.
Saya tahu dia mengedarkan pandangan untuk mencari saya, tak ada orang lain lagi. Kemudian dia mendapati saya di belakang pintu.
“Linggan!”
Dia menyebut nama saya, dia tahu siapa saya. Saya mendongak, menatap langsung pada wajahnya. Dia laki-laki yang tampan, orang jawa seperti saya. Tumbuh rambut tipis di sekitar bibir atasnya. Saya tak tahu siapa dia. Tapi sepertinya dia mengenal saya, dia menyebutkan nama saya tadi. Laki-laki ini kemudian berlutut di depan saya. Saya baru menyadari tangan kirinya buntung, sama seperti kaki kanan saya. Saya sudah lupa kaki saya buntung, dia yang mengingatkan saya. Tatapanya menusuk langsung ke birahi saya. Dia mengeluarkan secarik kertas dari saku kanan jasnya, seperti foto. Kemudian meletakanya di tangan saya, membimbing saya untuk melihatnya dengan tanganya.
Dua bocah sedang bergandengan tangan. Memakai seragam taman kanak-kanak sepertinya. Dengan botol minuman tergantung di leher dan tas punggung yang kebesaran. Saya mengenali foto itu, boca-bocah dalam foto itu. Yang mukanya kaku memandang lurus dan mata yang polos. Saya ingin mengucapkanya, tapi tertahan dengan kuat di tenggorokan. Mengalir masuk ke paru-paru bersama alveolus. Kembang-kempis mau meledak, tapi tetap kuat.
Laki-laki ini, saya tahu.
Dia memungut buku tulis yang tergeletak di lantai, kemudian membuka halaman pertamanya. Meletakan foto itu di sana. Berdampingan dengan sebuah nama yang saya tulis pertama kali saat saya di masukan ke ruang putih ini.
Jati.
Saraf-saraf motorik di sekitar rahang saya seketika tertarik ke belakang, membentuk seulas senyum untuk Jati.
Jati memeluk seolah saya akan menguap ke langit, meninggalkanya lagi. Saya tidak membalas pelukanya, tapi sepertinya Jati tak perduli. Dengan satu tangan saja dia bisa membuat saya remuk jika terus memeluk seperti ini.Menyadari saya hampir saja tersedak tak bisa bernapas, Jati segera melepaskan saya.
Jati mencium saya!
Saya seperti ingin balas melumat habis bibirnya, menularinya dengan sakit akal yang selama ini menahan saya tetap di ruang putih. Angin gending menyapu habis kami berdua, meliuk-liuk mengaduk pikiran kami dengan anggun.
Ciuman yang mungkin tak berarti apapun jika Jati mencium saya di depan gerbang taman ketika kami masih kanak-kanak.

Belum ada yang datang setelah dua hari ini,telepon juga tak berdering. Saya masih mendapati dia mengacuhkan saya, diam tak bergerak. Tapi saya tak segan mendekat. Sesekali saya cium kening atau pipinya. Masih tetap wangi, wangi khas melati.
“Sabar ya, Mamak! Saya masih yakin Koko sama Cece pasti datang.”
Bibirnya seperti tersenyum mengiyakan saya. Kemudian saya tinggalkan dia kembali di kamar gelap yang sudah dua hari ini tidak saya buka jendelanya.
Jika malam ini mereka tak datang atau sekedar menelpon, saya tak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Telepon saya sejak dua hari lalu saja sudah tak mereka hiraukan. Mana mungkin saya datang kesana dan membiarkan Mamak sendirian? Nanti Mamak bisa kesepian, saya tak tega. Mamak masih butuh saya, Mamak butuh teman.
Apa mereka masih marah pada saya karena hal itu? Itu kan cuma air panas, beberapa hari juga luka mereka akan sembuh. Saya saja tak keberatan merawat Mamak sendiri dengan kaki buntung seperti ini. Saya juga tak keberatan menjadi anak angkat dari keluarga mereka. Saya juga tak keberatan dipisahkan dari emak dan bapak. Kenapa mereka ambil hati jika saya hanya menyiram mereka dengan air panas?
Lamunan saya buyar ketika terdengar suara pintu berdecit dibuka dari luar. Mata saya silau, samar-samar saya melihat dua sosok mendekat masuk. Ini sudah dua hari saya tidak melihat sinar matahari. Di rumah ini memang tak ada orang lagi setelah dua hari yang lalu saya mengusir bibi. Pembantu yang sudah 20 tahun mengabdi pada Mamak.
“Kamu gila, Ling!!!”
Salah seorang meneriaki saya begitu mereka masuk dan melihat saya.
“Mamak… Mamak jangan pergi!! Maafin aku Mak… Harusnya aku ada di sini sama Mamak.”
Itu jelas suara khas isakan Ceceku, berarti orang yang satu lagi adalah Koko.
Saya berjalan terpincang mengejar Koko dan Cece berlari ke kamar Mamak.
“Kalian yang gila!!! Bukan saya… bukan saya…”
Entah apa yang merasuki hati saya, tiba-tiba rasanya bendungan yang selama ini sudah dibangun dengan kuat hancur begitu saja, membawa air bah. Melukai setiap inci yang dapat dilukai. Saya mengamuk, menyambit Koko dan Cece degnan sebilah pisau ikan yang sejak dua hari lalu saya simpan. Menebas lengan Cece, kepala Koko, lehrnya, kaki, perut, semuanya! Ha…Ha… Ha…
Sampai saya puas! Saya lega…
“Mamak mau teman kan? Haaa?? Ini saya bawakan Koko sama Cece. Kalian bisa bersama di kuburan nanti. Ha… ha… ha….”
Entah sudah berapa hari saya di sini, di antara potongan-potongan tubuh Koko dan Cece. Dan mayat Mamak di atas ranjang. Bau wangi ratuasan dupa yang saya nyalakan sejak Mamak mati juga sudah berganti dengan bau anyir. Mengingatkan saya pada saat pertama kali Mamak bersikeras minta teman. Kalimat itu masih saya ingat dengan jelas.
“Kaki lu buntung, Ling! Sapa yang mo nikah sama lu? Mamak ini butuh kawan, lu malah siram Koko sama Cece lu pakek aer panas. Kalo mereka pigi, sekarang Mamak sendiri. Cuma sama lu! Yang bisanya Cuma ngrepotin sama kaki buntung lu itu!”
Aling sudah bawa Koko sama Cece pulang, Mak! Sekarang Mamak punya teman.

Siang itu di depan taman kanak-kanak
“Linggan nggak suka ikut Mamak. Linggan mau balik ke rumah lama. Di samping rumah Jati.”
“Ayo kita pergi!”
“Mau pergi kemana?”
“Kita sembunyi aja, Jati ga mau jauh-jauh lagi sama Linggan.”
Begitu saja kami langsung saja berlari berhamburan sambil bergandengan. Menjauh dari semuanya. Aku capek sekali rasanya, Jati juga. Tapi kami harus terus lari, nanti Mamak bisa mengejar kami kalau tak cepat lari.
“Jati awas mobil…..”
“Linggan….”
BrRaAGggG……………………………………………………………………………………

(27 September ‘10)



Tugas: menggambarkan karakter dari tokoh
Matahari sedang lari pagi ketika tubuhnya yang liat memelukku dari belakang.
“Ayolah beibz! Hari ini saja, biar aku menikmati kamu.” Rayunya dengan manis.
Melihat bibirnya dengan kumis tipis karena belum bercukur pagi ini dan aroma musk jantan dari tubuhnya yang proporsional membuat pendirianku hampir saja goyah. Apalagi dengan kedua tanganya yang kuat, yang sering dipakainya untuk panjat tebing. HuMm…
“Ga bisa sayang…! Satu bulan lagi kita ketemu. Dan aku akan melumat habis bibir dan gigi ginsulmu itu.”
Dia melepaskan pelukannya dan menghempaskan diri di kasur air yang sengaja di belinya untukku. Caranya merajuk padaku persis seperti putraku yang baru berumur sepuluh tahun. Sama sekali berbeda dengan ketika ia mengunakan setelan jas dan pergi ke kantor. Atau ketika ia berarung jeram. Putraku sendiri menyebutnya Om Seksi.
Aku berpaling ke arahnya dan tersenyum. Ada keheningan sesaat di antara kami, menyisakan suara high-heels yang ku pakai. Aku suka sekali caranya merajuk…
“Cuma kamu yang bisa membujuk aku dengan cara seperti ini, bahkan Billy pun tidak.” Aku mengecup pipinya.
Kemudian aku pun beranjak meninggalkannya. Aku bahkan masih sempat melihatnya mengerling menggodaku saat aku meninggalkan apartemennya. Menyusuri koridor yang membawaku semakin jauh dengannya. Mengingat setiap saat yang pernah kami lalui. Selama sejarah itu, hal tersulit adalah mengatakan tidak padanya. Semua itu harusnya tak jadi sesulit ini jika saja semua tidak terjadi pada waktu yang paling terlambat. Ketika aku sudah menikah dengan Jonathan dan memiliki Billy. Seharusnya menjadi sangat mudah untuk meninggalkannya dengan segala kebahagiaan yang sudah ku miliki, dia hanya cinta monyet saat SMA. Tapi kenyataannya tidak.
***
“Sayang, malam ini ada acara?” Jonathan menoleh ke arahku sambil sibuk melepaskan dasinya.
Aku mendekat dan membantunya melepas dasi. Melihat matanya yang teduh dan raut muka yang tenang. Siapa wanita yang takkan takhluk melihatnya?
“Iya, tapi kita ada janji sama Billy. Kamu bilang mau ajak Billy makan di luar?”
Jonathan mengambil sebuah undangan di atas meja telpon dan memberikannya padaku. Sesaat ku baca, ini adalah undangan dari rekan bisnisnya. Nama Pak Wijaya, orang yang telah membantu perjodohan kami sekaligus paman Jonathan tertera di bagian bawah undangan. Tentu akan sedikit untuk menolak.
“Kita ajak Billy ya?” celetuk Jonathan tiba-tiba.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya. Jonathan, kamu terlalu sempurna. Dia mendekat dan mencium keningku. Dengan sedikit nakal dia mencubit bokongku. Aku pun balas menggigit pundaknya. Sesaat kami sempat saling goda sebelum Billy masuk ke kamar kami dan terlibat dalam pergumulan yang sering kami lakukan bertiga saat senggang. Saling menindih, mencium satu sama lain, melempar bantal dan sering kali berakhir dengan tangisan Billy karena dia terjepit di antara kami berdua, aku dan Jonathan. Papa dan Mamanya.

Malam itu aku mendandani Billy dengan jas kecil serupa milik Jonathan, mereka mirip sekali. Cara berjalan yang sama-sama seperti  sangat priyayi. Atau mungkin cara mereka bersin, mirip sekali. Sementara aku mengenakan gaun pendek sedikit di atas lutut tanpa bahu berwarna merah marun. Jonathan memberikannya padaku segera setelah aku keluar dari kamar mandi, gaun baru. Dia benar-benar tahu yang aku suka_entah apa yang membuatku bisa berpaling.
Kami berjalan memasuki ruang pesta keluarga Om Wijaya, sangat luas dan glamor. Billy berjalan menggandeng tanganku. Ada bebrapa orang yang ku kenal, namun banyak juga yang tidak. Sampai akhirnya mataku berhenti pada sosok pria yang terlalu ku kenali. Mata kamiberadu pandang cukup lama ketika Jonathan sedang sibuk mengobrol dengan Om Wijaya. Lelaki itu tak mengandeng wanita manapun ke pesta ini. Tapi kami bahkan tak sangup untuk saling menyapa, dia hanya melambaikan tangan pada Billy dan Billy pun membalasnya.
“Mama, itu Om Seksi.” Celetuk Billy tiba-tiba.
Sementara aku hanya tersenyum pada Billy, aku tak tahu harus apalagi. Tanpa di sangka sepertinya Jonathan menangkap sesuatu di antara aku dan pria itu. Jonathan mendekatkan bibirnya ke telingaku dan membisikan sesuatu.
“Aku tahu siapa dia. Temuilah dia, tapi pada akhirnya kamu harus kembali padaku dan Billy.”
Kata-kata Jonathan seperti ribuan tangan yang menamparku sekaligus. Perih dan sangat memalukan.
Tentu saja, mana mungkin dengan sebegitu banyak koneksi. Akan sangat mudah bagi Jonathan untuk menemukanku yang sedang bermain-main. Entah rasa malu seperti apa yang harus aku permasalahkan nantinya ketika tiba-tiba saja aku menggenngam tangan Jonathan begitu kuat dan mencium pipinya.
Sepasang mata di seberang sana tentu saja sedang mengawasiku. Bahkan beberapa kepala yang tadinya hanya asik mengobrol dengan Jonathan. Atau mata wanita-wanita yang sejak lama sudah menunggu Jonathan lepas.

Memeluk Jonathan di gazebo rumah kami mala mini mengingatkanku tentang beberapa tahun silam ketika aku masih 19 tahun, saat Jonathan menikahiku. Sekarang aku sudah 25 tahun. Usia yang sudah tak terlalu pantas lagi untuk bermain-main.
“Aku udah tinggalin dia sebulan yang lalu dan….”
Jonathan tiba-tiba saja menghentikan kata-kataku dengan jari telunjuknya. Dia menatap manis padaku.
“Aku tahu semuanya, sayang. Kamu udah kembali pada aku dan Billy, itu udah cukup.”
Jonathan memelukku semakin erat.






Tugas: mengarang menggunakan beberapa kata yang dipilih secara acak.
Keywords:      -Sepatu
-Langit-langit
-Kamar mandi
Belum juga matahari bangun, ini masih pada masa antara malam dan pagi. Bapak sudah ribut mengobrak-abrik dapur.
“Jancok! Ndasku iki ngelu!”
Aku berjalan sempoyongan menuju teriakan Bapak. Asem! Subuh-subuh begini sudah sarapan jancok. Ibuk juga pasti sudah sarapan piring pecah sama dandang terbang di dapur. Ha ha ha, keluarga yang sangat harmonis.
Baru saja kepalaku melongok dari pintu dapur yang engselnya sudah lepas, Bapak langsung menyambutku dengan sepatu proyek taik asu yang biasa dipakainya kerja. Sepatu yang membuat gundik-gundiknya kepincut setengah mati.
“Heh! Anak begenggek! Mrinio! Tak antemi sisan! Anak kampret!”
Sepatu itu goal! Lemparan tiga angka pas di kepalaku! Mata yang tadinya masik melek 5 watt otomatis belo, sekarang sudah seperti telur ceplok.
Bisa ditebak, Bapak pasti pulang dengan keadaan teller setelah menenggak bir kecubung dari tongkrongan pabrik sebelah rumah. Masuk rumah, nabrak ini itu, ngomel begini begitu kemudian ke dapur. Kalau tidak ada sarapan, sudah pasti aku atau Ibuk yang sarapan!
Aku berjalan ke kamar mandi, menemukan Ibuk duduk mekangkang dengan gombal penuh darah di sekitarnya. Aku menelan ludah!
“Ibuk datang bulan?” tanyaku sok pintar pada Ibuk yang sedang mengelap pahanya.
Aku baru saja mendapat pelajaran tentang datang bulan ketika dua minggu lalu naik kelas enam. Sungguh tingkatan kelas yang tak pernah aku bayangkan bisa setinggi itu.
Sekenanya saja aku masuk ke kamar mandi, pipis di sebelah Ibuk sambil menatap langit-langit.
( 04 Oktober 2010)

Karya Eldiana Agustina


4 Oktober 2010

Dua Bocah


            Dikala senja, diiringi hangatnya sinar sang surya, sebuah lapangan hijau yang lumayan luas diramaikan dengan berbagai gerak canda, tingkah polah bocah bocah desa Sumber Makmur yang terletak di kawasan pegunungan Semeru. Begitulah pemandangan rutin yang selalu tampak setiap harinya di kawasan yang lumayan terpelosok ini.

            Udin dan Midi, dua bocah sepadan kelas 3 sekolah dasar itu, tengah asyik bermain layang-layang. Sinar matahari kala itu jelas tidak membakar kulit mereka. Udara sejuk tetap mengalir menyegarkan sedikit kegerahan karena keringat yang mengalir di sekujur tubuh mereka. Mereka memang bocah-bocah yang lincah dan penuh semangat.

            Udin, bocah berpawakan kurus kecil dengan rambutnya yang hitam pekat, tiba-tiba menangis sejadi-jadinya. Ternyata layangannya putus akibat beradu dengan bocah lain yang memang tidak sepadan dengannya. Namun Udin sengaja tidak mengejar layangannya yang putus itu karena ia pikir jaraknya sudah terlampau jauh dan layangannya itupun sudah dikejar semua bocah yang tertumpah ruah di lapangan itu.

            Midi terheran-heran melihat tangis sahabat karibnya itu.
“Din, kenapa kamu ini? Kuk sampai nangis kayak gitu!”
“Haduh… Kesel sial banget aku hari ini!” ujar Udin sambil menangis sesenggukan.
“Cengeng!” celetus Midi sambil mengusap keningnya yang basah.
“Hei Di, kamu itu bicara apa sih, bukannya menghibur aku malah ngeledekin aku! Huh…teman macam apa kamu itu?” balas Udin dengan suaranya yang serak-serak basah.

            Midi memang berpawakan lebih besar dan tinggi dibandingkan Udin, sikapnyapun lebih dewasa. Midi adalah teman Udin sejak kecil, dengan rambut keriting berjambulnya, dia mencoba menenangkan suasana.

“Maaf din, tapi kamu kan gak perlu sampai nangis gitu!” Ini kan cuma permainan Din, bukannya kamu juga sering kalah tarung, dan kamu gak pernah nangis kan?” nasehat Andi.
“Oke, tapi itu layangan kesayanganku, kamu sudah tahu kan Di, kalau layangan itu sudah mencetak banyak kemenangan dari setiap tarung layangan. Meskipun aku kehilangan seribu layangan, itu gak jadi masalah buat aku, yang terpenting jangan layangan yang satu itu, kesel banget aku kalah tarung!” cerita Udin sambil mengusap keringatnya yang mengalir deras dari kulit sawo matangnya.
“iya.. iya.. sudah Din, relakan saja layangan itu, masih banyak kan layangan lain yang bisa kamu jadikan saksi keahlianmu beradu layangan. He he he..!” dengan penuh senyum dan semangat yang tinggi Midi menghibur sahabatnya itu. 




11 Oktober 2010

Dunia Mimpi Deti

            Bermimpi, hal yang siapa saja pasti mengalaminya, namun tidak semua manusia suka mendapatkan mimpinya, sekalipun mimpi datangnya tidak diinginkan, karena tidak semua mimpi datang dengan indah, mungkin bisa berubah, jadi baik, atau jadi buruk, dan kadang dua-duanya bercampur sembari bergilir. Seandainya manusia bisa memilih mimpinya, seandainya manusia bisa mengubah mimpinya, seandainya manusia bisa mengatur mimpinya , pasti semua manusia cenderung memilih tidur, bermalas-malasan, untuk mendapatkan mimpi pilihannya daripada melakukan aktifitas lain yang lebih berguna.

Die, gadis bermata coklat, dengan bibir tipis mungilnya tidak berhenti tertawa-tawa sendiri tanpa siapapun mengetahui apa yang terjadi dengannya. Dia ingin segera terlelap dalam tidurnya menemui mimpi-mimpi yang akan datang menemaninya. Itulah hal yang biasa dilakukan Die, kecintaannya terhadap mimpi membuatnya menjadi remaja yang hobi tidur. Di sela-sela waktu yang benar-benar tidak ada kegiatan baginya, tidak pernah dia gunakan untuk bermain bersama teman-temannya, atau sekedar berjalan2 keluar mencari angin, baginya ia tetap bisa melakukan hal-hal yang indah dan menyenangkan di dunia ini lewat mimpi. Baginya mimpi adalah kenyataan hidup.

            Sudah sekian lamanya, ibu Die, nyonya Ani terheran-heran dan penuh dengan tanda tanya, apa yang terjadi dengan putri satu-satunya yang mempunyai tingkah laku aneh, suka tidur, namun itu  tidak membawa dampak buruk bagi aktifitasnya sehari-hari, hanya saja masa remajanya tidak ia gunakan selayaknya remaja-remaja yang lain. Nyonya Anapun tidak bisa berbuat banyak. Sering nyonya Ana bertanya pada putri tercintanya,
 “Tidak capek kamu Die, tidur terus? Sindir ibu.
“Yang terpenting, aku tidak merugikan ibu dan siapapun!” tegas Die.
Nyonya Ana sudah bosan mendengar jawaban Die yang selalu sama.

            Ada hal yang sempat terbesit di benak nyonya Ana, yaitu kucing mungil berambut hitam lebat dengan mata bulat tajam keabu-abuan. Kucing yang ditemukannya di depan rumahnya 1 bulan yang lalu. Nyonya Ana sempat tidak peduli dengan kucing itu, meskipun kucing itu meraung-raung, berharap akan diterima. Namun nyonya Ana bukan penyuka kucing. Anehnya, Die yang juga tidak menyukai kucing entah mengapa tiba-tiba ingin merawat kucing itu setelah mendengar erangannya yang tiada berhenti sepanjang hari di depan rumahnya. Namun nyonya Ana tidak mudah mengijinkan itu terjadi. Tapi, Die tetap memaksa untuk memelihara kucing tersebut. Nyonya Anapun terheran heran melihat putrinya, sejak itulah dia mulai merasakan keanehan pada putrinya.

            Suatu malam, seperti biasa, Die langsung terlelap tidur, kali ini dia bermimpi bermain air di laut bersama si kucing. Dia benar-benar menghabiskan waktu-waktu dalam mimpinya untuk bermain di laut dan tentunya bersama Deti si kucing.
            “Deti kucing ajaibku, beruntung sekali aku karena kamu selalu menemani hari-hariku! Kalu gak ada kamu pasti gak ada mimpi-mimpi yang indah. Aku bangga padamu kucing manisku. Kita bisa bermain bersama, hidup dalam dunia nyata, padahal ini sebuah mimpi, huh.. aku benar-benar tidak mengerti kenapa ini bisa terjadi. Seandainya kamu bisa bicara Deti, aku pasti akan menanyakan semua kebingungan ini! Seandainya juga, ibu bisa ikut bersama kita, ini pasti akan menyenangkan sekali, betul kan Deti? Dan rasa sayangku akan bertambah Deti buat kamu! Semoga ibu bisa menyayangimu Deti! Deti, kapan kamu akan memberikanku semua jawaban itu?

Deti hanya diam membisu, dan sorot matanya menandakan bahwa dia mengerti apa yang diinginkan sahabat karibnya itu.
“Deti.. Kenapa kamu gak bisa buat dirimu berbicara denganku, bukankah kamu sungguh hebat dapat mengatur mimpi-mimpiku? Aku sangat ingin kita bisa berbincang-bincang bersama setiap hari..
Tiba-tiba Die ingin memeluk kucing kesayangannya itu, namun belum sempat tangan Die menyentuh rimbunnya rambut Deti, secepat kilat Deti menghilang entah kemana. Die berada seorang diri di laut yang sepi bersamaan dengan terbenamnya matahari.
“Deti… kamu kemana? Kamu di mana Deti?
“Detiii…!!!! Teriak Die sekeras-kerasnya.
Dan beberapa detik kemudian, Die terbangun, dia merasakan badannya tergoncang, ternyata ibu tengah membangunkannya dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Die melihat ibunya sudah berada di depan mukanya, sedang berusaha membuatnya bangun. Dilihatnya tangan sang ibu, tengah menggantung Deti yang hanya  diam terpaku tanpa perlawanan yang berarti, terbungkus kantong plastik bening karena nyonya Ana begitu tidak menyukai Deti dan tidak akan pernah bisa menyentuhnya.
“ Ibu, Deti mau di apakan bu? Tanya Die dengan terengah2. Die mulai kawatir ibu akan membuangnya melihat Deti sudah terbungkus.
“Die, kenapa akhir2 ni Die menjadi anak ibu yang suku tidur, bukannya sebagai siswi, Die harus banyak memanfaatkan waktu kosong untuk kegiatan yang lebih bermanfaat bagi Die! Belajar, atau juga bermain di luar supaya Die gak jenuh bergelut di dalam rumah saja. Dan kenapa kucing ini selalu bersama Die kemanapun Die pergi, ibu guru di sekolah juga sudah 2 kali memanggil ibu nak, karena kamu tidak mau patuh pada ibu! Jangan pernah membawa kucing ini ke sekolah!”
“Baik baik.., Die akan menjelaskan semuanya, tapi apa ibu akan percaya karena ini pasti akan mengejutkan ibu?” harap cemas Die bertanya.
“Kamu cerita nak pada ibu!” dengan sabar ibu siap mendengarkan cerita putrinya  itu.

            Die menceritakan segala peristiwa luar biasa yang ia alami berkat Deti. Ibu tidak bisa berpikir, apa betul itu benar-benar terjadi. Dan Die sedikit demi sedikit meyakinkan ibunya, dan kemudian ibu melepas Deti yang terbungkus plastik, dengan tenang Deti mengikuti perlakuan nyonya Ana, tanpa ada perlawanan yang berarti dari kucing luar biasa itu. Setelah mengetahui semuanya, ibu bertambah penasaran, kenapa kucing yang ia temukan tidak sengaja di depan rumahnya itu, bisa melakukan hal-hal yang jelas mustahil bisa terjadi. Dari mana kucing ini berasal, apakah suatu jelmaan malaikat, banyak pertanyaaan-pertanyaan terngiang-ngiang di benak ibu setelah itu.

 . . . . . . . . . . . . .

“Ibu bisa menerima Deti kan?”
Nyonya Ana tersenyum. Dengan tidak takut ataupun risih, nyonya Ana memegang Deti. Dan akhirnya, Detipun mengajak ibu untuk bergabung dalam dunia mimpi ajaibnya.





27 Oktober 2010
Hari Yang Membakar
                                    
Awan mendung sudah tidak berkawan lagi dengan alam, setelah sepekan lamanya menyelimuti tanah dimana Dewi dan ibunya tinggal. Mataharipun mulai menyapa dengan senyumnya yang tajam, lebar, menebarkan kehangatannya di pagi hari yang cerah dan sejuk , sampai menjelang tengah hari, dia tidak berhenti tersenyum, dengan semangatnya memamerkan teriknya yang begitu menyengat.

“ Huufff…!” gumam Dewi.
Begitu teriknya matahari siang itu, membuat Dewi berlama-lama berendam di dalam air yang sengaja ditampung di bak besar, sehingga bisa dibawa keluar ruangan untuk lebih mendapatkan hempasan angin.

“ Panaaasss..!!! haduh, kebangetan ini hari!” teriak Dewi.
“Aduh.. aduh.. gak tahan aku!” teriak Dewi lagi.
Ibu yang sedang bergelut di dapur hanya bisa bergeleng kepala melihat tingkah putri tunggal yang sangat dimanjakannya itu. Dewi lahir tanpa kasih saying seorang ayah. Ibunya sangat menyayanginya karena disetiap ibu memandang Dewi, disanalah wajah suami tercintanya nampak. Dewi sangat mirip dengan ayahnya. Matanya yang agak sayu, hidungnya yang mancung, rambutnya yang hitam lurus, kulitnya yang putih mulus, benar-benar membuat sang ibu merasa selalu dekat dengan almarhum ayah.

“Anakku sayang, jangan berendam lama-lama ya sayang, nanti kamu masuk angin nak!” nasehat ibu dengan penuh kelembutan.
“Ibu ini gak ngertiin aku ya, ini hari panas banget, aku da gak tahan bu, coba rumah kita ada ACnya, sewaktu-waktu kalau sudah kayak gini kan enak, tinggal hidupin sama matiin aj.. kipas anginnya gak mempan itu!! Napa gak hujan aja ya tiap hari!! Gak kira panas dah!!” cetus Dewi.
“Dewi jangan bicara seperti itu, hujan terus menerus juga gak baik kan nak. Lok sawah kita gagal panen gimana? Terus kalau sungai di belakang rumah kita banjir gimana nak?” nasehat ibu sambil mengelus-elus dada.
“Huuhhh, . Ibu gak sayang ma Dewi!! Pokoknya ini hari paling menyebalkan, aku jenuh banget, ibu buatin aku es donk.!” dengan entengnya Dewi menyuruh ibunya.
Ibu hanya  tersenyum kecut dan segera beranjak ke dapur.






6 September 2010



Jalan Hati

Aku bertarung
Dengan kesabaran menanti keajaiban
Dengan tetesan air mata
Tiada keheningan
Suara-suara selalu memberitahuku
Tenang!
Jangan menangis!
Walau ku tersudut
Aku ikuti
Aku tunggu

Dan akhirnya,
Cahaya-Nya tampak
Meresap ke setiap pori tubuhku
Dekat, dalam hati
Menyejukkan
Meluruskanku


By: Eldian Agustina


 
27 September 2010

 Kado Penantian


Ihzan terpaku, kaku. Ia tak tahu apa yang harus diperbuat. Tubuhnya lemas, lunglai, gemetar, peluh meluncur di dahinya. Sesekali matanya menatap tak berdaya pada layar kaca. Headline news: “Tsunami Mengguncang Wajah Ibu Pertiwi”.
Disadarinya bukan kali pertama musibah datang silih berganti, “negeri ini sudah tak aman lagi” batinnya. Musibah terbesar dalam hidupnya siap menerjang. Bergegas Ihzan panik. Handphone. “Ya handphoneku”., lirihnya. Berulangkali jarinya beradu dengan keypad HP. Tak ada jawaban diseberang. Ihzan resah, gundah mencekam lara.
Wajah Ihzan pucat pasi, tertunduk lesu. “ Kado ulang tahun  terburuk” umpatnya. Segera meluncur bola-bola kristal dimatanya, meluncur deras tanpa hambat. Teringat kembali senyum orang-orang yang dikasihinya saat Ia bersama keluarga kecilnya setiap tahun merayakan hari ulangtahunnya. Wajah Ibu yang berperawakan setengah tua, namun tampak lebih muda dari usianya kini, selalu dinamis dengan gaya sederhananya.
Teringat kembali wajah adiknya Septi, senyum manisnya mampu buyarkan gunung es batu sikap acuhku. “Septi, adikku sayang”, lirihnya lagi. Tak mampu Ia berkata lebih. Diam. Tak ada kado senyum manis penuh tawa.
Sejam lamanya Septi, tetap terpaku di pojok ruang tamu, tetap digenggamnya HP yang Ia biarkan menyala. Ditatapnya televisi tanpa kedip. Berharap. Cemas. Tiba-tiba pintu luar berderit. Langkah kaki tergesa datang. “Ihzan………….., kenapa masih disini? Sudah tau belum Aceh Tsunami”ujarnya. Ihzan hanya mampu menatap mata itu penuh sinis. Mata merahnya tak mampu tutupi galau hatinya.
“Plenz, loe gak papa kan? Ehm, maksud gue pa loe dah ngabarain nyokap dan adik loe, Ihzan?” tanyanya. Lagi-lagi Ihzan hanya menatap sinis, tak acuh. Sikapnya yang sedingin es membuat temannya tertunduk lesu. Ia tahu sahabatnya itu tak banyak bicara. Sikap dinginnnya dapat menjawab segala pertanyaan yang diajukannya. Seketika itu juga langsung dipeluklah Ihzan di dekapannya, dekapan sahabat sejati.
Butiran kristal itu kembali mengalir, bahkan jauh lebih deras dari sebelumnya. Rasya hanya mampu menepuk punggung sahabatnya itu, seolah meyakinkan bahwa tak kan terjadi suatu yang buruk dalam hidupnya, diawal usianya yang ke 22.
Lama terpaku dalam tangis. “Sya, loe tau gue gak bisa bayangin kalau harus kehilangan nyokap dan Septi, gue gak setegar gunung es, gue kan mencair tanpa senyum Septi” ucapnya sambil sengungukan. Diketatkan lagi pelukan Rasya yang sempat renggang, kehangatan untuk sahabatnya. “Gue tau plenz, mereka adalah nafas hidupmu. Gue gak bisa bayangin itu terjadi padamu. Gue harap pasti semuanya baik-baik saja.” Jawab Rasya. Ihzan tersenyum kecut.
Telepon kontrakan berdering. Rasya bergegas menghampiri meja telepon. Lima menit kemudian dia datang dengan mata lebih lembab. “Ihzan, pamanmu telepon”. Bergegas Ihzan beranjak menuju telepon tergeletak. Diangkat ganggang telepon. Gemetar tangan. Isak tangis di ujung suara telepon.
“Ihzan, apa kamu sudah tau berita di Aceh? Baiknya kau lekas pulang, Paman masih ada urusan penting jadi saat ini paman belum bisa terbang ke sana” ujarnya. Ihzan hanya diam membisu tanpa jawaban pasti. “ya udah, paman kirimkan uang ke rekeningmu, cepatlah kau terbang ke Aceh, kabar baik darimu ku tunggu” ujarnya lagi. Ihzan hanya menjawab “okey lah. Semoga semuanya baik-baik saja”.
Ihzan meminta Rasya untuk menemaninya terbang ke Aceh, Ia takut menerima kenyataan terburuk dalam hidupnya. Disadarinya selama tiga-empat hari tak mungkin Ia bisa langsung terbang ke Aceh, pastilah infra dan supratruktur di propinsi itu lumpuh total. Bandara ditutup, itu yang Ia ketahui dari televisi. Selama menunggu hari keberangkatannya, Ihzan tak mampu beraktifitas sebagaimana mestinya. Pekerjaannya Ia abaikan dan dibiarkan tergeletak sana-sini di kamarnya. Makanpun serasa tersendat di ujung kerongkongan. Mata pucatnya, bergaris hitam, menyiratkan berhari-hari Ia tak bisa pejamkan mata.
Tayangan berita mengenai bencana Tsunami yang melanda kampung halamannya membuat Ihzan semakin rapuh. Wajah coolnya seperti tak terurus lagi. Tak teringat lagi bahwa Ia selalu menjadi uberan gadis-gadis cantik di kantornya.
Damar histeris melihat tayangan betapa kejamnya Tsunami menyapu sebagian wajah Ibu pertiwi, menghapus semua kenangan indah yang Ia tanam di setiap jalan kenangan bersama Ibu dan Septi, adik tercintanya. Ia juga melihat jalan-jalan yang biasa Ia lalui bersama teman-teman dan keluarganya menjadi jalan tumpukan barang-barang yang sudah tak berwujud lagi. Ngeri.
Hari ketiga, Ihzan tetap saja terpaku menatap televisi tanpa henti. “seribu nyawa telah hilang,  tak berbekas” lirihnya. Terbayang dibenaknya bila dua diantara seribu nyawa hilang itu adalah Ibu dan adiknya, Septi. Kembali Ia tertunduk lesu.
Segala upaya Ia kerahkan, berusaha mencari informasi dari Koran, telepon sana-sini pada teman dan kerabat yang bisa dihubungi, televisi, radio, bahkan media  internetpun menjadi sasarannya. Nihil. Tak ada kabar mengenai kedua orang terkasihnya.
Hari kelima setelah terjadinya Tsunami, Ihzan dan Rasya bergegas meninggalkan kontrakan sederhana mereka menuju bandara Juanda Surabaya. Ditinggalkannya kota yang telah memberikan nafkah hidup bagi Ihzan juga untuk keluarga kecilnya semenjak Ia ditinggal pergi oleh Ayahnya. Pergi untuk wanita lain. Sejak saat itu Ihzan benci pada sosok laki-laki yang selama 18 tahun Ia panggil sebagai “Ayah’.
Rasya membantu Ihzan mengangkat koper-koper miliknya. Tidak butuh waktu lama. Pesawat merpati airlines yang akan membawanya terbang menuju bandara Blangbintang di Banda Aceh telah berangkat. Terlihat jelas dipelupuk matanya, indahnya kota Surabaya dilihat dari ketinggian beribu kaki jaraknya. Ihzan tak sanggup membayangkan apa yang akan Ia lihat setibanya Ia di kampung halamannya.
“Bro, mendingan loe tidur aja dulu, perjalanan kan masih ada waktu beberapa jam lagi. Tenangkan diri dan pikiranmu. Kita berdoa aja semoga Tuhan berikan kemudahan buat kita bertemu dengan keluarga loe. Harapan itu pasti ada, meski setetes air di gurun Sahara” dakwahnya. Entah mengapa setiap ucapan Rasya selalu mengena dihatinya, Ia paling tau tentang perasaannya saat ini.
Ihzan mencoba memejamkan mata berulang-ulang kali namun tak berhasil. Hingga dititik jenuh Ia memandang sekitar hanya gumpalan awan yang beriring mengiringi kepergiannnya. Awan itu tak lagi mendung. “Sya, mungkin benar katamu, harapan itu mungkin ada walau hanya setetes air di gurun Sahara” lirihnya dalam hati. Akhirnya mata pilu dan lembab itu tertutup rapat untuk sekian waktu lamanya, sampai pesawat yang membawanya mendarat di bandara Blangbintang.






18 Oktober 2010


Pisang Agung khas Lumajang

            Lumajang, terkenal dengan pisang Agungnya yang khas, besar, panjang dan tentunya nikmat. Wilayah pegunungan Semeru tersebut merupakan tempat yang strategis sebagai ladang perkebunan pisang. Tanah yang subur di lereng gunung Semeru ini sangat cocok ditanami berbagai macam tanaman daerah dingin contohnya pisang, kopi, teh, buah naga, alpukat, durian, dll. Dan tentunya sangat menguntungkan daerah ini untuk kawasan berkebun, bercocok tanam, industri pangan, dan produksi bahan makanan. Lapangan pekerjaan tentunya juga berkembang luas karena banyak lahan yang bisa diolah dan diambil kekayaan manfaatnya. Masyarakat yang rajin serta memiliki semangat kerja yang tinggi sangatlah cocok hidup di wilayah ini, tentunya menjadi peluang bisnis yang bagus untuk kedepannya.
            Pisang Agung dapat diolah menjadi kripik, sale (pisang yang dijemur dan digoreng), pudding, kue basah, bahan campuran es, jus buah, dan lain sebagainya. Produksi kripik pisang Lumajang sudah sangat terkenal di berbagai daerah sejak lama. Itulah salah satu usaha unggulan masyarakat kabupaten Lumajang yang turun temurun dan tetap sukses sampai sekarang. Harganyapun terjangkau dan disesuaikan dengan jenis serta hasil produksi masing-masing pengusaha kripik pisang Agung khas Lumajang.  Jangan kuatir untuk mencicipi jajanan khas kota pisang ini.





18 Oktober 2010


Pisang Agung khas Lumajang

Lumajang, terkenal dengan pisang Agungnya yang khas, besar, panjang dan tentunya nikmat. Wilayah pegunungan Semeru tersebut merupakan tempat yang strategis sebagai ladang perkebunan pisang. Tanah yang subur di lereng gunung Semeru ini sangat cocok ditanami berbagai macam tanaman daerah dingin contohnya pisang, kopi, teh, buah naga, alpukat, durian, dll. Dan tentunya sangat menguntungkan daerah ini untuk kawasan berkebun, bercocok tanam, industri pangan, dan produksi bahan makanan. Lapangan pekerjaan tentunya juga berkembang luas karena banyak lahan yang bisa diolah dan diambil kekayaan manfaatnya. Masyarakat yang rajin serta memiliki semangat kerja yang tinggi sangatlah cocok hidup di wilayah ini, tentunya menjadi peluang bisnis yang bagus untuk kedepannya.
Pisang Agung dapat diolah menjadi kripik, sale (pisang yang dijemur dan digoreng), pudding, kue basah, bahan campuran es, jus buah, dan lain sebagainya. Produksi kripik pisang Lumajang sudah sangat terkenal di berbagai daerah sejak lama. Itulah salah satu usaha unggulan masyarakat kabupaten Lumajang yang turun temurun dan tetap sukses sampai sekarang. Harganyapun terjangkau dan disesuaikan dengan jenis serta hasil produksi masing-masing pengusaha kripik pisang Agung khas Lumajang. Jangan kuatir untuk mencicipi jajanan khas kota pisang ini.